Pagi, Dears!
Nungguin dari tadi?
Sengaja. Biar pada tidur dulu kalian. Biar pas baca, pada nyambung. Enggak oleng.
Langsung saja, yuk.
Vote, comment, and share cerita ini ke teman kalian.
Happy reading!
***
Alyka memisahkan diri setelah membagikan makan siang untuk anak-anak pengungsian. Dia duduk di tumpukan batu di bawah pohon besar yang menjulang. Agak jauh dari tenda-tenda penduduk, memang. Namun dari tempatnya duduk, netranya masih bisa membingkai interaksi para korban bencana alam.
Membalikkan badan, sepasang mata Alyka langsung disuguhi hamparan lahan dengan berbagai jejak kerusakan. Sebelum gempa dan tsunami menerjang, lahan itu padat oleh rumah penduduk. Kini rumah-rumah itu porak-poranda mejadi kepingan-kepingan yang berserakan.
Alyka berjengit merasakan gelanyar dingin di pipi. Dia menoleh dengan sedikit mendongak. Mengetahui siapa yang berulah, Alyka mengembangkan senyum.
"Makan dulu. Kamu tahu, kan, kalau kita enggak ada waktu buat sakit di saat sekarang?"
"Thanks, Mas!" Alyka menerima air mineral dingin yang entah pria itu dapat dari mana. Dia juga mengambil sebungkus nasi yang disodorkan. "Aku makan nanti."
Pria itu mengambil tempat duduk di sebelah kiri Alyka. Kepalanya miring, memandang Alyka dari samping. Kemudian netranya jatuh pada gerakan memutar telunjuk dan ibu jari Alyka di sekeliling jari manis tangan kiri. Entah kebiasaan atau bukan, Alyka pasti melakukan gerakan tak kentara itu di setiap kesempatan. Kedua alisnya lantas mengeriting seolah-olah sedang bergulat dengan sesuatu yang sudah lama membuatnya penasaran.
"Is there something on your ring finger before?" tanyanya.
Alyka kembali memberi pria itu atensi. Keningnya berkerut dalam, mengekspresikan rasa heran. "Kenapa Mas Wira tanya begitu?"
"Because you always do that." Wira mengarahkan dagunya menunjuk gerakan jari Alyka. "Did you lose anything?"
Alyka melirik ke arah yang sama. Perlahan dia melepas tautan jemarinya. Tersenyum kaku, dia menjawab pertanyaan Wira. "Enggak bisa dibilang kehilangan juga, sih, Mas."
Sebelah alis Wira terangkat naik, menanti penjelasan Alyka selanjutnya.
Alyka mengarahkan pandang ke reruntuhan bangunan. "Mungkin karena aku belum terbiasa membiarkan jariku kosong."
Sebaris kalimat itu diucapkan Alyka dengan kejujuran. Dua tahun berlalu, Alyka masih terbayang-bayang cincin yang biasa melingkari jari manisnya. Tidak mudah membuang kenangan yang telanjur menancap lekat. Sudah dia katakan kalau Eros adalah semua hal yang pertama untuknya, bukan?
Di saat dalam sekejap mata dia diharuskan melepas, dia memang melakukannya. Akan tetapi, dia tak kuasa mengendalikan diri bila sewaktu-waktu rindu tiba-tiba menelusup. Tak jarang dia memberangus perasaan itu ketika sadar bahwa yang dia rindukan hanyalah kenangan yang tak mungkin terulang. Pada akhirnya, dilema dan rasa sakitlah yang lebih dominan.
Beruntung, bergabung bersama para relawan membuatnya sibuk. Berpindah-pindah tempat ke berbagai daerah yang terkena bencana membutuhkan mental dan fisik yang tak tanggung-tanggung. Berpegang pada nilai kemanusiaan, Alyka sebisa mungkin mengesampingkan urusan perasaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
FINDING CINDERELLA | ✔ | FIN
RomanceGhaitsa Alyka Putri mencintai sahabatnya, Naka Antasena. Sementara Naka dengan riang mengatakan telah melamar Jihan Fakirah. Tak terbayang betapa remuknya hati Alyka walau susah payah menyunggingkan senyum bahagia demi ikut merayakan hari bahagia Na...