"Benarkah kau bukan bagian dari mereka?" Tuan Anthony menginterogasi Panca dan Tuan Win Feng.
"Iya, Tuan. Kami benar-benar tidak tahu jika Koswara akan melakukan ini pada Anda."
"Saya mohon, bebaskan kami."
"Tidak mudah juga untuk membebaskan kalian. Aku sulit percaya pada orang-orang seperti kalian."
Ruangan pengap itu memang banyak makanan, tetapi bukan hal baik ketika harus diikat kedua tangan dan kaki. Panca tidak banyak bicara, dia hanya menunggu si tuan rumah memberinya kebebasan. Rasa lelah menderu jiwa dan raga; kebebasanlah yang menjadi obatnya.
Dalam waktu kurang dari 24 jam saja, kedua orang itu sudah 2 kali terbelenggu karena alasan yang kurang lebih sama. Panca dan Tuan Win Feng ingin segera pergi dan menghirup udara segar. Tetapi, itu urung dilakukan karena Tuan Anthony masih menahannya.
"Saya hanya ingin hidup tenang, Tuan."
"Sama, aku juga ingin hidup tenang. Kalau saja kalian tidak mengacaukan semuanya maka tenang itu datang!"
"Itu kelakuan Koswara, bukan kami."
"Ah, bagaimana kalian bisa meyakinkan aku jika kalian tidak terlibat. Jelas-jelas kalian saling mengenal."
Tuan Anthony menyalakan sigaret kemudian menghisapnya dengan sedikit kekesalan. Lebih tepatnya kekesalan yang memuncak. Berharap sigaret bisa menurunkan perasaan kesal itu. Sayang, tidak berhasil.
Ketika Tuan Anthony menyaksikan 2 tawanannya, dia malah semakin kesal. Kesal karena sulit menerima kenyataan jika rencananya hancur berantakan. Menyelundupkan batu mulia dengan harapan memudahkan urusan, ternyata malah menambah masalah.
"Mungkin, inilah akibat dari menyelundupkan barang tidak resmi," dengan nada datar Panca bicara sekenanya.
Tuan Win Feng menatap anak itu. Aduh, kenapa dia bicara begitu.
"Hei, kau masih kecil belum mengerti apa-apa."
"Tuan, lagipula kenapa barang semewah itu harus diselundupkan? Padahal ada cara yang resmi untuk mendatangkan batu mulia ...."
"Diam! Kau tidak perlu tahu alasannya. Ini bisnis! Kau tidak akan paham!"
"Saya memang belum dewasa benar, tapi saya tahu jika bisnis Tuan ini merugikan orang lain. Saya yang tidak tahu apa-apa pun harus terlibat."
"Hei, aku tidak melibatkanmu. Kau yang melibatkan dirimu dalam urusanku."
"Begini saja, Tuan. Lepaskan saya maka saya tidak akan ikut campur lagi."
"Apa jaminannya jika kau tidak akan membuka mulut pada polisi?"
"Oh, Tuan. Anda takut polisi?"
Tuan Anthony menatap Panca dengan jantung yang berdebar kencang. Dia mulai marah.
"Hei, aku tidak takut pada polisi. Mereka di bawah kendaliku!"
Panca tersenyum.
"Kenapa kau tersenyum?"
"Kalau begitu, bisakah Tuan melindungi kami dari kejaran polisi?"
"Kejaran polisi?"
"Ya, Tuan. Sebelum datang ke sini, Tuan Win Feng jadi buronan polisi. Sepertinya polisi sudah mencium aksi kalian. Dan, bisa jadi mereka pun akan menemui Tuan."
"Hah, mereka tidak akan bisa menyentuhku."
"Tapi, bagaimana Tuan menjelaskan keributan di pesta tadi?"
"Itu bukan urusanmu."
"Ya memang bukan urusan saya. Tapi, polisi bisa membuat desas-desus jika batu safir itu adalah barang selundupan."
"Mereka tidak punya bukti. Lagipula ini masalah kecil. Aku sudah mengurusnya."
"Bagaimana dengan surat kabar yang akan mempertanyakan asal-muasal batu safir itu? Mereka punya banyak pertanyaan."
"Itu pun bisa kuurus."
"Surat kabar di Batavia terkenal kritis dan sulit dikendalikan dengan uang. Mereka punya harga diri."
"Ah, tahu apa kau soal itu?"
"Saya memang tidak tahu banyak. Tapi, saya pembaca setia Koran Batavia dan ... mereka punya kabar tentang pencurian di pesta tadi. Saya yakin mereka tidak akan menganggap ini sebagai pencurian biasa. Apakah Tuan tidak merasa risih dengan cara mereka menyebar gosip?"
Tuan Anthony tidak menjawab pertanyaan Panca.
"Tuan, ketika polisi mudah untuk anda suap. Para wartawan itu tidak mudah dikendalikan. Mereka akan mencari tahu dari mana asal batu safir itu."
"Aku tidak peduli."
Tuan Anthony menjadi berpikir tentang banyak hal. Dia mulai memikirkan kata-kata Panca.
"Lalu, apakah Tuan akan merelakan begitu saja batu safir itu dibawa Asih?"
"Asih? Kau mengenal gadis itu?"
"Tentu saja, Tuan."
Tuan Anthony berpikir sejenak.
Tuan Win Feng tidak berani menyela percakapan antara Panca dan Tuan Anthony. Dia tahu jika Panca sedang mencari cara untuk mengubah jalan pikiran si tuan rumah. Bagi Tuan Win Feng, pengetahuan anak itu cukup berharga untuk mengarahkan lawan bicaranya.
"Siapa namamu?"
"Panca, Raden Panca."
"Oh, kau seorang priyayi. ... Begini ... jika kau mengenal Asih, gadis pencuri itu, apa yang bisa kau lakukan untukku?"
"Jika kami dilepaskan, kami akan bujuk dia untuk menyerahkan batu safir itu."
"Tawaran yang bagus. Tapi apa jaminannya ...?"
Tuan Anthony belum menyelesaikan kalimatnya. Percakapan itu terpotong oleh keberanian Tuan Wing Feng untuk memberi jaminan.
"Rumah jagal milik saya jadi jaminannya, Tuan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Prahara Rumah Jagal
ActionSleeerrrr .... Darah mengalir dari tenggorokan. Tidak, bukan hanya mengalir. Darah itu muncrat ke berbagai arah. Membasahi orang di depannya, membasahi lantai bahkan melumuri golok di tangannya yang besar. Orang itu tidak pernah tega dengan korbann...