XLVI. Tali Persahabatan

115 18 4
                                    

Senin, 30 Juni

Suara tangisan dari beberapa keluarga penumpang yang menunggu makin menggema, diikuti oleh banyaknya orang yang berlarian ke sana kemari membuat ruangan ini terasa begitu chaos.

Mendengar apa yang baru saja ia dengar membuat Vino diam mematung, tangannya gemetar namun secara bersamaan tidak bisa digerakan sesuai dengan kemauannya. Suara kekacauan di sekitarnya seperti mendekat dan menjauh secara bersamaan, keringat mengucur deras dari dahinya.

"Vin, lo gapapa?" tanya Lidyo khawatir

Vino tidak menjawab, atau lebih tepatnya tubuhnya tidak bisa ia kontrol dan melakukan apa yang ia inginkan.

Nafasnya makin menderu dengan cepat, dan kemudian secara tiba-tiba ia seperti tidak bisa bernafas. Vino mengalami apa yang disebut panic attack.

"Gue gak bisa nafas! Gimana caranya nafas?!" teriak Vino panik.

"Tarik nafas Vin!"

"GAAAAKKK BISAAAAA!!!"

Vino benar-benar berusaha untuk bernafas namun tetap tidak bisa, tubuhnya tidak dalam kendali dirinya. Suara keributan di sekelilingnya dimana para keluarga korban banyak yang histeris sama sekali tidak membantunya, justru itu makin memperparah keadaannya. Karena tidak tahan dan mencegah tidak makin parah, Vino memutuskan untuk lari keluar ruangan itu.

Melihat kakaknya yang tiba-tiba saja lari, Febi langsung menghampiri Mama Laura dan Lidyo untuk mencari tahu.

"Kakak kenapa Mah?" tanya Febi.

Mama Laura menggeleng, karena ia juga kurang paham. "Dek, kamu cari dan temenin kakak kamu ya, biar mama minta tolong sama petugas medis di sini."

Mama Laura langsung pergi mencari petugas medis yang ia tahu sudah banyak disiapkan di lokasi posko Basarnas ini. Sebenarnya ia lebih ingin menenangkan putranya itu dan Febi yang mencari petugas medis, namun ia berpikir bahwa akan lebih mudah untuk meyakinkan petugas medis untuk menolong jika ia yang memintanya, terlebih ia punya akses yang diberikan oleh pihak Maskapai.

"Fa, Dey, tolong kalian ikutin nyokap gue, siapa tau dia butuh bantuan." pinta Febi kepada kedua temannya yang tadi mengikutinya itu.

Rifa dan Dey langsung pergi menyusul Mama Laura, sementara Febi bersama Lidyo, Rachel, dan juga Nadila mencari keberadaan Vino yang berlari meninggalkan lokasi ini. Tidak perlu waktu lama bagi mereka untuk bisa menemukan Vino, yang terlihat sedang duduk memeluk lututnya, tak jauh dari pintu keluar.

Vino masih nampak kesulitan bernafas, kepalanya pusing, dan telinganya berdenging. Serangan panik yang ia alami belum kunjung mereda, di kepalanya masih terngiang-ngiang ucapan petugas Basarnas tadi: "Ditemukan puing-puing pesawat dan 2 mayat yang diduga penumpang Komodo Airlines."

"Kak....?" tanya Febi khawatir sambil merangkul kakaknya.

Vino masih belum berbicara karena ia sendiri tidak mendengar suara Febi, demikian pula dengan pandangannya yang serasa kabur. Ia masih terus memegang kepalanya yang terasa sangatlah sakit.

"Kak...." ucap Febi sekali lagi. "Gapapa kak, semua baik-baik aja. Coba kakak nafas teratur."

Meski dirinya sendiri juga panik mendengar kabar tadi, namun Febi lebih ingin menenangkan kakaknya yang nampak jauh lebih kacau dibandingkan dirinya ini. Vino kemudian sedikit mendapatkan kesadaran dan mulai merasakan sebuah tangan yang merangkul dirinya dan ia juga mulai bisa melihat ternyata itu adalah Febi.

"Aku... Aku gak bisa... Aku gak tau kenapa." ucap Vino dengan badan yang masih gemetaran dan kesulitan bernafas, meski tidak sedahsyat tadi. "Maafin kakak...."

Cinta RemajaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang