"Raden, sarapan sudah siap," seorang laki-laki berjenggot menawari Panca makanan.
"Ha, ternyata sudah pagi."
"Ya, Raden. Tadinya saya mau membangunkan Raden tapi ... kasihan Raden tampak kelelahan."
Panca terbangun ketika sinar matahari menyengat kulit. Dia melihat sesuatu yang tampak asing bagi dirinya ketika bangun tidur di pagi hari.
"Paman, kalian membakar ikan sejak kapan?"
"Sejak tadi subuh."
"Hei, cahaya api dan asap bisa mengundang perhatian."
"Tenang, Raden. Kami membakar ikan dengan dihalangi daun kelapa dan pandan laut. Asapnya sedikit, Raden. Orang yang sedang berlayar tidak akan melihat kita."
Panca kaget ketika mendapati anggota komplotan nampak sibuk menyantap makanan. Berupa ikan dan beberapa ekor burung yang didapatkan dari sekitar pulau. Membakar ikan dan seekor burung sepertinya sudah menjadi menu utama komplotan perampok seperti mereka.
"Saya melaksanakan sholat dulu, Paman."
"Sholat? Saya baru mendengar ada seorang perampok sholat? Hahahaha."
Panca tidak mempedulikan ejekan orang-orang yang sedang asyik membakar ikan dan mencabuti bulu seekor burung. Mungkin bagi mereka sungguh mengherankan jika seorang perampok yang berbuat maksiat tapi tidak lupa melaksanakan sholat.
Tidak membutuhkan waktu lama bagi Panca untuk melaksanakan sholat subuh. Anak remaja itu menggunakan air laut untuk berwudlu kemudian menggunakan batu karang yang terhampar di sana sebagai alas.
Bagi Panca, pulau ini terasa asing. Sebuah pulau tanpa penghuni tapi rimbun oleh pohon-pohon yang tumbuh di sana. Ada banyak pohon kelapa yang menjulang tinggi diantara pasir yang berwarna putih kekuningan. Waktu sepagi itu saat yang tepat bagi sekawanan burung camar untuk mencari ikan di permukaan laut. Mereka beterbangan tidak jauh dari bibir pantai.
"Raden, saya menemukan buah sukun. Enak nih kalau direbus."
"Hei, kita tidak membawa wajan untuk merebusnya!"
Salah seorang dari anggota komplotan membawa buah sukun yang matang. Tapi dia kebingungan bagaimana memasaknya.
"Kita panggang saja," seseorang memberi saran.
Kira-kira begitulah suasana pagi itu. Ketika sekomplotan perampok sedang menyiapkan makan pagi seperti ibu-ibu di dapur. Bahkan, mereka lebih berisik dari sekelompok ibu-ibu karena saat seperti itu waktunya menghibur diri di tengah kepenatan kerja.
"Paman, kita kumpulkan makanan sebanyak yang kita bisa." Panca memberi saran ketika menyantap ikan yang sudah dibakar.
"Untuk apa, Raden?"
"Persiapan, kita tidak tahu apa yang akan terjadi kemudian."
"Ah, bagaimana kalau kita menyembelih sapi itu?"
Si sapi melenguh ketika tahu ada seseorang yang akan menyembelih. Hewan itu mengibaskan ekornya pertanda kegusarannya.
"Nanti saja, urusan sapi itu kita selesaikan setelah yang lain datang."
"Apakah yang lain benar-benar akan datang?"
Panca tidak bisa menjawab pertanyaan itu.
Sebenarnya, mereka singgah di pulau kecil tak berpenghuni itu bermaksud menunggu anggota komplotan yang lainnya. Tapi, waktu sudah menjelang siang dan orang yang ditunggu belum juga datang. Lautan luas masih terlihat lengang. Tidak tampak seseorang datang dengan menumpang sampan atau perahu layar.
Hanya warna biru yang tersaji di depan mata. Meneduhkan.
Sesekali Panca menolehkan pandangan pada seekor sapi yang sedang makan rumput. Tubuhnya yang berwarna cokelat dihalangi oleh daun-daun kelapa. Warna hijaunya dimaksudkan untuk kamuflase jika ada orang yang tak dikenal tiba-tiba menghampiri.
Namun, waktu yang berlalu lumayan membuat Panca bosan. Ketika yang lain tertidur, anak remaja itu tidak lagi mengantuk karena sudah terbayarkan. Dia lihat semua orang berbaring di sembarang tempat tanpa alas. Hanya gundukan pasir yang menjadi penopang tubuh yang kelelahan itu.
Untuk mengisi waktu, dia mencoba mengitari pulau sendirian. Berjalan di bibir pantai yang dipenuhi gundukan sampah laut entah bersumber dari mana. Ada ranting pohon, tunas kelapa hingga kayu bekas perahu yang karam.
Sebenarnya, pulau itu sungguh nyaman untuk dijadikan tempat pelesiran. Pasirnya menghiasi pantai ditambah beberapa gundukan karang yang menjulang diantara air laut berwarna hijau toska. Sesekali tampak seekor kepiting berjalan meminggir melewati karang yang menghitam.
Cakrawala terlihat rata tanpa ada satu benda pun yang memenggal garisnya. Kecuali, sebuah tiang layar yang terlihat dari kejauhan.
Mungkinkah itu mereka?
Panca langsung berlari kembali mendekati kemah yang dibangun sejak malam. Dia berlari dengan hati senang sekaligus khawatir jika orang asing datang dan mengetahui keberadaan sekomplotan pencuri seekor sapi.
"Paman, Paman, bangun!"
"Ah, ada apa Raden?"
"Ada yang datang!"
Sontak semua terperanjat mendengar suara-suara ribut di sela tidur nyenyak mereka.
"Siapa? Nyimas Asih ...."
"Belum tentu. Siapa tahu petugas patroli mengejar kita."
Dengan kalimat yang terlontar dari Panca semuanya paham jika mereka harus berada dalam kesiapsiagaan.
"Bersembunyi!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Prahara Rumah Jagal
AcciónSleeerrrr .... Darah mengalir dari tenggorokan. Tidak, bukan hanya mengalir. Darah itu muncrat ke berbagai arah. Membasahi orang di depannya, membasahi lantai bahkan melumuri golok di tangannya yang besar. Orang itu tidak pernah tega dengan korbann...