16

51 17 0
                                    

Tuan Win Feng menahan nafas ketika harus masuk ke dalam tumpukan jerami. Meskipun laki-laki itu tidak terbiasa menahan nafas, setidaknya dia pernah menahan nafas ketika berenang di kali. Bedanya, saat ini dia sedang dicurigai oleh polisi jika ada seseorang yang bersembunyi di balik tumpukan jerami itu.

"Ha, ternyata aku menemukan ...."

Suara polisi itu terdengar meyakinkan. Tapi, ternyata pria berseragam biru itu tidak menemukan apa yang dia cari.

"Hanya sebuah kendi. Kendi rusak nampaknya."

Panca tersenyum pada petugas keamanan itu. Lega juga hati Panca ketika mendapati kecurigaan polisi itu tidak terbukti.

"Hei, Nak. Kenapa kau nampak ketakutan?"

"Tentu saja, Tuan. Siapa yang tidak takut ketika harus diperiksa seorang polisi."

Polisi itu tersenyum kecut mendengar pernyataan Panca. Lampu petromak yang dibawanya diarahkan ke wajah anak remaja itu. Kemudian dia berlalu, meninggalkan Panca dan seekor sapi yang masih setia menunggu majikannya membawa pergi.

Mata Tuan Win Feng masih tertuju pada polisi berkuda yang terus memacu kudanya hingga menjauh dari penglihatan. Jalanan yang sepi memberikan kesan jika wilayah itu menjadi tempat yang baik bagi penjahat untuk menyembunyikan diri. Atau, itu waktu tepat bagi para penjahat untuk melakukan aksinya. Sehingga polisi tahu setiap tempat yang terlihat gelap harus disambangi.

Dari balik jerami, laki-laki itu masih bisa melihat cahaya lampu seperti kunang-kunang yang beterbangan diantara semak-semak. Nampak indah di pelupuk mata tetapi membuat hati merasakan ketakutan.

"Haaaahhh!"

Seseorang yang sebelumnya disebut penumpang gelap, kini berani menampakan diri. Dia menghirup udara segar dimana sebelumnya tidak didapatkan tatkala harus menutupi tubuhnya dengan jerami.

"Haiiia, tubuhku mulai terasa gatal."

"Suruh siapa bersembunyi di sana."

"Hei anak muda, aku ingin bicara serius denganmu."

"Tentang apa?"

"Bantu aku menemukan Koswara."

"Maaf, Tuan. Jangan libatkan aku dengan masalah kalian. Aku sudah merelakan sapiku disembelih tanpa uang pengganti. Jadi, tidak usah mengajakku untuk ...."

"Ingat, bagaimanapun kau terlibat dalam kasus pencurian sapi dari Kandang Karantina."

"Ah, polisi itu hanya mencari anda, Tuan. Mereka tidak menangkapku."

"Karena mereka belum tahu jika sapi itu sebenarnya jatuh ke tanganmu."

Panca merasa bingung ketika diancam seperti itu. Tuan Win Feng tersenyum seakan dia sudah berhasil menyandera anak itu. Bagi laki-laki Cina itu, dia merasa memiliki teman sepenanggungan. Ketika satu regu polisi sedang mengejarnya, setidaknya ada seseorang yang bisa menjadi teman di penjara jika tertangkap nanti.

"Baiklah, kita harus ke mana sekarang?" Panca bertanya dengan nada kesal.

"Nah, begitu lah. Sekarang kita cari Koswara."

"Ya, tapi ke mana? Apakah Tuan tahu rumahnya atau tempatnya bersembunyi?"

"Eee, kita cari dulu dia di rumahnya. Tidak jauh dari sini."

Panca mengarahkan pedatinya menuju suatu persimpangan. Si sapi pun berjalan pelan. Membawa 2 penumpang yang sama-sama ingin melakukan hal yang sama meskipun dengan niat berbeda.

Tuan Win Feng bermaksud mencari Koswara karena dia harus merebut kembali benda 'pesanan'. Sedangkan Panca terpaksa ikut serta karena dia tidak ingin dilaporkan ke polisi atas keterlibatannya dalam kasus pencurian sapi di Kandang Karantina.

Setelah beberapa saat, mereka berdua sampai di suatu persimpangan. Lagi-lagi sebuah persimpangan yang gelap. Sebuah lampu jalan cahayanya kalah oleh pekatnya malam. Gelap oleh rimbunnya pepohonan pun menambah kesan seram jika harus berjalan sendirian di sana.

"Berhenti di sini," Tuan Win Feng menepuk pundak Panca.

Si sapi pun menghentikan langkahnya. Begitu juga Panca yang ikut melangkah turun ketika Tuan Win Feng berjalan menyusuri sebuah jalan setapak di bawah pohon rindang. Langkah yang tegap terlihat seperti tergesa karena caranya berjalan nampak tidak menawan. Dia bukan tentara yang tahu bagaimana cara berjalan yang tegap.

"Itu rumahnya?"

"Ya, aku pernah ke sini. Mungkin sekali dia ada di sana."

Panca mengikuti laki-laki itu dari belakang. Sulit bagi anak itu untuk mengikuti caranya berjalan.

"Tuan, apakah kita tidak mengintainya dulu?"

"Ah, aku akan melabraknya."

"Bagaimana kalau Paman Koswara ditemani anak buahnya?"

"Ah, aku tidak takut."

Tuan Win Feng menghentikan langkahnya. Dia mulai berpikir. Benar juga apa kata anak itu.

Dalam kegelapan, mereka berdua bisa melihat sebuah rumah yang begitu gelap. Samar-samar terlihat secercah cahaya dari balik jendela jelusi ruangan depan.

"Sepertinya rumah itu kosong. Gelap sekali."

"Aku yakin ada orangnya. Orang jahat memang begitu. Kelakuannya tidak mau diketahui tetangga."

"Lagipula, tetangga terdekat dari sini sama jauhnya dengan jarak dari jalan besar."

"Kita mendekat ...!"

Tuan Win Feng berjalan jinjit mendekati rumah yang sepi itu. Begitu juga Panca, dia mengikuti sebagaimana orang di depannya.

Mata Tuan Win Feng menelisik melalui lubang-lubang yang ada di rumah itu. Lubang jendela atau lubang yang dibuat oleh rayap. Tetapi, tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Apakah mereka sudah pergi?

Pertanyaan dalam hati Tuan Win Feng itu tidak perlu menunggu lama untuk mendapatkan jawaban. Dia dikagetkan oleh sapaan seseorang.

"Hei, sedang apa kalian di sini? Kalian pencuri ya?"

Panca dan Prahara Rumah JagalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang