DISCLAIMER: CERITA INI BE-RATING 21+. TAHU ARTINYA, HANYA USIA MINIMAL 21 TAHUN YANG BOLEH MEMBACANYA. JADI, ANDAIKATA TEMANS MASIH BERUSIA DI BAWAH ITU, MOHON KEBIJAKAN UNTUK TIDAK MEMBACA CERITA INI. JIKA TEMANS MASIH NGEYEL MEMBACANYA, RISIKO DITANGGUNG PRIBADI, YA!
TERIMA KASIH. 🙂
HAPPY FRIYAY 🥰🥰
==============================================Wanita bertinggi 170 sentimeter dengan sorot mata tajam nan tegas itu terkesiap di ambang pintu lavatory. Baru saja dia hendak keluar dari kamar kecil pesawat itu, tapi langkahnya harus tertahan karena sekelebat penumpang tiba-tiba lewat. Pertama, dia harus mendahulukan penumpang lewat menuju lorong kabin. Kedua, dia ragu melangkah karena kenal pemilik langkah itu. Adik bungsunya, Bulan, dan pria aneh bernama Ribi.
"Mbak Bintang ...," panggil sopan Utari, pramugari tahun pertama, junior gadis ayu bernama Bintang itu."Psst!" Bintang meletakkan telunjuk di bibir tipisnya untuk mengode agar Utari tak melantangkan suara saat menyebut namanya. Tentu Utari langsung gelagapan, salah tingkah sendiri dan takut berbuat kesalahan dalam bertugas. Bintang adalah senior sekian tingkat yang terkenal jutek.
"Izin salah, Mbak. Cuma mau lapor kalau dua head unit ada yang nggak nyala," ucap Utari sigap dengan jantung mau lepas.
Bintang menarik tangan Utari agar tubuh itu bisa menutupi tubuh rampingnya dari sang adik yang duduk di kelas bisnis. Sesekali celingukan untuk memastikan Bulan tidak sampai memergokinya, bahwa dia sedang bertugas di pesawat itu. Bintang mengutuk dalam hati, kenapa Bulan harus naik pesawat ini saat dirinya sedang sembunyi diam-diam.
"Maaf, Mbak, ada apa? Kok kayaknya takut begitu." Utari memberanikan diri bertanya karena wajah Bintang berubah tegang saat baru keluar dari toilet.
"Gue laporin ke ground staff, lo ke belakang aja. Kalau butuh gue, pakai interphone aja. Jangan panggil atau samperin gue!" Bintang memelankan suara sembari membuat kode telepon dengan tangannya.
"S - siap, Mbak," sahut Utari sekenanya karena Bintang sudah mendorong halus tubuhnya. Dia berlalu heran karena sikap Bintang teramat aneh, mengusirnya teramat halus padahal biasanya selalu minta disamperin.
Lain halnya dengan Bintang yang langsung berlagak sibuk. Mengangkat interphone untuk menerima laporan dari FA 2 dan lainnya. Mencoreti kertas manifest penumpang dan sebagainya. Menghubungi ground staff untuk melapor masalah di pesawat dan lain sebagainya.Intinya, sekedar menyembunyikan wajah dari Bulan yang terlihat mengamati seisi kabin ini. Lagipula buat apa sih Bulan bisa naik pesawat milik maskapainya, pikir Bintang. Bisa mati di tempat kalau dia sampai ketahuan si adik. Bintang sedang kabur, dari rumah dan dari sebuah perjodohan. Ya, lelaki tampan di sisi Bulan itulah calon suaminya.
Jadi, selama orang rumah sibuk mencari keberadaan Bintang, gadis itu malah santai bekerja. Andai orang rumah tahu kalau Bintang tidak bersembunyi di lubang tikus. Gadis keji itu hanya bekerja seperti biasa dengan waspada penuh tentu saja. Membaur senekatnya, bahkan sampai mau mengambil rute Jakarta - Malang. Dia pikir tidak mungkin bertemu Bulan meski mereka bekerja di langit yang sama. Oh, ayolah, Bintang sudah membaca semua jadwal Bulan. Pekan ini dia kebagian rute Indonesia bagian barat.
Tak dinyana, Bulan malah naik armada ini bersama Ribi pula.
"Sialan, hampir aja gue ketahuan," gumamnya sembari mengintip Bulan yang sedang mengedarkan mata cantiknya ke pemandangan di luar, dari balik curtain biru pembatas kelas bisnis dan galley depan.
Pandangan fokus mata cantiknya harus terpecah oleh denting dari interphone. Mungkin telepon dari galley belakang. Gegas dia mengangkatnya dengan suara pelan. Takut Bulan mengenalinya meski suara mesin turbin memekakkan telinga.
"Mbak Bintang, ini dengan Utari. Izin bertanya, tadi ada salah satu pax yang ternyata FA juga, menanyakan nama kabin 1. Gimana boleh atau tidak, Mbak?" tanya Utari sopan.
Bintang mendengus lega. Sepertinya berhasil telepati dengan Utari mengenai keberadaannya di tempat itu. Tak biasanya dapat pertanyaan macam itu, tumbenan kali ini muncul. Ya, siapa lagi kalau bukan karena Bulan yang nekat bertanya pada setiap awak kabin Garuda yang ditemuinya - tempat sang kakak bekerja.
Usahanya dalam mencari keberadaan Bintang agar perjodohan itu gagal masih berlanjut. Meskipun Bulan sepertinya selalu gagal. "Jangan, Tar! Pokoknya jangan sebut nama gue. Takutnya cuma iseng."
"Siap, Mbak. Izin lanjut," pamit Utari yang tak dibalas apa-apa oleh Bintang. Gadis dingin itu hanya meletakkan gagang telepon ke tempatnya. Memilih untuk menelepon captain pesawat bahwa boarding selesai. Lantaran semua pos sudah melapor bahwa proses sudah selesai.
"Captain, boarding sudah selesai. Pintu siap ditutup," lapor Bintang sigap.
Laporannya mendapat persetujuan. Pintu pesawat gegas ditutup oleh salah satu juniornya dengan melepas tali pembatas mirip segel. Pintu berat itu dikatupkan dan tuas kunci diputar. Flight attendant take-off position. Bintang gegas duduk di jumpseat, memasang seatbelt, dan merapalkan doa.
Doa pertama untuk Bulan, semoga dia tidak kepergok sepesawat dengan adik cerobohnya itu. Doa kedua, semoga Bulan memang menggantikan posisi tempatnya untuk menikah dengan pria aneh itu. Doa ketiga, semoga Bulan tidak terlalu membencinya karena kejadian ini. Intinya, semua doa Bintang untuk Bulan seorang. Semoga si adik saja yang menderita dengan pria itu, bukan dirinya.
"Sorry, Bulan. Kayaknya tempat itu lebih cocok buatmu. Please, gantikan Kakak, ya? Kamu harus nikah supaya Kakak nggak ada batu sandungan di dunia ini. Kakak sangat mencintai profesi ini, kamu jangan ikut-ikutan," harap Bintang egois dalam hatinya. Gadis cantik itu kemudian mengusap wajah dengan kedua tangannya, doa selesai.
Tak bisa disangkal kalau Bintang merasa dihalangi oleh Bulan. Kalau di langit, bulan dan bintang bisa bersanding. Maka di dunia manusia, tidak. Bulan adalah batu sandungan Bintang. Tidak dipungkiri, prestasi Bulan di perusahaannya membuat gadis itu dipromosikan bekerja di maskapai asing. Bintang tahu itu meski Bulan berusaha menepisnya. Bintang tak suka Bulan, meski Bulan selalu bilang langit Indonesia lebih indah.
Munafik kalau Bulan tidak suka bayaran dolar, pikir Bintang.
"Kalian cocok kok," simpul Bintang masih mengintip dari sela-sela curtain yang tersibak. Ada pemandangan Bulan yang sedang berusaha mengajak Ribi bicara. Namun, pria aneh itu hanya menutup mata sembari melipat dua tangannya ke dada. Dingin, hemat bicara, atau malas menanggapi obrolan orang lain.
"Satunya es balok, satunya bego," timpal Bintang bicara sendiri menggeleng kepala heran.
---
Bulan berjalan lesu menuju beranda rumah dinas asri milik sang Papa. Kakinya baru melangkah turun dari mobil yang disetiri Ribi - yang langsung pamit kembali ke satuan. Di tangannya masih melekat tas tangan Persit dan di badan rampingnya masih ada seragam hijau pupus tanpa hiasan lencana. Dia baru saja sampai di kota Malang setelah menghadap ke Surabaya, bersama Kangmas Ribi tentu saja. Sayangnya, suasana hati Bulan tak seindah suasana hati sang Mama.
Sambutan antusias Bu Reswari hanya ditanggapi anggukan lesu dari Bulan. Padahal niat hati sang Mama hendak memamerkan kebaya cantik untuk hari pernikahan yang sudah di depan mata - kiriman dari Jakarta buatan Isabel. Gaun dari brokat, payet, dan mutiara warna emas itu tak berhasil mengubah wajah lelah Bulan. Gadis manis itu hanya duduk layu di sofa empuk tanpa banyak ekspresi.
"Kak Ribinya mana, Dik?" Bu Res duduk ceria di tepi bungsunya yang menekuk-nekuk wajah itu.
"Nitip salam doang. Dipanggil komandan gitu makanya buru-buru," jawab Bulan malas.
Bu Res membulatkan mulutnya, lantas wajah ceria itu kembali memburu si bungsu. "Gimana ngadep tadi, Dik? Nggak susah, 'kan?"
Bulan menggeleng lesu. "Rikesnya yang wow!"
"Bulan nggak diperiksa aneh-aneh, 'kan?" tebak Bu Res cemas. Bulan menggeleng lagi.
"Tapi ditanya aneh-aneh!" timpalnya lalu mengelus perut. "Laper, Ma. Nggak ditawari makan dulu kek!"
"Aduh, maaf, Dik. Ya udah yuk Mama buatin mi ayam. Kebetulan tadi anggota Mama habis bikin prakarya di sini. Sekalian bantu Mama siapin suvenir." Bu Res langsung menarik lembut tangan Bulan. Membuat gadis itu makin malas, inginnya langsung makan tanpa memasak.
"Ada nggak Indomie aja, Ma? Udah lapar," keluhnya enggan.
"Calon ibu rumah tangga kok andalannya Indomie sih. Masak aja, ya? Sebentar aja kok," bujuk sekaligus cibir Bu Res. Sepertinya ibu satu ini harus mulai menanamkan cinta memasak pada si bungsu.
Bulan menyerah. Dia terlalu lelah fisik, mental, dan otak. Selepas mandi bebek, kepala beratnya hanya ndelosor ke atas meja makan. Mata cantik kuyunya memandang sang Mama yang sedang memasak makan malam, mi ayam homemade. Andai saja tadi menuruti Ribi makan di luar, pasti sekarang dia tinggal tidurnya saja. Sayang, Bulan kadung malas berduaan terus dengan adam satu itu.
"Bumbunya itu kecil banget, Dik. Cuma merica, kaldu ayam, minyak sayur, minyak wijen, dan garam. Diublek-ublek, sayurnya direbus, mi direbus juga, lalu setelah matang ditumpuk deh sama ayam bumbunya," celoteh Bu Res tanpa menoleh ke arah si bungsu yang hampir merem di atas meja makan.
"Dik!" tegur Bu Res yang kembali membuat Bulan melek.
"Maaf, Ma ...," ucap Bulan serak. Dia mengucek mata letihnya lagi, wajar seharian mondar-mandir antarkota. Hatinya juga sedang menanggung beban yang berat, dipaksa menikah dengan pria aneh menyeramkan.
"Ma," panggil Bulan ragu yang dibalas deheman manis dari Bu Res. "Bukannya Mama terlalu ceria untuk ukuran ibu yang kehilangan anaknya? Mama nggak ada sedih-sedihnya gitu meski Kak Bintang hilang ke mana."
Bu Reswari menjeda adukan sumpit di tangannya. Dengan layu dia memandang wajah tirus Bulan. Cukup lama wanita elegan itu diam, menyelesaikan olahan di tangannya. Saat semangkok mi ayam sedap matang, Bu Res membawanya ke hadapan Bulan. Wajah cerianya tadi mencuram, seperti membuka kesedihan yang ditutupi.
"Lalu Mama harus menunjukkan wajah sedih, penuh tangisan seperti itu, Dik? Bagi Mama, sekarang yang terpenting adalah Bulan dan hari penting itu. Banyak orang yang sedang mencari Bintang, tapi siapa yang akan memikirkan Bulan? Mama cuma ingin memikirkan yang indah-indah saja, apa itu salah?"
Pertanyaan Bu Res membuat Bulan tercenung. Bukannya sang Mama tidak memikirkan nasib Bintang, justru sang Mama sudah terlalu memikirkannya. Sampai lelah, jengah, dan bosan. Pada akhirnya, pasrah dan menyerah. Sudahlah, Bintang sudah cukup dewasa untuk menjaga dirinya. Dia bisa kok menjinakkan penumpang nakal hanya dengan kuku tajamnya, itu cerita yang sering diulang Bintang pada kedua orang tuanya.
"Mama cemas, Dik, tapi bisa apa. Sudahlah, Adik makan saja, ya?" Bu Res mendorong mangkok mi ayam yang mulai berkurang asapnya. Suhunya mungkin sedikit hangat, siap disantap.
"Makasih, Ma ...," sambut Bulan lesu. Dia tetap menyambut makanan itu dengan syukur. Nama belakang Salwabulan Aurora Salim, 'kan, Makanan.
"Ma, kayaknya Bulan nggak bisa deh nikah sama Kak Ribi," urai Bulan begitu saja yang langsung membuat Bu Res terhenyak bak disiram sambal goang.
"Lah, kenapa lagi, Dik?" Suaranya tertahan, seperti lengket di tenggorokan. Si bungsu mulai berulah begitukah? Lhakok pakai laporan?
"Kalian, 'kan, sudah pengajuan!" imbuhnya lagi, mulai puyeng. Bu Res memegangi keningnya yang tiba-tiba berat.
"Mama nggak tahu sih dia itu orang kayak apa," ujar Bulan bergidik ngeri. Kalimat-kalimat ngeres Ribi terngiang lagi.
Bu Res menarik napas lebih santai. Sepertinya si bungsu tidak berontak, cuma galau aja. Ini cuma perlu diyakinkan saja, pikir Bu Res. "Yang jelas dia itu terbaik untukmu, Dik. Kalau kalian ditakdirkan untuk ketemu dan sampai ke pengajuan nikah, tandanya bakalan ada cinta nantinya."
"Cinta apaan? Benih-benihnya aja nggak ada, Ma!" lawan Bulan blak-blakan.
Bu Res menahan tawa gemas melihat kepanikan si bungsu. "Bukannya nggak ada. Belum, Dik! Belum!" tegasnya dua kali.
Tak ada yang perlu dibicarakan lagi, Bu Res membiarkan Bulan menikmati hasil racikannya. Ibu cantik itu tahu si bungsu butuh banyak istirahat supaya tidak terganggu secara mental. Dia sudah hafal kalau pengajuan nikah militer itu bisa bikin calsum dan calis stres berat. Bu Res juga takut Bulan sampai delirium, ilusi sampai halusinasi. Maka semua urusan nikahan diurusnya bersama sang Papa.
Bu Res berharap Bulan dan Ribi tinggal menikmatinya saja. Anggap saja kompensasi karena bakti mereka, mau menikah meski dipaksa. Lagipula mereka itu pasangan yang serasi kok, semesta saja sudah mengamini. Buktinya, semua persiapan pernikahan berjalan normal meski dilaksanakan dalam waktu yang buru-buru.
"Mama nggak tahu aja Ribi itu gimana. Dia itu manusia astral paling menyebalkan sedunia," kutuk Bulan kesal lalu mencebikkan bibirnya. "Tapi aku terlanjur dinikahinya."
Perasaannya malam ini sangat kacau. Mungkin sepanjang malam sampai esok harinya semua tak kunjung membaik. Kadang dia merasa sangat rindu terbang, sehingga seharian dia memeluk seragam kerjanya di kamar. Tanpa peduli rangkaian acara sibuk di luar kamar. Semua elemen keluarga mulai mempersiapkan malam midodareni. Dalam artian keluarga Pak Hasan datang dari Jakarta.
Pak Hasan mengambil cuti beberapa hari untuk menemani si bungsu, Ribi, menyunting gadis pilihan keluarganya. Malam ini menjadi malam terakhir Ribi dan Bulan menjadi lajang. Esok harinya, tanggal 12 Februari, mereka akan menjadi pasangan suami dan istri. Sah di depan negara dan Tuhan, keduanya akan dinikahkan.
Berbeda dengan kebanyakan calon pengantin normal, Bulan lebih banyak melamun murung di kamarnya. Padahal dia sudah cantik dalam balutan kebaya krem yang senada dengan kulit putihnya, di keningnya juga sudah terlukis rancangan paes prada dari tangan dingin Nyai Sampurno. Namun, tak bisa mengubah atmosfer wajahnya yang cemberut.
"Nduk Ayu, mbok senyum. Calon pengantin lanang-nya cakep begitu." Nyai Sampurno berusaha membuat Bulan melempar senyum. Namun, senyumnya malah asimetris. Gadis itu tak nafsu berbuat apa pun, otaknya kacau karena pernikahan itu sudah di depan mata.
Bintang yang dia harap muncul untuk menggagalkan kegilaan ini justru masih menghilang sampai sekarang.
Yang muncul justru Ribi dan pasukannya, Bapak dan Ibu Hasan. Membawa bala pasukan yang lain, keluarga besar dari Jakarta. Tak hanya itu jejeran kotak kaca seserahan sudah memenuhi ruangan tengah rumah besarnya saat ini. Malam ini bukan mimpi, Bulan akan menjalani midodareni dengan Ribi, pria yang dia bilang es balok itu datang dalam balutan beskap krem, senada dengan miliknya.
"Aduh, serasi sekali," Nyai Sampurno kembali melempar godaan. Bukannya tersenyum, Bulan malah mendengus enggan.
"Kok bisa sih pakai baju kembaran. Kayak badut sumpah," gerutunya dalam hati, saat mengintip lewat daun pintu. Ada pemandangan Ribi yang diam duduk di antara kedua orang tuanya yang sedang berbincang basa-basi dengan Pak Tama dan Bu Reswari. Namun, perwira muda itu hanya hening, enggan angkat suara.
Lamunan Bulan digugah oleh Nyai Sampurno yang tiba-tiba menuntun lengan kurusnya. Katanya, Bulan sudah waktunya keluar kamar untuk mengikuti prosesi. Kali ini dia akan meminta restu pada Papa dan Mamanya untuk menikah esok hari. Sebenarnya, kegiatan ini sudah sempat digeladi resik. Sayangnya, Bulan masih saja gondok menjalaninya. Terpaksa sih bisa apa.
"Iya, saya bisa jalan sendiri kok, Nyai," tolak Bulan enggan sembari melepas halus tangan perias terkenal itu.
Dihelanya napas panjang sebelum keluar kamar. Perlu dipinggirkannya kecemasan dan kejengkelan hatinya agar tak sampai mengacaukan malam ini. Bagaimana pula Bulan masih punya malu kok. Masih memegang kehormatan keluarga Gautama Salim di dadanya. Maka, dia keluar kamar dengan langkah anggun dan wajah yang dipaksa berseri. Disambutnya keluarga Ribi dengan senyum simetris seperti saat bekerja.
"Masyaallah, Alhamdulillah, cantik sekali Mbak Bulannya, ya?" sambut MC semringah saat Bulan melempar senyum lembut ke seluruh penjuru. Bukan rahasia kalau Bulan kru kabin INA Air yang terkenal karena kecantikannya. Layaknya Bintang yang selalu dipuja, Bulan pun sama.
"Mas Ribi senyam-senyum itu," goda MC yang satunya, heboh sendiri.
Tanpa mengulur banyak basa dan basi. Tangan Bulan menerima uluran mikrofon. Gegas dia menata suara untuk menjalankan prosesi yang mirip geladi bersih tadi pagi. Ditatanya suara yang lembut seperti saat memberi annouchment di pesawat. Pesonanya memang bak dewi Yunani, buktinya banyak yang melongo terpesona saat ini. Termasuk Ribi mungkin, hei dia jejaka normal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikah dengan Es Balok (TAMAT)
RomanceRated: 21+ Please, yang di bawah umur itu jangan baca! Jangan nekat! Saya tdk bertanggung jawab atas risiko yang timbul di kemudian hari. Source Pic Cover: Pinterest Edit by Canva Design by Nayla Salmonella Cover #2 By Kak Niaratika DILARANG PLAGIA...