Jaemin mendongakkan kepalanya saat ia melihat sosok Jeno sedang berdiri di ambang pintu ruang kerjanya. Sambil memegang telepon, Jaemin memberi isyarat pada pria itu untuk masuk ke dalam ruangannya. Saat Jeno melangkah masuk ke dalam ruang kerjanya, dengan enggan Jaemin mengalihkan perhatiannya pada fitur ketampanan Jeno untuk kembali fokus pada suara di sambungan teleponnya. ❝Ya, aku akan mengaturnya. Sekali lagi terima kasih.❞ Jaemin menutup teleponnya lalu menuliskan sesuatu di buku agendanya. Setelah selesai, Jaemin tersenyum pada Jeno.
❝Aku senang kau bisa menemuiku hari ini.❞
❝Aku selalu senang meluangkan waktu untukmu, Jaem.❞ Jaemin kesal pada dirinya sendiri ketika Jeno tersenyum padanya pipinya menjadi hangat bersemu kemerahan.
❝Aku menduga alasanmu memintaku datang ke sini karena kau menerima penawaranku.❞ Jeno mencondongkan badannya ke depan, telapak tangannya bertumpu di atas meja Jaemin. Wajah Jeno hanya beberapa inci dari muka Jaemin. ❝Aku yakin kau sudah memikirkan masalah ini masak-masak, untuk mempertimbangkan pilihanmu.❞
❝Ya,❞ bisik Jaemin, tubuhnya mulai menyadari kedekatannya dengan Jeno. Jaemin benci dirinya sendiri karena Jeno sangat mempengaruhinya.
❝Apakah kau membayangkan ingin melihatku telanjang hingga akhirnya kau menyetujui penawaranku?❞
Senyuman nakal Jeno membuat Jaemin memutar matanya. ❝Menurutmu bisakah kau bersikap sedikit dewasa dengan mempertimbangkan betapa seriusnya situasi ini?❞
Jeno tertawa dan duduk di kursi di depan Jaemin. ❝Baiklah, akan kucoba.❞
❝Dari sudut pandang bisnis, ini akan menjadi keuntungan terbaik kita berdua untuk masuk ke dalam perjanjian ini. Pertama, kita harus melakukan tes darah untuk memastikan tidak adanya kemungkinan STD (Sexually Transmitted Disease/penyakit menular) atau masalah kesehatan lainnya.❞
❝Aku bisa menjamin bahwa aku bersih, namun aku juga tidak keberatan untuk menjalani tes.❞
❝Terimakasih.❞ Jaemin menyodorkan sebuah map berwarna merah kepada Jeno. ❝Dan aku juga telah meminta pengacaraku untuk membuat kontrak ini.❞
Jeno melihat map itu sebelum dia menatap kembali pada Jaemin. ❝Sebuah kontrak, huh?❞
Jeno bersandar di kursinya dan membuka map itu. ❝Apakah kontrak ini seperti buku seks kinky dimana isinya menjelaskan apa yang bisa kita lakukan dan tidak selama berhubungan intim? Seperti batas keras dan kata aman?❞
Jaemin merasa pipinya mulai panas karena malu. ❝Tentu saja tidak!❞
Jeno tertawa, ❝aku senang mendengarnya. Asal kau tahu, aku bukan tipe yang suka dengan hal aneh semacam cambuk atau rantai.❞
❝Senang mendengarnya! Sekarang bisakah kau lebih serius, please?❞ Jaemin menghela napas. Dia bangkit dari tempat duduknya dan berjalan ke sisi samping meja kerjanya. ❝Kontrak ini menggarisbawahi tentang menantikan kelahiran anak, atau kupikir aku harus mengatakan kepadamu, sesuatu yang tidak bisa aku tuntut darimu sehubungan dengan apa yang terjadi setelah kau menjadi ayah dari anakku.❞
Saat Jeno membaca sepintas beberapa paragraf pertama, Jaemin melanjutkan. ❝Terus terang, apa yang tertera di sana adalah untuk melindungimu. Di situ bisa dipastikan aku tidak akan pernah mencoba menjeratmu mengenai kewajiban finansial, seperti tunjangan anak atau menuntut warisan dari seorang ayah.❞
❝Di bagian kelima nampaknya tidak ada kaitannya sama sekali dengan masalah finansial.❞ Jawab Jeno, sambil menyodorkan kontrak ke Jaemin.
Jaemin tak perlu membaca surat kontrak tersebut. Dia tahu dengan pasti apa yang tertera di bagian itu. ❝Bagian kelima melindungi aku jika kau ingin mencoba menuntut hak asuh atau ingin mengambil anak itu dariku.❞
❝Kau berpikir aku akan melakukan hal seperti itu?❞
❝Tentu tidak. Itu hanya. Hanya saja pengacaraku mengatakan—❞
Mata Jeno mulai terlihat semakin gelap. ❝Di paragraf ini ditulis, aku tidak akan pernah bisa berkomunikasi secara lisan ataupun kontak fisik dengan anakku.❞
❝Aku berpikir kau tidak menginginkan semua itu. Kau pernah mengatakan padaku sebelumnya bahwa kau sesungguhnya tidak pernah menginginkan anak ataupun bertanggung jawab sebagai seorang ayah,❞ bantah Jaemin.
❝Memang benar, namun bagaimana jika aku berubah pikiran? Katakanlah satu tahun dari sekarang aku ingin melihat anak laki-laki atau perempuanku tumbuh besar? Dan bagaimana jika suatu hari nanti anak itu ingin bertemu denganku?❞
❝Aku tidak tahu,❞ Jaemin menunduk malu dan menyandarkan tubuhnya di meja. ❝Jika Haechan yang akan menjadi ayah anakku, aku memiliki jawaban atas semuanya. Kami sudah saling mengenal dan menyayangi sejak kami berusia 12 tahun. Orangtuanya menginginkan cucu, jadi aku tahu Haechan akan terlibat dalam mengasuh anakku nanti, terlepas dari apa yang Mark inginkan.❞
Jaemin lalu mengangkat kepalanya dan bertemu dengan tatapan penuh harap Jeno. ❝Denganmu, semuanya terasa membingungkan.❞
Untuk beberapa saat mereka saling menatap. Jeno lalu merogoh kantung jasnya dan mengeluarkan sebuah pulpen, ❝ok, kita lakukan dengan caramu.❞ Jeno akan menandatangani kontrak itu.
❝Tunggu!❞ Jaemin berteriak.
Jeno terkejut dan melihat ke arah Jaemin. ❝Ada apa?❞
Jaemin menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan keras. ❝Jika kau memang serius ingin melihat bayinya, kita bisa merevisinya.❞
❝Baiklah. Tapi hanya mengubah bagian tentang aku bisa melihat anakku. Aku tak menginginkan bagian dari mengganti popok atau memberi susu di tengah malam, mengerti?❞
❝Jadi kita tidak akan berhubungan seks selama 24 jam dalam 7 hari?❞ Tanya Jeno sambil nyengir.
❝Tidak. Bukan begitu caranya.❞
❝Sayang sekali,❞ kata Jeno sambil berpikir.
Jaemin memutar badannya ke belakang untuk melihat kalendernya. ❝Apakah seminggu dari hari Senin bisa?❞
❝Kedengarannya menyenangkan untukku.❞
Jaemin menggigit bibirnya, dia ragu-ragu sebelum dia menguraikan seluruh permintaannya dalam membuat seorang bayi. Dia merasa malu untuk membicarakan semuanya di hadapan Jeno.
❝Katakan saja, Jaem,❞ pinta Jeno, nadanya bercampur dengan geli. Untuk sesaat Jaemin menyipitkan matanya ke arahnya karena Jeno terlalu pandai membaca bahasa tubuhnya.
❝Baiklah, jadi begini aturannya. Sebaiknya kita melakukan hubungan intim dua hari sekali selama masa suburku. Berhubungan seks setiap hari bisa menjadi kurang produktif bagi program kehamilan. Jadi bisakah kau menemuiku lagi pada hari Rabu dan mungkin saja Jumat?❞
Sebuah cengiran nakal melintasi wajah Jeno. ❝Baik, beritahu aku bila jadwalnya berubah. Aku akan siap dan berereksi kapanpun kau membutuhkan aku.❞
❝Terimakasih,❞ jawab Jaemin dengan senyuman agak kaku, ❝sekarang masalah sudah selesai, di mana kita harus bertemu?❞
❝Aku pikir kau ingin membuat hal ini seperti bisnis saja, jadi mungkin lebih baik kita memilih tempat yang netral seperti kamar hotel, daripada rumahmu atau rumahku.❞
Jaemin mengangguk, ❝kedengaran bagus.❞
❝Aku hanya berpikir, karena kau sudah mau membantuku, aku akan menanggung biaya hotel, hanya saja beberapa malam agak sedikit melebihi budgetku.❞
Jeno menggelengkan kepalanya. ❝Tidak, aku yang akan membayarnya.❞
❝Tapi—❞
❝Aku rasa itu tepat untuk mengatakan aku menghasilkan uang lebih banyak darimu, jadi biarkan aku yang mengurus masalah ini.❞ Pada saat Jaemin menarik napas tajam, Jeno mengangkat tangannya. ❝Lagipula, kau harus menabung untuk membiayai anak itu.❞
Walaupun Jaemin tidak menyukai Jeno menggunakan referensi gajinya, namun dia menyadari Jeno ada benarnya juga. ❝Baiklah, kau boleh membayar.❞
❝Terimakasih.❞
❝Jadi, hari Senin jam tujuh malam?❞ Tanya Jaemin.
❝Itu sebuah kencan.❞
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] 𝐉𝐉 [𝟏] 𝐖𝐎𝐔𝐋𝐃 𝐔 𝐁𝐄 𝐌𝐈𝐍𝐄
Fanfictionㅤㅤㅤㅤ♡· ᗯOᑌᒪᗪ YOᑌ ᗷE ᗰIᑎE ·♡ㅤㅤㅤ Setelah putus dengan FWB terakhirnya, hal yang Lee Jeno tidak inginkan adalah pertanyaan menjengkelkan dari keluarga besarnya tentang status bujangannya itu. C'mon, jangankan menikah, mempunyai kekasih saja ia tidak in...