U A | 9

1.9K 143 18
                                    

Vote dulu yookk❤

----

Prang

Suara pecahan vas bunga memecahkan telinga menggelegar di ruangan cukup besar itu. Seorang pria paruh baya dengan dada naik turun dan mata memerah menatap tajam sang putra kandungnya.

Sementara seorang lelaki remaja berumur 17 tahun ambruk ke lantai dan mengerang kesakitan seraya memegangi kakinya yang mengeluarkan darah sebab terkena pecahan vas bunga.

"DASAR ANAK BERANDALAN! GAK TAHU ARAH KE RUMAH KAMU?!" pekik pria itu sembari menunjuk putranya.

"BUAT APA ARSEN PULANG KALAU SAMPAI RUMAH SELALU DAPAT SIKSAAN?!" balas cowok itu berteriak.

"COBA KAMU TIRU SAUDARA KAMU ITU! SUDAH BAIK, TIDAK MACAM-MACAM, NILAI SELALU BAGUS! PASTI PAPA GAK AKAN KAYAK GINI ARSEN!" teriak Bagas, papa Arsen.

"DIA BUKAN SAUDARA ARSEN!" bentak Arsen naik pitam. Ia paling tidak suka jika disebut bersaudara dengan orang yang dimaksud papanya.

"NGAPAIN PAPA NYURUH ARSEN PULANG SEGALA! KALAU UJUNG-UJUNGNYA DAPAT SIKSAAN HA?"

Plak

Wajah Arsen menoleh ke samping setelah mendapat tamparan keras dari Bagas. Nafasnya memburu menahan amarah. Bagaimanapun juga Bagas tetaplah ayah kandungnya.

Ia selalu ingat apa pesan mamanya, yaitu seperti apapun perlakuan Bagas, Arsen harus tetap menerima dan menghormati pria itu. Tapi sampai kapan ia akan bertahan?

"Tampar aku pa, tampar sepuas papa. Kalau perlu buang aku pa, biar aku nggak sakit lagi nerima semua siksaan papa," lirih Arsen yang masih menunduk.

"Gak usah drama-drama kamu ini Ar! Kamu pikir papa percaya dengan sikap lembut kamu itu? Jangan harap Arsen Leander," tekan Bagas pada putranya itu.

"Memang kamu itu pintar sekali bersandiwara seperti mamamu itu. Dasar!" Bagas berjalan menjauh dari Arsen menuju lantai 2. Mungkin menghampiri anak emasnya, pikir Arsen.

Seorang wanita cukup tua menghampiri Arsen dengan ekspresi khawatirnya. "Aduhh den, bibi bantu berdiri," ujarnya. Bi Sarti, asisten rumah tangga di rumah Arsen yang sedari kecil merawat cowok itu. Ia membantu anak majikannya untuk duduk di sofa ruang keluarga.

"Bentar ya bibi ambil obat," kata Bi Sarti. Namun Arsen mencegahnya.

"Gak perlu bi, tolong ambilin tisu aja. Kalau aku kelamaan di sini takutnya papa marah lagi," jawab Arsen sopan.

"Gitu ya den? Ya udah bentar ya den." Bi Sarti berlari mengambil tisu.

Mata Arsen beralih melihat lengan atasnya yang juga masih lebam karena pukulan Bagas minggu kemarin. Ia tersenyum miris, sepahit inikah hidupnya. Ingin sekali ia disayang oleh papanya, tapi sepertinya mendekati mustahil.

"Ini den." Bi Sarti menyodorkan tisu pada cowok itu.

"Makasih bi, Arsen pamit dulu ya." Arsen meraih tangan Bi Sarti untuk mencium tangannya.

"Bisa bawa motor sendiri den?" tanya Bi Sarti khawatir.

"Bisa kok bi, santai aja. Luka gini doang mah kecil, biasanya aku tawuran." Arsen terkekeh mencairkan suasana.

Bi Sarti pun ikut terkekeh. "Hati-hati ya den, bibi tetap sayang kok sama Den Arsen," katanya yakin.

Arsen mengangguk dengan senyuman tipis. "Arsen percaya kok bi."

"Iya sekali lagi hati-hati den," ucap Bi Sarti.

"Iya bi.." Arsen berjalan dengan langkah sedikit tertatih menuju halaman depan, dimana motornya terparkir.

Untuk Arsen (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang