1

315 36 9
                                    

Sleeerrrr ....

Darah mengalir dari tenggorokan. Tidak, bukan hanya mengalir. Darah itu muncrat ke berbagai arah. Membasahi orang di depannya, membasahi lantai bahkan melumuri golok di tangannya yang besar.

Orang itu tidak pernah tega dengan korbannya. Mungkin sekali hatinya terbuat dari batu. Jiwanya setengah binatang buas. Laksana harimau yang semangat menerkam kemudian menggigit seekor rusa tepat di leher. Korbannya yang sudah tidak berdaya itu terus digigit hingga darah yang ada dalam tubuh terkuras habis. Dan, mati.

Padahal hari masih gelap. Dunia pun belum terasa indah dengan terangnya sinar matahari. Manusia-manusia di kota itu masih terlelap. Hiruk pikuk kehidupan di Batavia pun belum terbentuk.

Namun, orang itu sudah mulai menjalankan tugasnya. Sebuah tugas penting yang tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Hanya orang-orang terpilih yang bisa menyelesaikan tugas itu dengan baik.

Ditemani temaramnya lampu yang menggantung di langit-langit rumah, orang itu melaksanakan tugasnya dengan hati berdebar-debar. Ini bukan tugas pertama kalinya tetapi dia merasakan debaran yang berbeda dari sebelumnya.

"Kau baik-baik saja kan?" seseorang bertanya pada orang yang telah berlumuran darah itu.

"Aku hanya ... merasakan hal berbeda."

"Bukankah ini hal biasa untukmu?"

Temannya itu mencoba meyakinkan jika tugasnya kali ini akan berjalan baik-baik saja. Tubuh kurus temannya itu terlihat tenang atau berusaha tenang mengawasi keadaan.

"Kau teruskan pekerjaanmu. Aku berkeliling dulu. Mengamati keadaan."

Si Tinggi Besar hanya mengangguk tanda setuju dengan pembagian tugas yang telah disepakati. Sedangkan Si Kurus berlalu meninggalkan temannya. Dia berjalan menyusuri jalan setapak yang terbentuk diantara rerumputan ilalang. Dalam sekejap tubuh kecil orang itu sudah tidak terlihat lagi karena terhalang oleh tingginya ilalang serta sedikitnya cahaya yang menjangkau tubuhnya.

Si Tinggi Besar kembali melirik korbannya. Tubuh korbannya kini tidak lagi menggelepar. Dia terbujur kaku.

Kaki orang itu melangkah menuju setumpukan pisau yang sudah diasah sebelumnya.

Sreet!

Pisau itu menyayat kulit si korban dengan kecepatan luar biasa. Sepertinya, di Batavia tidak ada yang bisa mengalahkan kecepatannya menyayat kulit seperti itu.

Sreett, sreett ...

Pisau menari di atas tubuh si korban. Matanya yang tajam seakan bisa melihat sisi mana yang mudah untuk dilukai.

Meskipun hari masih gelap, tetapi itu tidak mempengaruhi tubuh Si Tinggi Besar yang terus menetaskan keringat. Baju tanpa lengan tidak bisa menutupi bagian tubuhnya yang bermandikan keringat.

Dia mengerjakan tugasnya sendirian. Bukan karena tidak ada yang bisa membantu, tetapi orang itu tidak mau dibantu. Bantuan dari orang lain hanya akan menyulitkan pekerjaannya. Dia merasa tidak leluasa menggerakan tangannya ke berbagai arah.

Setelah si korban selesai dikuliti, kini giliran perutnya untuk dibelah.

Si Tinggi Besar mengganti pisaunya dengan ukuran yang lebih besar. Creeb! Ujung pisau itu menembus ke perut korban dengan hujaman yang penuh tenaga.

Bleet, usus si korban terurai keluar.

Usus berwarna abu-abu gelap masih terlihat di bawah cahaya lampu yang tidak begitu terang. Si Tinggi Besar berhenti sejenak.

Pria itu melangkah mundur. Mengambil air yang tersedia di meja. Minum untuk pertama kalinya setelah rasa lelah datang padanya. Kemudian mata tertuju pada keranjang berukuran besar yang terbuat dari bambu. Dia mengambilnya kemudian meneruskan kembali pekerjaannya.

Usus yang sudah terburai itu dimasukan ke dalam keranjang bambu dengan hati-hati. Sangat hati-hati karena tidak ingin isi di dalamnya keluar dan mengotori lantai.

Tapi, tiba-tiba dia harus menghentikan pekerjaannya. Wajahnya menengok ke luar, dia curiga akan suara yang tidak biasa.

"Hei, siapa di sana?"

Si Tinggi Besar tidak mendapatkan jawaban.

"Hei Kurus, kaukah itu?"

Lagi-lagi dia tidak mendapatkan jawaban.

Penasaran, pria itu beranjak. Dia mengambil golok paling besar yang tergeletak di meja. Sebuah meja kokoh yang sengaja dibuat untuk menyimpan benda-benda berbobot berat.

Si Tinggi Besar berjalan ke arah pintu. Selangkah, 2 langkah, pria itu berhati-hati dan menyiapkan diri dengan 2 senjata di tangan. Golok di tangan kanannya dan pisau di tangan kirinya.

"Arghh!"

Tiba-tiba teriakan kencang terdengar dari arah luar. Sebilah pedang terlihat mengkilat menghampiri kepala Si Tinggi Besar. Dia diserang.

Panca dan Prahara Rumah JagalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang