Bab 23

645 75 0
                                    

Pada hari Rabu ketika Jaemin melangkah memasuki kantor Jeno, ia menengadah dari dokumen yang dia baca dan memandang di setiap aspek penampilan Jaemin. Pria manis itu tahu dia tampak begitu berbeda sejak Jeno meninggalkannya kemarin pagi—dengan telanjang bulat di bawah selimut. Hari ini dia muncul bagaikan seorang pegawai profesional yang berpengalaman dengan celana bahan warna abu-abu, kemeja warna hitam, dan sepatu bertumit. Tapi meskipun dia berpakaian rapi, dia merasa sama saja dengan telanjang dari cara Jeno menatapnya.

Masuk dan keluarlah dengan cepat, dan kau takkan terluka, Jaemin mencoba mengingatkan dirinya sendiri. Dia tersipu saat bertemu dengan mata Jeno yang seperti sedang memicingkan matanya. "Hai." katanya, malu-malu.

"Halo. Untuk apa aku berhutang kesenangan dengan kunjunganmu ini?"

Ambil napas dalam-dalam, Jaem. Kau bisa melakukannya. Yang bisa dilakukan Jeno hanyalah mengatakan tidak dan mungkin sekali dia akan mempermalukanmu secara menyeluruh atas usulan itu di siang hari. Belum lagi jika dia mungkin mengajukan tuduhan pelecehan seksual. Jaemin melihat ke sekeliling. "Um, saat ini kau tidak sibuk, kan?"

"Tidak, aku hanya sedang menunggu waktu untuk meeting. Kenapa?"

Jaemin menggigit bibirnya sekali lagi, dia tidak yakin apakah dia benar-benar bisa melakukan pendekatan seperti ini pada Jeno. Sejak dia melakukan tes kehamilannya di kamar mandi tadi pagi, pikirannya menjerit betapa gilanya dia, bahkan berpikir untuk mengajak Jeno berhubungan seks saat mereka sedang bekerja. Saat lift meluncur naik ke atas, kesadarannya bekerja dan mendorongnya terlalu jauh dengan menyebut dirinya sebagai pria jalang yang tidak tahu malu atau bahkan mempertimbangkan dia seperti pria panggilan untuk seks di tengah hari.

Dia menantikan suara-suara di kepalanya keluar. "Well, kau tahu, suhu tubuhku naik beberapa waktu yang lalu."

Alis Jeno berkerut. "Kau datang kesini untuk memberitahuku bahwa kau sakit?"

Dengan tertawa gugup, Jaemin menjawab, "Tidak, tidak, tidak seperti itu. Hanya saja..." Dia menarik napas, mencoba menenangkan sarafnya. Hal ini sedikit membantu lututnya yang gemetaran. Apalagi dia akan berbicara tentang kata-kata yang tidak perlu disebut lagi lebih dari yang dituduhkan. "Kau tahu, aku telah melakukan tes ini untuk mengetahui kapan aku subur. Dan well... sekarang inilah saatnya."

Jeno menatap ke arah Jaemin, untuk sesaat dia tak berkedip dan nyaris tak bernapas sebelum sebuah seringaian melengkung di bibirnya. "Oh, jadi kau datang ke sini untuk seks?"

Jaemin meringis. "Apakah kau selalu harus berkata blak-blakkan?"

Jeno terkekeh. "Maafkan aku. Apakah kau lebih suka jika aku menyebutnya sebagai sebuah kenikmatan di sore hari?" godanya, seakan menikmati fakta bahwa Jaemin sekarang sedang menggeliat di atas sepatunya.

"Tolong berhentilah." gumamnya. Untuk menguji keberaniannya, dia melangkah mendekati meja Jeno. Sungguh ajaib, kakinya terasa lentur seperti karet, sebenarnya hal itu sangat mendukungnya.

Dengan Jeno yang bertindak seperti seseorang yang gila seks, Jaemin tidak perlu khawatir karena dia tidak memiliki perasaan sesuatu padanya. Ini adalah tindakan tercela Jeno yang Jaemin ingat saat pesta Natal, Jeno bukan seperti orang yang memeluknya dari belakang saat tidur kemarin malam itu. Jaemin menyadari bahwa dia harus menyimpan catatan perilaku Jeno dibenaknya setiap kali dia mulai tergelincir masuk ke ranjau emosional dari perasaannya yang lebih mendalam pada Jeno.

Mengandalkan lebih dari kemauan keras membuat Jaemin mengambil langkah satu inci di sekitar sisi meja. Ketika dia bertemu dengan kerlingan mata Jeno, Jaemin mendesah. "Tolong, bisakah kau bersikap seperti yang kau lakukan kemarin malam?"

"Dan bagaimana itu?"

Dia menundukkan kepalanya. "Entahlah, hanya saja tidak seperti ini."

"Maafkan aku, Jaem. Hanya saja aku tidak terbiasa diperlakukan seperti sepotong daging di siang hari."

Matanya bertemu dengan tatapan Jeno yang geli. "Aku minta maaf jika aku membuatmu merasa seperti itu. Aku sebenarnya lebih suka menunggu kesempatan ini nanti malam. Kau tak bisa membayangkan betapa sulitnya hal ini bagiku untuk datang ke sini dan penawaran yang kau berikan seperti ini benar-benar mengerikan, belum lagi melakukan sesuatu yang memalukan. Aku sangat membencinya, Aku perlu bantuanmu untuk membuatku hamil. Dan aku membutuhkanmu sekarang."

Jeno bergeser di kursinya dan Jaemin tahu permohonannya itu memiliki efek pada diri Jeno. "Aku harus mengakui, kau membutuhkan aku seperti ini adalah salah satu yang membuatku begitu bergairah, Jaem," ujarnya. Sambil menunjuk ke arah pintu, dia memerintahkan, "Kunci pintunya."

Jaemin bergegas untuk memastikan bahwa tak ada seorangpun yang akan mengganggu mereka. Ketika dia kembali ke sampingnya, Jeno menekan tombol telepon. Suara sekretarisnya muncul dari speaker. "Ya, Tuan Lee?"

"Taeil hyung, tolong mundurkan jadwal meetingku yang jam 3:00. Tiba-tiba ada sesuatu yang harus kukerjakan." Dia mengedip ke Jaemin.

"Baik, Tuan."

"Dan pastikan aku tidak terganggu selama tiga puluh menit ke depan."

"Akan saya lakukan."

Setelah Jaemin yakin Jeno telah menutup teleponnya, dia menggelengkan kepalanya. "Setengah jam? Seseorang pasti percaya pada dirinya sendiri akan staminanya."

Jeno tertawa. "Jangan meragukan staminaku." Mendorong kursinya ke belakang, Jeno berputar di mana lututnya menyentuh Jaemin. Hasrat terpancar di mata Jeno saat dia membawa tangannya ke atas, dan mengaitkan kedua jarinya di belakang kepalanya. "Baiklah. Aku milikmu, sayang. Yang harus kau lakukan adalah setubuhi aku sekarang."

Mata Jaemin terbelalak. "Tapi bukankah kau..." dia terdiam, pandangan matanya berkedip di atas sofa hitam.

Jeno menggelengkan kepalanya dengan pelan-pelan. "Kaulah yang membutuhkan aku. Sekarang giliranmu, terserah kau."

Rasa malu dan amarah menjalar di dalam dirinya. Jeno seakan membuat hal ini menjadi lebih sulit dari yang seharusnya pada Jaemin. "Baiklah," katanya jengkel. Tanpa mengalihkan pandangannya dari mata Jeno, Jaemin membuka celananya hingga turun ke pinggulnya.

Jeno mengambil napas dalam-dalam, saat Jaemin tiba-tiba memperlihatkan bagian pangkal pahanya yang ditutupi celana dalam berenda. "Sialan, kau sangat seksi," gumamnya.

Setelah Jaemin melepaskan celana dalamnya, pelan-pelan dia menurunkan celananya kembali sedikit ke bawah dan melangkah menghampirinya. Dia ingin sekali menampar langsung seringaian sombong di wajah Jeno yang tampan. Kilatan geli di matanya jelas mengatakan padanya bahwa Jeno sangat menikmati rasa malunya. Dengan kekuatan lebih dari yang dia butuhkan, Jaemin mendorong kaki Jeno agar terpisah dengan salah satu lututnya. Kemudian dia membungkuk ke arah Jeno, menempatkan jarinya ke ikat pinggangnya. Ereksinya sangat jelas terbentuk di celananya. Setelah Jaemin cepat-cepat menurunkan resleting celananya, pelan-pelan dia mulai turun ke pangkuan Jeno.

"Apa? Tanpa pemanasan terlebih dulu?" tanya Jeno dengan suaranya bergetar penuh rasa humor.

Dia merenggut ke arahnya. "Ini bukan tentang orgasme, tapi ini untuk mendapatkan apa yang kuinginkan," balasnya, tangannya menyelip masuk ke celana dalam Jeno lalu jari-jarinya meremas kemaluannya.

"Maaf sayang, jika aku tidak orgasme, maka kau tak akan mendapatkan apa yang kau inginkan."

Sambil memutar matanya, Jaemin mengarahkan ereksi Jeno di antara kemaluannya. Saat Jaemin meluncur perlahan, rasa nikmat terasa di sepanjang kejantanannya. Jeno mengerang dan membawa bibirnya ke leher Jaemin. Begitu dia merasakan di dalam diri Jaemin, Jeno menjilat ke atas menuju telinga Jaemin dengan menyisakan kelembaban, mengisap daun telinganya. "Hmm, seseorang yang sangat basah dan siap untukku bahkan tanpa sentuhan. Aku pasti memiliki beberapa efek untukmu, sayang."

Jaemin melarikan jarinya menuju rambut Jeno, menyentakkan kepala Jeno ke atas untuk bertemu dengan tatapan matanya. Sambil tersenyum, dia berkata, "Jangan menyanjung diri sendiri. Jelas-jelas ini masalah biologis. Karena adanya hormon dan esterogen, bukan kau, yang membuatku..."

Jeno mencengkram pinggul Jaemin dengan kuat, jarinya mendorong ke dalam lubangnya. "Katakan saja."

Jaemin sempat ragu sebelum berbisik, "Basah."

[✓] 𝐉𝐉 [𝟏] 𝐖𝐎𝐔𝐋𝐃 𝐔 𝐁𝐄 𝐌𝐈𝐍𝐄Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang