Waktu yang berjalan di antara aku dan Ribi terkadang terasa amat cepat. Ia berlari dan mendatangkan hal yang disebut sesal. Terkadang aku menyesali kehidupan yang kami jelajahi ini. Sudahkah aku jadi istri yang baik untuknya? Sudahkah aku membawa perubahan positif pada hidupnya? Sudahkah dia bahagia bersamaku?
Mengingat banyak pengorbanan yang dia lakukan demi aku. Siapa yang suka wira-wiri Surabaya-Malang hanya demi menjemput atau mengantarku? Siapa yang suka terjaga semalaman hanya untuk melihat Flight Radar saban aku terbang? Siapa yang suka memasak dan mengurus rumah sendirian padahal sudah ada istri? Seorang Ribi yang pecinta kesempurnaan ikhlas menjalaninya, demi aku!
Meski bibirku tersenyum dan lidahku usil menggodanya, hatiku menangis sedih. Bukankah aku paling pandai menyembunyikan kesedihan di balik seragam, sama seperti Ribi. Melihatnya tertidur kelelahan di sisiku, membuatku menitikkan air mata. Terlalu banyak kalori yang dia buang hanya untuk seorang aku.
Mungkin kata cintanya jarang terucap. Namun, semua jengkal tubuhnya menyiratkan bahwa Ribi teramat menyayangiku. Iyalah, rasa apalagi yang membuatnya rela menjalani semua ini kalau bukan cinta. Memang sebuah mimpi dan cita-cita itu harus ditebus dengan pengorbanan.
Bagiku, mengorbankan waktu istirahat untuk mengisi kegiatan di asrama juga sebagai cara belajar ikhlas. Sama sepertinya, aku pun mencintai Ribi dengan segala risikonya. Pulang ke Malang dan harus menghadap ibu komandan. Istilahnya, sowan dan laporan begitulah. Bagaimana pula asrama bukan tempat yang bisa dimasuki seenaknya. Kedatangan dan kepergianku harus dalam sepengetahuan ibu tertua di sini.
“Kamu kok mau sih menjalani hidup seperti ini?” Pertanyaan Bintang memang sesuatu. Seperti menamparku untuk sadar pada kenyataan. Siapa sih yang suka jauhan sama suami? Saat datang ke sebuah kota, seharusnya aku bisa langsung memeluk dan berkasih mesra dengannya. Nyatanya, aku malah harus meniti perjalanan 1,5 jam menuju Malang. Kangennya di-pending, siapa tahan!
Ini antara mau dan tidak! Karena ego masa muda, aku belum bisa memilih antara karier dan suami. Keduanya sama penting dan kusuka semua. Aku tak mau membandingkan keduanya karena sumpah, aku adil suka keduanya. Maruk-maruk dah tuh! Sebodo amat, kalau disesali hanya akan menimbulkan rasa kurang syukur.
Untuk itulah, setiap pertemuan dan kebersamaan kami terasa bermakna. Meski kami harus jumpa seminggu dua tiga kali saja, tetap bahagia karena kami senantiasa bersyukur. Yang penting sih sogokan buat kak suami saja, roti kayu manis sisa penerbangan. Nggak nyangka kalau manusia standar tinggi cem Ribi suka barang sisa. Oalah ….
Agaknya, akhir pekan ini sedikit istimewa mirip martabak, ya? Rumpik lebih tepatnya karena kami harus pulang ke Malang bersama dengan Bintang yang sedikit-sedikit minta istirahat. Dia banyak mengeluh dari yang sebelumnya selalu hening, kalau dulu ditendang pax saja dia hanya melengos jutek. Nah, ini pesawat delay 5 menit saja keluhannya sudah sepanjang spageti. Mungkin karena isi kepalanya lagi sakit, maklumin aja.
Aku sih maklum, nggak dengan Mas Ribi tercinto. Keluhan Bintang pun sepanjang keluhannya. Lagi-lagi dia terjebak harus membawa Bintang karena itu cewek kadung bilang ke Papa Mama kalau bareng denganku. Senangnya, Papa Mama juga dalam perjalanan pulang ke Malang karena tahu kabar menyedihkan Bintang. Sekesel apa, mereka senantiasa menyayangi Bintang sebagai anak kandung.
Sebagai info, kekesalan Ribi bertambah karena kami mendarat di Surabaya. Tiket rute Jakarta-Malang habis, sehingga waktu kami harus makin terbuang karena mendarat di SUB. Tak cuma itu, dia harus mengutus Prada Zukini untuk membawa Harry ke SUB setelah sebelumnya duduk manis di ABD. Kata Ribi, nggak enak kalau harus nyuruh-nyuruh untuk urusan pribadi bukan kedinasan.
“Please, aku butuh ke toilet!” Bintang lagi-lagi meminta ke rest area, padahal baru lima menit yang lalu Ribi belok ke tempat itu. Kalau kutebak, level kekesalan Ribi sudah ada di puncak Eiffel.
“Tahan aja!” sentak Ribi cuek sembari melambungi kendaraan di depan. Kami berada di jalan tol Pandaan-Malang. Om Zuki diizinkan tidur di belakang karena capek berat, Shay. Kasianlah mana kemanten baru.
“Obatku itu bikin susah pipis, sekalinya pengen pipis itu kebelet bangettt. Please, Ribi!” mohon Bintang yang membuat priaku melerok sempurna. Berantem aja terus, lama-lama keriput kulit kepalaku kebanyakan kuurut. Pusing aku mendengar mereka.
“Kencing aja di kresek!” ceplos Ribi melirik tajam spion di sebelahku. Serius deh, kayaknya aku harus putar mp3 ayat suci biar huntu di gundulnya Ribi keluar semua.
“Tega amat sih kamu!” Bintang menendang kecil jok di depannya. Apesnya, itu jokku dodol!
“Ngapain sih! Tahan dikit lagi kenapa?” semburku akhirnya kelepasan.
“Kamu nggak pernah ngerasain susah kencing emang? Obat yang kuminum bikin kencingku nggak tuntas,” bela Bintang kasar. Malu pada Om-om di belakang, apaan itu?
“Bi, please …,” Bintang kembali memohon pada Kangmas Ribi dengan menggosok-gosok tempat duduknya.
“Siapa yang dia panggil Bi?”
“Aduh, Kakak! Udah deh!” semprotku mulai kehabisan kewarasan. Seruanku membuat Om Zuki sedikit terkesiap, kaget so pasti. Namun, karena ngantuk berat si Om kembali bobok manja di jok belakang yang adem.
“Yang ditegur kakak yang mana nih?” Bintang menegaskan suaranya. Sesekali mendesis sembari memegangi perut bawahnya. Nggak ada malu meski terus-terusan mendesah, memancing imajinasi liar. Karena aku malu akan tingkahnya, kontan aku mendelik pada Kak Ribi terresek.
“Kakak, udah deh jangan ribut terus! Malu itu sama Om Zuki,” bujukku sembari memegang lengannya lembut.
“Aku nggak mau diatur orang asing!”
“Iya, tapi Bintang lagi sakit. Yang sabar,” bujukku semakin mendayu.
Tapi sudah tahu sendiri sifat Ribi, ‘kan? Paling gampang bikin orang naik pitam. Dia itu obat darah rendah terbaik selain sate embek, karena sekarang malah menyetel pemutar musik Harry keras-keras.
Om Zuki harap maklum, ya, kalau atasan Anda seajaib ini! Eh, jangan-jangan orang kantor udah paham wataknya Ribi kek apa. Geje gitu, ‘kan?
Akhirnya, aku mengurut dada sembari menarik napas panjang pol. Kusentuh lagi lengan kak suami dengan sedikit rabaan geli. “Belok sebentar, ya, Sayang …? Kasihan Kak Bintang, ya, Sayang …?”
Sengaja kutekan kata “Sayang” dan kusebut sampai dua kali supaya hatinya lumer mirip singkong keju. Karena Ribi sedang dehidrasi kasih sayang, tak pakai lama dia menyahut, “Apaan barusan?”
“Sayang, nanti aku kasih cinnamon roll, okay? 3!”
“Katanya kamu nggak bawa?”
“Bawa kok di tas,” jawabku ngasal tak lupa pakai senyum lebar. Padahal nih, di tas cuma ada permen jahe plus setengah potong cinnamon roll yang udah penyet – bekas gigitanku pula. Doh!
“Udah mau ngompol ini, Bul! Astaga, help me, please, Dik!” Bintang kembali memelas tak karuan.
“Kak, belok di depan itu, ya …?” pintaku kalem, seperti meminta pada anaknya. Adoh, udah cocok rupanya aku jadi pengasuh dua anak TK yang hobi gelut macam Bintang dan Ribi.
“Oke,” jawab Ribi pendek sembari membanting setir ke kiri. Belok ke arah rest area yang sedang ramai.
Sempat kejedot kaca karena belokan pria 29 tahun ini terlalu mendadak. Pengennya marah, tapi urung karena malas menambah level kekesalan priaku. Aku nggak mau dicampakkan di sisa hari ini. Memang liburku masih tiga hari, tapi liburnya dia tinggal hitungan jam. Seharusnya, dia banyak tersenyum meski kelihatannya ditahan gitu. Iyalah, dia sedang gengsi mengakui kebahagiaan akibat dipanggil sayang olehku.
Jahat, aku memang jarang memanggilnya sayang. Lebih suka pakai kak atau kakak. Ya kale sejak kapan dia jadi anak Papa dan Mama, saudaraku dan Bintang? Kayaknya ini mulutku perlu disekolahkan mulai sekarang, manggil sayang! Okay, semangat memperbaiki lisan demi perbaikan kualitas hubungan. Uhuk.
“Dia itu kenapa sih?” Ribi memandang remeh Bintang yang berlari kencang menuju toilet setelah Harry berhenti sempurna di aspal rest area.
“Seperti yang dibilang tadi, obatnya itu bikin tubuhnya retensi air. Efeknya ya gitu, susah pipis. Orang Jawa bilang anyang-anyangen,” jawabku sabar, setengah sedih dengan kemalangan Bintang.
“Apa penyakitnya karena pekerjaan itu?” Ribi menunduk mengusap-usap layar ponselnya, lalu menunjukkan layar itu padaku. “Kata Google, pramugari rentan terkena beberapa penyakit. Jadi kamu juga berisiko?”
Sepertinya aku menangkap kecemasan dalam sorot mata Ribi. Sudah jelas dia mulai cemas pada nasibku kelak. Tak usah ditanya dari mana Ribi punya ide browsing semua ini. Otak cerdasnya pasti sudah main-main sampai sana. Kelihatannya cuek, tapi dia mencari tahu penyebab penyakit Bintang. Karena dunia kerja Bintang yang sama denganku otomatis Ribi ikut peduli.
“Sayang?” panggilnya yang membuatku tersentak.
“Bukankah semua pekerjaan pasti berisiko, Kak?” tanyaku pelan.
“Tapi kita bisa menghindari risikonya, ‘kan?”
“Memang jadi tentara akan menjamin Kakak selalu aman dan sehat? Nggak, ‘kan?” Aku menatap lembut wajah dinginnya itu, mulutnya sibuk mengunyah kasar Strepsils dua biji. Rahasia kesegaran mulut seorang Ribi, sadis.
“Bukannya jadi tentara malah lebih berisiko dibanding jadi FA? Nggak ada yang tahu lima menit ke depan ada apa. Kalau perang meletus dan Kakak harus pegang senjata, tanganku ini nggak bisa lagi menahanmu,” tuturku yang membuat senyum hangatnya terbit. Kayaknya aku waras nih, setingkat lebih bijak dan so sweet gitu.
Buktinya, Kangmas Ribi meletakkan tangan hangat besarnya di telapak tangan dinginku. “Bulanku yang istimewa. Nggak ada perang dalam lima menit ke depan kok, Sayang. No need to worry, okay? Kupastikan negara ini aman supaya Sal bisa nyaman kerja,” hiburnya mencolek hidungku.
“Sal janji akan selalu jaga kesehatan, supaya bisa terus nemenin Kakak.”
“Okay, siap …,” balasnya singkat dengan mata tak fokus pada wajahku.
Fokus pada area wajah bawah, tingkat kecondongan bibirnya pada bibirku juga semakin bertambah. Seolah tertarik oleh gaya tarik-menarik laksana magnet, Ribi langsung mengecupnya singkat. Sayang sekali saat aku ingin membalas kecupan lagi, ada suara pergerakan dari belakang. Olala, aku lupa kalau masih ada manusia berkaki dua yang lain di lambung Harry ini, Om Zukini mengulet lelah lalu terlelap lagi. Nggak lama, Bintang juga berlari dari rest area kembali menuju mobil.
“Ck!” Ribi mulai kesal karena aktivitas vanas-nya terganggu. Ya, bukan salah siapa-siapa sih, kami aja yang ngebet nggak sadar tempat.
“Yang sabar, Sayang …,” belaiku manja pada paha yang berbalut celana jins dongker itu.
“Nanti malam!” bisiknya genit, lalu memasang wajah datar bin judes lagi. Oh, jadi perubahan wajahnya secepat bunglon, ya?
“Thank’s, ya! Aku udah lega!” ucap Bintang ceria. Aku hanya mengangguk pelan, sebab tahu beberapa menit lagi dia pasti berulah lagi.
“Nanti sampai Malang aku belikan bakso. Kalian berdua suka bakso, ‘kan?” tawarnya antusias. Penyakit itu membuat Bintang berubah jadi seramah ini, wow.
“Sok baik!” celetuk Ribi judes kembali menyalakan mesin Harry dan berjalan cepat menuju jalur tol.
“Okay, aku mau Bakso Cak Man,” ceplosku menghibur Bintang.
“Batasi bakso, Sayang!” Ribi mengusir kebahagiaanku, seperti biasa. Labil, barusan bikin happy dan dijatuhkan semudah makan kacang.
“Ya udah nanti aku icipin punya Kakak aja,” kelitku lincah.
“Okay, langsung dari mulut!” ceplos Ribi yang membuat Bintang bergidik ngeri.
“Kalian ini ngebet banget, ya?”
“Iya!” ceplosnya.
“Enggak!” jawabku dan Ribi bersamaan, sayangnya jawaban nggak kompak karena aku memilih bohong.
Baik, debat kusir dimulai! “Gimana sih, Sal? Katanya nanti malam!”
“Kakak, udah deh! Jangan bahas itu di depan orang belum nikah,” larangku yang membuat Bintang mencolek lenganku emosi.
“Maksud lo? Hei, aku nggak sepolos itu!”
“Jadi, kamu udah pernah tidur sama laki-laki sebelum nikah?” sambar Ribi sembari menginjak pedal gas makin kencang. Guys, aku tuh di negeri apaan sih, kok isinya berantem mulu?
“Nggak woey!” Bintang berseru gusar sembari mengibaskan tangannya berkali-kali. Sumpah, ya, mereka itu mungkin anjing dan kucing di kehidupan sebelumnya.
“Kalau cuma bakso, mampu kok beli sendiri. Mahalan dikitlah, katanya situ bayaran dolar!” Ribi makin menjadi.
“Okay, siapa takut! Aku … bla-bla-bla,” cerocosan Bintang tak terdengar lagi karena aku memasang earbuds sambil merem.
Doamatlah, mereka mau cakar-cakaran kek, mau adu kuat angkat body-nya Harry kek. Serius, mendingan aku tidur. Untung aku nggak seambisius dan segila kerja macam Bintang, jadi aku selalu menyempatkan istirahat saat sedang sempat. Ini caraku stay waras di kehidupan ini. Sebab selain butuh banyak energi untuk menjaga kewarasan, aku juga butuh realistis.
Lapar, makan; ngantuk, tidur; kangen, bucin; sedih, nangis; dan seneng, ketawa. Tanggal muda, Shopee-an. Nggak ada uang, minjem kartunya Ribi plus isinya. Hidup itu simpel, jangan dibuat susah. Ikhlas itu susah, tapi bukan berarti nggak bisa dijalani. Bersyukur itu susah, tapi harus dipaksa supaya nggak lupa sama Pencipta. Doh, auraku lama-lama memancar akibat nikah sama Pangeran Kebajikan.
“Jangan berisik, istriku tidur!” Kok aku merasa uhuk saat mendengar Ribi mewanti-wanti Bintang, perhatian sekali itu Bapak kalau ada maunya.
---
Maunya si Bapak itu adalah kami cepat sampai di Malang, lemparin Bintang ke rumah Araya, dan pulang ke asrama untuk menghabiskan malam nan panas. Sayang sekali, kemauan Ribi tidak sejalan dengan penahanan Papa dan Mama pada kami. Beliau dengan super ceriwis menanyai gimana kabar kami, gimana rasanya menikah dan sejenisnya; padahal hal itu sudah sering dibahas lewat saluran telepon. Belum lagi kami disuruh mendengar tangisan sedih Mama yang menangisi nasib Bintang, padahal si Nyai juga lempeng mulu seperti opak.
Aku tahu si Ribi jengkol, eh, dongkol. Namun, dia terlihat berusaha sabar saat menanggapi Papa yang berceloteh tentang nasib para anak bulu yang terpaksa dirawat Pak Uus – penjaga rumah besar ini – bukan oleh tangannya. Sikap Papa yang dramatis saat mengasihani kakatua jambul kuning yang mengurus diimbangi netral oleh kedataran permukaan wajah Ribi. Hanya sesekali tersenyum singkat karena aku paham dia sedang memendam hasrat.
Mungkin aku harus belajar cara berwajah datar dari Ribi dan Bintang, ya? Terutama saat disuguhi aneka rupa masakan sejenis masakan Ibu di Jakarta. Tumis taoge tahu, salmon panggang, brokoli masak bawang putih, dan jus alpukat. Sebenarnya enek berat, tapi ya sudahlah kumakan saja dengan penuh penghayatan. Zuzur, sugestiku adalah sedang memakan bakso. Astaga, I miss bakso so much!
Gimana ya, aku tuh lagi galau lari ke bakso. Kangen Ribi kangen ke bakso. Capek lari ke bakso. Ngantuk ngebakso dulu. Mau terbang dan beres terbang melipir ke bakso kantin dulu. RON, layover juga nyari bakso. Semua masalah hidupku kutumpahkan ke bakso, lama-lama aku jadi dandang bakso.
Melirik jam dan sudah hampir Ashar, secepat itu! Hari Minggu ini tinggal sebentar lagi, besok pagi Ribi dinas lagi. Malah katanya langsung jadi pajaga alias perwira jaga piket, intinya sibuklah. Lalu nasib setumpuk kangenku gimana? Disimpan di lemari? Belum-belum aku semakin galau, padahal liburku juga masih 3 hari sampai Rabu.
“Mulai sekarang, kamu fokus pada kesembuhan saja. Besok Papa dan Mama akan mengantarmu ke rumah sakit terbaik di sini. Kalau tidak ada, kita ke Surabaya. Kamu tidak usah terbang lagi, ya!” Mama semakin mematahkan sayap Bintang. Perhatiannya itu muncul dari kecemasan saat melihat rupa pucat anak itu.
Memberiku kesempatan untuk mengembalikan beberapa sendok taoge ke piring, enek. Namun, aku kembali fokus pada kedua perempuan ayu itu. Rasa-rasanya laknat betul kalau aku memikirkan hal lain di saat kakak kandungku sakit. Meski dalam artian, dia setengah kakak sih. Doh, gimana, masa sih aku harus mengakuinya sebagai kakak lagi? Gitu ngapain berantem parah waktu itu?
“Bulan, habiskan sayurnya! Kalau nggak habis, Mama bungkuskan. Nanti jadi satu sama yang di dapur,” ucap Mama tanpa memandangku, hanya menunjuk isi piring yang berantakan di depan wajahku.
Glek, niatnya kukembalikan ke piringnya lagi malah ditambahi sama Mama. Doh, pada kenapa sih nyuruh aku makan taoge? Mereka mau bikin aku berakar juga gitukah? “Ma, nggak usah. Bulan udah bosan sama taoge.”
“Nggak, Dik!” Mama menatapku lekat. “Ini kesepakatan antara Mama dan ibu mertuamu. Kamu harus segera hamil, ambil cuti kalau perlu!”
“Hah, nggak mau!” ceplosku yang langsung kusesali, sebab wajah Kanjeng Mama semakin butek.
“Nggak mau apa maksudmu? Kamu memang dibebaskan kerja, tapi kalau kami minta cucu gimana? Itu tugasmu, pernikahan adalah untuk meneruskan keturunan,” omel Mama.
Bintang mengangkat wajah setelah mengurut kening pusing. “Emang Bulan bakalan bisa hamil, Ma? Bintang nggak yakin mereka udah tidur bareng.”
“Hush!” Mama memukul gemas lengan Bintang yang membuatnya mendesis. “Anak perawan tabu dengerin ini. Udah mendingan kamu istirahat aja, nanti makananmu Mama antar ke kamar,” Mama kembali mendorong bocah sulungnya itu.
Bintang minggat dengan kesalnya. Perangainya memang berubah total. Entah apa selama ini dia punya semacam kepribadian ganda atau memang yang ini kepribadian aslinya. Karena aku nggak begitu dekat dengan Bintang, aku tak tahu menahu. Yang kutahu sekarang adalah Mama mengemas semua sayuran itu ke dalam Tupperware, memasukkan ke dalam tas, dan meletakkannya di dekat koperku.
“Mama tidak mau dengar hal aneh apa pun darimu, Bulan. Mama sudah pusing dengan Kak Bintang, Dik Bulan jangan ikutan, ya! Jalani yang normal saja, tidak usah KB. Hamil, ya, hamil saja!” Kembali beliau mewejangiku panjang lebar dan hanya kubalas anggukan kepala seraya menelan ludah seret.
Lompat-lompat, akhirnya jam lima sore kami sampai di rumah asrama yang … kotor. Ya gimana nggak aku jarang banget bersihkan rumah ini. Setiap libur terbang, aku memang datang ke asrama, tapi cuma buat ngadap bu komandan. Sisanya, aku balik lagi ke rumah Araya. Kadang nih, ya, aku tetap di Surabaya tapi nggak bilang Ribi. Mungkin karena itulah, Ribi manyun nggak ketulungan.
Lelaki kaku itu membuka kasar pintu rumah dinasnya. Meletakkan asal koper dan tasku ke kamar, lalu berganti baju santai. Dia mulai membersihkan rumah dalam satu gerakan, sat-set. Aku diapain, cuma disuruh diam dan membereskan barangku sendiri. Karena aku takut disembur naga, maka dari itu aku cuma menurut dan membongkar isi koper. Sesekali sambil mendengar suara kaleng dan pengki yang dibanting beliau ke lantai.
Astaga, Mak! Kesalahanku adalah tidak membersihkan rumah ini, bahkan aku telah mengabaikannya sekian bulan. Kuabaikan pula perintah beliau untuk menyiram sawi dan tanaman lain. Kukira ada anak buahnya yang mengurus, ternyata memang ada. Tapi nggak bisa serajin istrinyalah, maksudnya aku! Ya, baik, lagipula mana mau Ribi memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi.
Nyiram sawi semisal!
Sekali lagi, harapan beliau untuk segera unboxing istri alias uhuk-uhuk grobyak harus tertunda. Mungkin itu yang bikin dia jutek dalam membanting polybag berisi sawi mati kering ke tempat sampah depan. Dia juga hanya membalas salam para anggotanya dengan mengangguk dan hening. Wajahnya mirip kanibal berdarah panas, dan semua karena aku!
Saat tiba waktu kelahirannya, Magrib, Magribi masuk ke rumah tanpa memandangku yang sudah memandanginya lekat. Dia langsung masuk ke kamar mandi dan menghentak gayung air dengan gerakan keras. Maksud mulut ingin menawarinya handuk atau mau diambilkan baju apa jadi urung. Sumpah, aku takut berurusan sama Ribi detik ini. Semua karena kemalasanku mengurus propertinya. Doh, pasti kena tegur lagi dari Paduka Ribi sepanjang malam.
“Nggak mandi kamu?” tanyanya dingin sembari mengangkat tumpukan kaos yang rapi mirip etalase mal. Dia mandi ala tentara – hitungan menit – lalu masuk ke kamar untuk mencari baju ganti. Apesnya, aku lagi di tempat yang sama karena mau salat Magrib.
“Udah kok tadi, di rumah Mama,” jawabku pelan sembari bermukena. “Mau jamaah, Kak?”
“Menurutmu?”
Fine, aku mau berubah jadi sajadah panjang aja deh. Siapa tahu bisa menggugah hatinya. Gimana sih cara merayu suami balok itu? Apa kudu dilihat, diraba, diterawang? Setiap inci tingkahku jadi salah. “Ya udah aku salat sendiri aja.”
“Bareng!”
Menelan ludah kecut dan memutuskan untuk menurut. Lagi-lagi aku belajar ikhlas dan sabar dengan menerima semua kemarahan dan kejudesannya. Sadar diri bahwa kotornya rumah ini dan matinya semua tanaman kesayangan Ribi akibat kecerobohan dan kemalasanku. Terkadang ikhlas itu seperti surat Al-Ikhlas yang sedang dibaca Ribi. Tak perlu disebutkan secara gamblang di dalam ayat padahal judulnya ikhlas, lakukan tanpa ditunjukkan.
Jam delapan malam, kami duduk berdua di meja makan yang baru dilap bersih olehnya. Memandangi lauk hambar yang tadi sore sudah kumakan. Namun, aku tak berani menelurkan keluhan sebab Ribi terlihat nikmat menyantap hasil pencak silat Mama ini. Makan lahap, tanpa bicara atau mengajakku berbincang. Masih marah sepertinya.
“Kak, maafin aku, ya?” ucapku pelan sembari mengaduk nasi dan taoge yang seperti melambai-lambai girang padaku itu. Atas inisiatif pribadi, aku mengajaknya berkomunikasi. Sejatinya, cowok jutek itu hanya perlu diajak bicara dari hati ke hati.
“Aku salah,” imbuhku lagi karena Ribi tetap bergeming. Hanya terdengar gesekan sendok dengan piring putih kesukaannya. Coba kuberi sentuhan khusus di punggung tangan hangatnya. “Marah banget, ya?”
Ribi mengangkat wajah datar dan menghujamkan matanya padaku. “Kalau cuma sawi dan rumah kotor, itu bisa diperbaiki, Sal! Lalu gimana dengan hal lain?”
“Hal … hal lain, gimana maksudnya? Maaf …,” potongku bingung. Apa ada hal yang kulewatkan belakangan ini?
“Okay, kayaknya aku harus jujur karena aku nggak bisa lindungi kamu terus,” Ribi mengubah sikap duduknya menjadi lebih tegak, “Asal kamu tahu, sejak minggu lalu Bu Restu menghubungiku. Tanya kapan kamu pulang ke Malang. Sebenarnya sudah lama kamu disuruh ngadap beliau, Sal. Kupikir kamu sering melakukannya,” urai Ribi yang membuatku terhenyak.
Wait a sec, aku memang udah sekitar dua mingguan nggak menghadap ibu komandan karena kepadatan jadwal yang luar biasa. “Memang, Kak. Tapi aku udah dua mingguan ini nggak ngadap karena jarang pulang ke Malang.”
“Apa apatis termasuk sifatmu?” sambung Ribi berisi sindiran.
Aku menggeleng pelan. “Nggak gitu lho, Kak. Sumpah aku berusaha selalu update berita di asrama, meski …,”
“Nggak pernah pulang ke sini!” imbuh Ribi dengan suara sedikit naik. Menyesal, dia langsung mengubah wajahnya lebih kendur.
“Maaf, kalau sikapku sedari tadi bikin Kakak kesal. Rumah jadi kotor dan semua tanaman mati. Padahal seharusnya aku bisa menyiram mungkin beberapa hari sekali. Atau kalau tidak aku bisa meminta tolong pada siapa begitu. Aku cuma terlalu … sibuk, Kak. Pikiranku nggak cover semua itu. Aku juga jarang pulang ke Malang, kadang di rumah temen di Surabaya karena pulang ke rumah ini cuma bikin aku ingat kamu.” Karena aku nangisan, maka penjelasan panjang itu diakhiri dengan terciptanya anak sungai dari kedua mataku.
“Aku takut kesepian, Kak. Rumah ini tanpamu itu menakutkan, nggak kuat nahan kangennya. Di meja ini kita selalu duduk berdua, makan bersama. Di ruang tengah, kita sering rebutan remot. Di kamar itu kita sering … gituan.” Kutarik napas panjang karena tidak habis pikir dengan terceplosnya frasa ngawur dari belahan otak lemot ini.
Mungkin karena kalimat anehku barusan, Ribi memandangiku kosong. Semacam ekspresi pengen ketawa, tapi ditahan gitulah. Hidung ke bawah pengen ngakak, hidung ke atas mendelik tak berkedip. “Kak … maaf … please, aku sekarang harus apa? Apa Kak Ribi ditegur?”
“Tentara udah biasa ditegur atasan. Kalau dicuekin malah bingung,” jawabnya tanpa menjawab pertanyaanku. Pria matang itu malah beranjak ke dapur untuk meletakkan piring kotor dan kembali ke kursinya.
“Ya udah, besok pagi jam setengah 9 menghadap Bu Restu di kediamannya. Aku antar sekalian naik piket. Siapkan kalimat yang baik, jangan berupaya cari pembenaran. Kayaknya banyak yang harus kamu kerjakan besok, nulis laporan bulanan atau apa gitu,” jelas Ribi cuek. Tangannya beralih ke hand bag-ku yang teronggok di samping meja. Entah apa yang akan dilakukannya, bukan itu yang ingin kubahas.
“Laporan? Bukannya itu udah diurus Dik Sigit, Kak?” Pertanyaanku tak menghentikan kesibukannya mengaduk isi tas kerjaku.
“Dia hamil tua, makanya cuti sejak bulan lalu!”
“Apa, kok hal sepenting itu nggak diinfo ke aku sih? Dia niat jatuhin aku apa gimana?” seruku bingung. Mendadak kumat ini overthinking.
Ribi mengendikkan bahu bingung. “Mungkin karena kamu susah dihubungi. Aku aja WA kamu malam, dibalas besok siangnya,” tukas Ribi lalu berdecak kesal.
“Mana cinnamon roll yang kamu bilang tadi, Sal? Kamu bohongi aku?” tanyanya jutek. Sebentar, ini masalah apalagi? Yang satu belum beres, yang satu malah nekat nyari roti penyet yang aku juga lupa naruhnya.
“Eng … bisa nggak kita bahas ini dulu?” alihku yang sebenarnya ingin menutupi kesalahan kesekian-sekian.
Ribi melenguh panjang. “Udahlah santai aja! Aku kemarin juga lagi nggak di tempat. Banyak juga urusan nggak ke-handle di kantor. Ditegur ya didengerin aja. Kayak kamu nggak pernah diomeli atasan aja!” ledeknya sambil berlalu.
“Lah, Kakak mau ke mana? Seriusan ini, Kak! Aku kayak baru balik dari planet Namek. Cuma dua minggu nggak ketemu bu Restu, kok tiba-tiba ada masalah segede gajah. Kalau gitu kenapa beliau nggak hubungi aku langsung sih?” ocehku memburu punggungnya.
Ribi berbalik cepat dan otomatis mata ini fokus pada jakunnya yang naik turun. Punten, mau nanya, kapan sih sesi kangen-kangenannya? Keburu jamuran aku ini, oh. “Sal!” panggilnya yang membuatku menoleh dan berdehem.
“Coba cek lagi chat WA, kali aja tenggelam kayak Titanic! Kalau aku nggak telepon kamu pakai telepon biasa, sudah pasti kamu nggak tahu kalau aku minta ketemuan kemarin. Betul?” sindirnya dingin. Okay, asrama sudah bergeser ke kutub selatan, adem!
“Ya … maaf ….”
“Jangan pernah lupakan tugasmu di sini! Anggap itu balasan karena aku udah izinkan kamu kerja. Kalau kamu nggak mampu, aku bisa kok buatin surat resign. Kamu tinggal bilang!” semburnya tak peduli.
“I – iya, jangan sebut-sebut resign, ya? Aku minta maaf. Besok kuperbaiki semua,” ulangku ketakutan.
Sekali lagi, aku cuma bisa meminta maaf atas kapasitas manajemen diri sendiri yang payah. Dengan alasan klasik, sibuk terbang, aku bahkan nggak sempat untuk sekedar cek pesan-pesan yang masuk ke WA. Jangankan ngecek WA, kadang malah lupa kalau aku punya HP. Benar, Ribi berhasil menghubungiku setelah puluhan kali dia menelepon via panggilan biasa. Lagi-lagi, aku hanya bisa melongo saat memeriksa aplikasi WA sampai ke dasar bawah.
Ada nomor baru yang ternyata milik bu Restu, mengirimiku pesan sebanyak lima kali. Nyempil di bawah roomchat milik Ribi yang berisi 10 pesan bertanda hijau alias belum dibaca. Menanyai kabarku gimana, bertanya kapan aku bisa pulang ke Malang, dan bertanya kapan aku punya waktu luang untuk diajak bertemu. Pada intinya, aplikasi WA-ku itu tidak layak dikontak siapa pun karena nggak bakal dibaca apalagi dibalas oleh diriku.
Hela napas panjang, tahan! Jadi bisul, bisul dah! Baik, sepertinya aku perlu sewa heli untuk kabur dari situasi ini. Pada intinya, siapa saja nggak suka ditegur, tak terkecuali aku. Aku nggak siap ketemu beliau, apalagi menghadapi teguran beruntun yang bisa kurasakan hawanya mulai sekarang.
Sayang, harus dibubarin pakai rengekan aneh dari bapak berkaos hijau tua milik kesatuan dan sarung hitam itu. “Mana roti pesenanku, Sal? Bawakan atau aku nggak maafin kamu atas sawi-sawi dan semua tanaman di teras.”
“Ya ampun, Kak Ribi! Aku itu bawa oleh-oleh makanan enak hampir satu kardus besar dan kamu masih nyari roti itu! Bisa nggak sih kita bahas masalah yang lebih serius gitu?” omelku kesal karena dia mengoceh omong kosong saat darahku naik ke pinggang. Menyebut masalah sepele ke yang lebih serius tentu saja itu kesukaan Ribi. Perihal panggilan saja dia bahas sampai berjilid-jilid kok.
“Ya udah, saya tagih yang lain aja! Katanya mau sayang-sayangan, ya udah sini!” Lambaian tangannya menggoda imanku, sayang perutku masih lapar.
“Kok sayang-sayangan, gimana kalau kita keluar? Nyari bakso, Kak. Aku mupeng berat, nggak doyan sama masakan Mama. Udah bosen gara-gara Ibu kemarin,” rengekku menutupi hasrat batin sesungguhnya. Usulku tentu saja semakin memancing gelora jiwanya yang panas.
Dia pun melengos, kembali ngambek tentu saja. “Kamu nggak boleh makan bakso!”
“Katanya mengurangi,” bantahku seraya meringis. “Nanti kalau baksonya 10, yang 8 buat Kakak deh,” rayuku kemudian.
“Ya udah, kamu di rumah aja, coba hubungi Bu Restu. Baik-baikin biar nggak terlalu emosi besok.” Ribi menyambar kunci motor di atas kulkas. “Kucarikan bakso depan asrama aja!”
Langkahnya pergi secepat bayangan, meninggalkanku yang melompong kosong di atas kursi makan. Setega itu dia keluar saat aku dihimpit masalah pelik seperti ini. Mana dia menambah beban hatiku pula dengan titah menelepon bu Restu. Hadeuh, tahu gitu tadi nggak usah minta bakso segala. Lagaknya menuruti kemauanku, nyatanya ingin meninggalkanku dengan masalah baru.
Sebenarnya, apa yang terjadi pada diriku? Semenjak menikahi Kangmas Ribi hidupku tak pernah tenang. Bener lho, berubah 360 derajat deh! Jadwal terbangku jadi padat karena popularitas INA Air berkembang pesat. Aku jadi sering galau karena rindu suami. Aku jadi sibuk sendiri di waktu liburku. Dan sekarang aku harus menghadapi ibu komandan seorang diri atas kesalahan yang tak sengaja kutimbulkan.
Yang aneh adalah Ribi tidak membahasnya dari kemarin. Sikapnya datar dan biasa saja meski sedang menyimpan masalah sepelik ini. Saat isi otakku hanya uhuk-uhuk grobyak, dia tiba-tiba membahas masalah lain. Ada apakah ini? Sengaja membuatku bahagia lalu menjatuhkanku seperti biasa gitukah?
Kalau ditanya ikhlas apa tidak? Jawabanku adalah keikhlasan yang diuji.
“Gimana sih mantra biar bisa berubah jadi pohon kangkung? Useless aku jadi Nyonya Ribi!” gumamku mulai stres.***
Bersambung...
Masalah demi masalah yang biasa diabaikan Bulan sudah berubah pelik.
Hayoo dia bakalan diapain Bu komandan??😌😌😌
Thanks for coming 🥰🥰🥰
Lafyu, ❤️
041121
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikah dengan Es Balok (TAMAT)
RomanceRated: 21+ Please, yang di bawah umur itu jangan baca! Jangan nekat! Saya tdk bertanggung jawab atas risiko yang timbul di kemudian hari. Source Pic Cover: Pinterest Edit by Canva Design by Nayla Salmonella Cover #2 By Kak Niaratika DILARANG PLAGIA...