Bab 34

511 59 0
                                    

Seperti mimpi, Jaemin merasakan sesuatu yang lembab menjelajahi punggungnya yang telanjang hingga ke arah leher. Saat Jeno menekan ereksinya di pagi hari ke punggung Jaemin, matanya langsung terbuka. Jaemin menengok untuk menatap Jeno dari atas bahunya. "Selamat pagi juga. Atau harus aku katakan selamat pagi untuk kalian berdua." katanya, suaranya terdengar bahagia.

Jeno menyenandungkan sebuah tawa di telinganya. "Maaf, aku membangunkanmu. Aku tidak bisa tidak bergairah jika terbangun di samping seorang dewi yang menggairahkan dan telanjang."

"Apa kau berpikir dengan menyanjungku kau bisa mendapatkan aku lagi?"

"Aku sangat mengharapkan hal itu."

"Hmm, aku pikir aku sudah memberimu hadiah seks yang menyenangkan tadi malam. Aku tidak ingat kalau pagi ini juga termasuk dari kesepakatan kita."

"Jadi, kau ingin menggodaku dengan pura-pura sulit untukku dapatkan?" Jeno meletakkan tangannya di antara perut dan kedua kaki Jaemin. Jaemin menghirup napas. "Apakah itu berarti ya?" tanya Jeno, jari-jarinya mempercepat tempo mereka.

"Ini jelas bukan tidak." gumam Jaemin sambil menyandarkan kepalanya pada bahu Jeno.

Pada saat orgasme mulai terbangun, tiba-tiba rasa mual melandanya. "Tidak, tidak, hentikan!" Jaemin berteriak.

Jeno menatap ke bawah dengan heran. "Apa yang salah?"

"Aku—" Jaemin menutup mulutnya dengan tangan, berharap tidak memuntahi Jeno. Dia melangkahi kaki Jeno langsung melesat ke kamar mandi. Dia nyaris memuntahkan isi perutnya sebelum berhasil mencapai kamar mandi. Jaemin mencengkeram sisi dudukan closet lalu mulai muntah dengan hebat. Secara terus menerus, perutnya mendorong keluar semua yang ada di dalamnya. Merasa lelah, Jaemin berlutut. Ketika dia mengangkat kepalanya, dia melihat Jeno berdiri di ambang pintu. Dia hanya memakai celana dalamnya, Jaemin melihat kejadian ini telah memadamkan libido Jeno.

"Mual di pagi hari?"

"Umm, hmm." keluhnya.

"Mau aku ambilkan sesuatu?"

"Tidak, aku—" Jaemin muntah lagi, lalu membawa lengannya ke mulut. Dia tidak berani menatap Jeno. Rasanya memalukan, Jeno melihatnya seperti ini. Sambil menatap lantai, dia berkata, "Aku baik-baik saja. Kembalilah ke tempat tidur."

Tanpa bicara, Jeno meninggalkan kamar mandi. Jaemin tak dapat menyalahkannya. Dia dapat mengerti bahwa aspek kehamilan yang tidak menarik ini hanya akan membuat Jeno semakin menjauhinya. Apa yang membuat Jeno menginginkannya jika dia bisa mendapatkan wanita manapun yang dia inginkan?

Jaemin menempelkan pipi pada tutup closet, dia merasa cairan pahit naik ke tenggorokan lagi. Diam-diam berharap untuk tidak muntah lagi. Kemudian Jeno muncul di ambang pintu. Jaemin melihatnya membawa segelas air dan sekantong biskuit asin. Jaemin menatapnya heran, sementara Jeno tersenyum malu. "Aku kira ini dapat membantu."

Dia tidak melarikan diri malah sebaliknya, dia berusaha mendapatkan sesuatu yang bisa membuat Jaemin merasa lebih baik. Tindakannya membuat perasaan Jaemin jungkir balik seperti berada dalam sebuah permainan roda putar yang lepas kendali. "Terima kasih." bisiknya.

Bukannya meninggalkan keduanya di meja lalu berbalik keluar pintu, Jeno malah meraih handuk lalu membasahinya dengan air dingin. Kemudian berjongkok di samping Jaemin, meraih wajahnya. "Jeno, kau tidak—" protesnya.

"Shh, biarkan aku merawatmu." Dengan pelan Jeno mengusapkan handuk basah pada pipi dan dahi Jaemin. Tindakannya menghangatkan hati Jaemin, membuat rasa cintanya yang begitu besar terpancar dari dalam dada. Seluruh keraguan tentang kedalaman perasaannya terhadap Jeno lenyap. Jaemin menutup mata sehingga Jeno tidak akan melihat air matanya. "Apa rasanya enak?"

Tanpa mampu berbicara, Jaemin menganggukkan kepala.

"Aku sangat menyesal membuatmu muntah," kata Jeno.

Matanya langsung terbuka. "Ini bukan salahmu."

Dia menyeringai, "Well, sepertinya aku membuatmu bekerja keras."

Dia tersenyum lemah. "Tapi aku yang memintamu. Jika ini kesalahan seseorang, maka ini adalah salahku."

"Apakah selalu seburuk ini?"

Jaemin mengangguk. "Setiap pagi, terkadang di sore hari." Dia bergidik. "Juga karena bau tertentu."

Jeno meremas handuk di tangannya. "Aku harap aku bisa membantumu. Aku merasa tak berdaya melihatmu menderita."

Kata-katanya membuat dada Jaemin terasa sesak. "Aku sudah merasa cukup dengan kau ada di sini—menenangkanku seperti ini." Dia mengulurkan tangan untuk menyentuh pipi Jeno. "Kau memiliki hati yang baik dan memberi begitu banyak cinta. Kau akan menjadi ayah yang baik."

Jeno menatapnya tak percaya—dadanya naik turun dengan cepat. Jaemin bisa melihat seluruh emosi Jeno lenyap tepat di hadapannya. Jeno menggeleng. "Kau memberiku terlalu banyak nilai positif. Selain itu, aku benar-benar brengsek jika meninggalkanmu sendirian ketika kau sakit." Jaemin bangkit dari lantai lalu melemparkan handuk ke meja.

Jaemin menggigit bibirnya, sadar bahwa mungkin ini hal terbaik yang pernah dia dapatkan dari Jeno—hanya rasa peduli dan perhatian yang cukup dari hati nuraninya. Hal ini tidak akan pernah cukup untuk membuat Jeno mencintainya. Dia hanya perlu menerima fakta itu lalu menjaga perasaannya. Dia hanya dapat memberikan dirinya secara fisik—meskipun dia sangat berharap bahwa keintiman fisik akan membuat Jeno merasakan sebuah perasaan emosional yang kuat.

Jadi Jaemin menarik napas dalam-dalam lalu bangkit dari lantai. "Aku akan mandi."

Jeno berbalik dengan kaget. "Kau sudah baikan?"

"Mual dan muntah tidak pernah berlangsung lama. Aku merasa lebih baik sekarang." Dia tersenyum. "Kau ingin bergabung denganku?"

"Apa kau yakin?"

"Aku tidak bisa menjanjikan apapun." Dia menarik tirai kamar mandi lalu menyalakan air. "Selain itu, kita berdua harus siap dalam beberapa menit karena aku berharap kau membelikanku sarapan. Kau mengerti, karena telah membuatku kelelahan dan semuanya."

Dia menyeringai. "Aku rasa aku bisa melakukannya."

𝐉𝐉 [𝟏] 𝐖𝐎𝐔𝐋𝐃 𝐔 𝐁𝐄 𝐌𝐈𝐍𝐄Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang