Bab 53

339 26 5
                                    

Jeno menghentikan seorang perawat yang lewat, tapi suara seseorang menghentikannya di tengah lorong yang dingin.

Itu suara Jaemin.

Suaranya menarik Jeno lebih dekat dan semakin dekat seperti sebuah sirine memimpin seorang pria yang akan menemui ajalnya. Langkahnya melambat seakan merangkak saat dia menajamkan matanya ke pintu di koridor di depannya. Terakhir kali dia melihat Jaemin saat ia membuat pria mungil itu menangis. Jeno tau jika dirinya telah jatuh —sejatuh-jatuhnya— cinta pada pria yang mengandung anaknya sekarang.

Berhenti sejenak di depan pintu, Jeno berusaha meredam detak jantungnya yang sangat cepat. Ibunya berbaring dengan Jaemin duduk di sampingnya di tempat tidur sedangkan ayahnya duduk di sofa kecil sedang membaca sesuatu melalui tab kerjanya. Jaemin memegang sebelah tangan ibunya yang ditambatkan ke tiang infus dengan kedua tangannya. Meskipun Taeyong memiliki selang oksigen yang tertahan di hidungnya, dia tampak baik-baik saja dan sedang menikmati perbincangannya dengan Jaemin.

"Kau benar-benar berhati malaikat. Aku sungguh-sungguh menyayangimu, Jaem."

Meskipun dia menundukkan kepalanya, Jeno bisa melihat semburat merah khas di pipinya yang seperti biasanya karena malu. "Terima kasih."

Jaemin membungkuk dan mencium pipi Taeyong. "Kau tahu tidak ada sesuatu yang tidak akan aku lakukan untukmu, dan itu termasuk menyanyikan lagu dengan nada terlalu tinggi di ruang UGD." Satu tangan melayang ke perutnya sambil sebuah senyuman menyebar di seluruh wajahnya. "Jisung sepertinya juga menyukai obrolan kita. Dia menari-nari dengan gila sekarang." Mengambil tangan Taeyong, dia membawanya ke perutnya. "Lihat?"

Jeno tercekat dan terhuyung-huyung ke belakang. Apa-apaan ini? Anaknya memiliki nama, dan dia bahkan tidak dilibatkan di dalamnya. Bagaimana Jaemin bisa melakukan sesuatu yang sangat monumental dengan menamai anaknya tanpa bertanya kepadanya? Dia seharusnya tidak peduli bahwa Jaemin sudah memberi anak mereka, tetapi Jeno tidak begitu. Kemarahan berdenyut melalui dirinya. Berjalan dengan angkuh melewati pintu, dia berseru, "Jisung?"

Taeyong dan Jaemin sama-sama berpaling untuk menatapnya, begitupula dengan Jaehyun. Wajah Jaemin memerah dari pipi putih gadingnya turun ke bawah ke lehernya, sementara tatapannya tampak panik melesat di sekeliling ruangan seolah-olah mencari jalan keluar. Berjuang turun dari tempat tidur, dia mundur sejauh mungkin dari Jeno.

Meskipun perhatiannya seharusnya pada ibunya yang sakit, tapi Jeno tidak bisa mengalihkan pandangan matanya dari Jaemin. Setiap kemarahan yang dia rasakan pada Jaemin cepat menguap, dan hatinya berkontraksi dengan cinta untuk Jaemin. Ya Tuhan, Jeno merindukannya. Dia tidak menyadari bagaimana Jaemin sampai berdiri tepat di depannya seperti sebuah visi. Dia bisa saja menjadi salah satu mawar Taeyong yang sedang mekar. Payudaranya tampak sangat penuh, perutnya membulat, dan pinggulnya yang melebar.

Jeno berjuang untuk menarik napas.

Ketika Taeyong berdehem, Jeno segera berpaling menatap ke arahnya. Taeyong tersenyum. "Ya, Lee Jisung. Tidakkah kau berpikir itu adalah nama terbaik untuk anakmu?"

"Ya," gumam Jeno, lalu melirik kembali ke Jaemin. Ketika Jaemin akhirnya berani menatapnya, Jeno menganggukkan kepalanya. "Lee Jisung adalah nama yang sangat bagus."

Mata Jaemin melebar mendengar sindiran tersebut, ia sadar jika anaknya menyandang marga Lee maka ia tidak akan bisa pergi jauh. Padahal sebenarnya ia telah menyiapkan naman Na Jisung untuk anaknya tetapi sepertinya ayah Jisung tidak berpikir begitu. Jeno menyiapkan diri untuk protes darinya, tapi sebaliknya Jaemin mulai beringsut menuju pintu. "Um, aku akan pergi mendapatkan sesuatu untuk diminum."

"Aku akan mengambilnya untukmu," Jeno menawarkan.

"Tidak, tidak, aku baik-baik saja. Kau seharusnya disini."

𝐉𝐉 [𝟏] 𝐖𝐎𝐔𝐋𝐃 𝐔 𝐁𝐄 𝐌𝐈𝐍𝐄Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang