U A | 63

1.3K 155 26
                                    

Happy readinggg^^

----

Terlihat banyak murid berbondong-bondong masuk ke dalam kelas saat jam menunjukkan pukul 06.55. Yang berarti 5 menit lagi gerbang akan ditutup.

Sama dengan Clara, ia merutuki dirinya sendiri saat bangun kesiangan, akibat tak bisa tidur. Terlalu banyak yang dipikirkan.

Clara menghela napas lega saat berhasil melewati gerbang. Setidaknya ia sudah berada di dalam sekolah. Sekarang cewek itu berjalan cepat menuju kelas.

"Clara!" panggil seseorang. Clara menoleh ke arah suara.

"Retta? Lo juga hampir telat?" tanya Clara pada Retta yang masih tersenggal-senggal.

Retta mengangguk. "Iya, gue pulang futsal jam 11 malam, hehe," jawabnya berakhir menyengir.

"Salah lo sendiri sih, masa futsal sampai jam segitu. Nggak dimarahin lo?" balas Retta.

Mereka berbincang seraya berjalan. "Nggak lah, kan lo tahu sendiri, orang tua gue nganggap gue kayak anak laki-laki. Saking pengennya punya anak laki-laki,' jawab Retta.

"Ya tapi tahu waktu juga kali, Ret. Kalau misal ada apa-apa di jalan gimana? Jam segitu udah rawan," tutur Clara.

"Iya-iya Clara. Sebenarnya guru di sekolah ini bukan orang tua kedua gue, tapi lo," balas Retta diakhiri kekehan.

Clara ikut terkekeh. "Bisa aja lo."

Kelas bertuliskan 11 MIPA-1 nampak jelas di depan sana. Suasana kelas sudah rame. Bahkan anak Zervelos juga sudah masuk. Entah jiwa apa yang merasuki mereka hingga mau masuk kelas pagi. Tapi jangan lupa, Arsen bukan lagi anggota Zervelos. Yang berarti Arsen tak ada di kelas.

Tak lama, pria paruh baya memasuki kelas. Belum juga 2 menit Clara dan Retta duduk.

"Selamat pagi anak-anak!" seru Pak Widi menyapa seisi kelas.

"Pagi, Pak!"

"Buka buku halaman 120, kita belajar bab baru."

"Permisi, selamat pagi," celetuk seseorang dari ambang pintu. Dari suaranya sangat mereka kenali. Perhatian semua murid serta guru dalam kelas itu tertuju padanya.

Sosok lelaki dengan terbalut hoodie merah maroon.

Tak ada yang membalas, mereka terdiam seraya menatap orang itu dengan tatapan bermacam-macam. Berbeda dengan Clara, yang cepat mengalihkan pandangannya ke papan.

"Masih punya muka masuk sekolah?" sindir Retta memecah keheningan.

"Dia nggak sekolah Retta, lihat aja bawa tas apa nggak," sahut Baim menimpali.

Pak Widi berjalan mendekat. "Ada apa Arsen?" tanyanya.

"Saya dipanggil ke sekolah," jawab Arsen dengan tatapan sendu, mengisyaratkan bahwa dirinya mengalami kesedihan yang mendalam.

"Ke ruang BK?" tanya Pak Widi. Arsen hanya mengangguk pelan.

"Ohh, ke ruang BK ternyata Im!" teriak Retta pada Baim.

"Kalau ke ruang BK mah aturan langsung ke sana ya. Ngapain ke sini," balas Baim.

"Uji nyali kali!" timpal Retta lagi.

"Sudah-sudah anak-anak!" tutur Pak Widi menengahi. "Arsen, sebaiknya kamu langsung ke ruang BK," ujarnya beralih pada Arsen.

"Iya, Pak," jawab Arsen lirih. Ia melenggang dari sana sembari melirik ke dalam kelas. Bukan, hanya Clara. Matanya tertuju pada Clara. Sementara Clara, ia tak tahu jika Arsen meliriknya.

Untuk Arsen (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang