Bab 50

352 26 18
                                    

JENO duduk di ruang keluarga yang sangat gelap selama berjam-jam setelah Jaemin meninggalkannya. Dia ingin meraih telepon untuk berbicara dengan Jaemin tapi kemudian menghentikan keinginannya sendiri. Dia akan berdiri untuk mendatangi Jaemin kemudian berpikir bahwa dirinya orang yang bodoh.

Tidak, dia bukan pria yang dibutuhkan Jaemin. Dia tidak pernah bisa memenuhi harapan Jaemin sebagai seorang suami yang seharusnya menjadi seorang ayah juga. Mereka berdua telah terjebak. Jeno menginginkan jalan keluar selama seminggu terakhir, dan dia telah menemukannya.

Tapi bukannya merasa lega, tapi dia merasa sengsara.

Kebebasannya tertekan dan emosi yang menyesakkan belum juga datang bersama kepergian Jaemin. Sebaliknya, perasaan itu lebih kencang mengelilingi dirinya daripada sebelumnya. Dia kalah, dia bangkit dari sofa untuk mengambil bir. Kakinya tanpa sengaja menendang kotak DVD sampai menyeberangi ruangan. Dia membiarkannya tergeletak di sana saat dia menuju ke dapur.

Setelah menyambar satu pak bir isi enam dari kulkas, dia kembali lagi ke ruang keluarga. Matanya melihat kotak plastik DVD, dan dia berhenti lalu mengambilnya. Melemparkannya di atas meja, lalu dia menyalakan TV dan mulai mencari-cari saluran.

Setelah bir ketiga, rasa ingin tahunya akhirnya muncul pada dirinya. Dia mengeluarkan kepingan DVD itu dan memasukkannya ke dalam DVD player. Suara dari permainan basket yang tadi ditonton menghilang, dan digantikan oleh bunyi detakan keras bergema di seluruh ruangan.

Detak jantung anaknya.

Jeno membeku, menatap gambar berbintik di layar televisi. Sampai terakhir dia melihat bayi itu hampir tidak mirip apa-apa. Terlihat sesuatu seperti kecebong yang aneh. Sekarang detail-detailnya tampak jelas—tangan dan kakinya seperti melambai sementara mulutnya yang kecil bergetar terbuka dan menutup.

Jika dia menjadi lumpuh karena emosi sewaktu dia merasakan bayinya bergerak, kejadian saat itu tidak bisa dibandingkan ketika dia benar-benar melihat gambar anaknya. Satu bagian dari dirinya telah tumbuh menjadi kuat dan sehat di dalam diri Jaemin. Seorang anak yang telah dia janjikan akan dimiliki ibunya.

Tapi anaknya sudah pergi. Begitu juga dengan Jaemin. Jeno telah membuang jauh kebahagiaan itu dengan kedua tangan. Menenggelamkan dirinya di sofa, dia membiarkan isakan tangis berputar pada dirinya. Terakhir kali dia menangis ketika dia kehilangan ibunya. Sekarang dia mengalami kehilangan lagi yang membuat jiwanya remuk.

Dengan jari-jari gemetar, dia meraih telepon. Setelah menekan nomor yang familiar itu, dia membawa telepon ke telinganya. "Tolong jawab, tolong jawab," pintanya.

"Halo?"

"Mom, ini aku. Aku mengacaukannya, dan aku butuh bantuanmu."

✴✴✴

Jeno mencoba menenangkan jantungnya yang berdetak kencang saat dia berlari ke jalan depan rumah. Tersandung undakan teras, dia tersungkur ke arah pintu depan. Dia menggedor kayu sekeras yang dia bisa dengan kedua tinjunya. "Please! Aku mohon buka pintunya! Aku harus bicara padamu!" dia berteriak. Tangannya meluncur turun dari pegangan ke bel pintu. Jarinya memencet bel tanpa henti.

Akhirnya, usaha putus asanya membuahkan hasil dengan pintu depan terayun membuka. Melihat wajahnya yang bernoda air mata, jiwa Jeno terpilin menyakitkan. "Tolong... izinkan aku bicara padamu!"

Dia menggelengkan kepalanya. "Tak ada lagi yang harus dikatakan, Jen. Kita sudah melewati jalan ini terlalu sering. Aku telah sampai pada kesimpulan bahwa tindakanmu akan selalu berbicara lebih keras dari pada kata-katamu."

"Tidak, tadi malam bukan apa yang aku inginkan. Hanya saja aku takut dengan kehadiran bayi itu dan semua yang terjadi di antara kita beberapa minggu terakhir."

[✓] 𝐉𝐉 [𝟏] 𝐖𝐎𝐔𝐋𝐃 𝐔 𝐁𝐄 𝐌𝐈𝐍𝐄Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang