43

34 14 0
                                    

Setelah menyuguhkan secangkir teh, wanita pembantu itu membawa bayi Nyonya Win Feng ke ruangan keluarga. Sedangkan di ruang tamu, tuan rumah masih berbincang dengan tamunya.

"Nyonya, anda yakin tidak akan meminta mereka untuk menghentikan perkelahian?"

"Oh, justru pertanyaan itu seharusnya ditujukan pada anda, Tuan."

Tuan Anthony hanya tersenyum kecut. Matanya melirik ke arah secangkir teh. Asap masih mengepul dari permukaan air yang tersaji.

"Silakan diminum, kami tidak berusaha untuk meracuni anda," ketenangan bicara Nyonya Win Feng membuat lawan bicaranya heran.

Ketenangan itu bukan sesuatu yang terkesan dibuat-buat. Caranya menghadapi kemelut yang terjadi tepat di dalam rumahnya bukankah cara seorang ibu rumah tangga biasa. Siang itu, Nyonya Win Feng seperti ratu yang sedang memimpin pertempuran.

Tepat di depan mereka, tidak lebih dari 5 langkah kaki seorang pengawal sedang berusaha menghalangi seorang laki-laki Cina yang mencoba menerobos masuk. Mereka berdua bergumul demi mempertahankan kehormatan masing-masing. Si pengawal masih setia melindungi tuannya dengan segenap jiwa dan raga. Sebaliknya, tetangga si pemilik rumah berusaha melindungi saudaranya demi kehormatan golongannya.

Senapan sudah tidak sanggup menahan orang-orang Cina itu. Kala itu, belum ada senapan otomatis yang bisa mengisi peluru dalam jumlah banyak. Ketika satu peluru sudah termuntahkan, maka perlu waktu untuk mengisinya kembali. Dan, itu terlalu mudah untuk dimanfaatkan oleh lawan untuk balik menyerang.

Pemandangan mengerikan itu tersaji jelas di mata Nyonya Win Feng. Dia merasa bangga akan kaumnya sendiri  karena rela mempertahankan kehormatannya walau harus bertaruh nyawa.

"Tuan, apakah anda tidak akan menyerah dan pergi dari sini?"

"Kenapa Nyonya bicara seperti itu, kami ...."

"Anda hampir kalah, Tuan. Tetangga saya memang bukan pendekar yang dibayar untuk bertarung. Mereka tidak seperti pengawal anda yang bertaruh semata demi uang. Sebagian dari mereka adalah orang-orang yang pernah mengarungi lautan yang ganas."

Wajah Tuan Anthony seketika berubah. Kulit putih laki-laki itu memerah.

"Hei, tidak usah banyak bicara lagi!" suara laki-laki Eropa itu meninggi. Dia bangkit berdiri dari duduknya, "dia berutang janji padaku!"

"Oh, jadi kau tidak puas dengan jaminan Rumah Jagal yang telah diberikan oleh suamiku! Kau mau apa lagi?"

"Ingat, dia telah melalaikan janjinya. Dan, rumah jagal itu bukan jaminan yang sepadan bagi batu safir yang telah dicuri."

"Tuan, sepadan atau tidak sepadan ... itu hanya penilaianmu. Kau pedagang barang mewah, bisa seenaknya menilai harga sebuah barang."

Nyonya Win Feng menatap tajam Tuan Anthony yang kini berdiri di seberang meja. Pria berjas hitam itu melengos. Wajahnya menatap ke arah pekarangan.

Masih tampak perkelahian antara puluhan laki-laki warga Pecinan dengan para pengawal berseragam serba hitam. Perkelahian tidak seimbang dalam jumlah tetapi terlihat berimbang karena para pengawal itu nampak terlatih untuk pertempuran beregu. Senjata alakadarnya yang dimiliki oleh warga Pecinan bisa diimbangi oleh pedang-pedang panjang yang dibawa oleh para pengawal itu.

Pengawal-pengawal itu seperti tentara yang haus darah. Mereka menebas siapa saja yang mencoba menyerang. Perkelahian mereka terlihat rapih. Bila ada sebagian yang menyerang maka sebagian berada di barisan belakang mendekat dengan pintu untuk bertahan.

"Nyonya, permintaanku hanya satu," Tuan Anthony menegaskan tujuan kedatangannya ke rumah bergaya Cina itu.

"Apa lagi, Tuan?"

"Kau harus meninggalkan tempat ini sebelum suamimu membawa kembali batu safir milikku itu ...."

Braakk!

Meja digebrak oleh tangan Nyonya Win Feng. Wanita itu marah besar.

"Jadi itu caramu merampas harta kami! Dasar penjajah! Suamiku sudah memberimu rumah jagal itu, sekarang kau meminta rumah ini! Licik!"

"Hei, ini semua karena salah suamimu!"

"Itu salahmu! Salahmu sendiri tidak sanggup memberikan keamanan pada para petinggi Batavia. Kau kumpulkan mereka dalam suatu pesta, tapi malah menyeret mereka pada malapetaka!"

Tuan Anthony terdiam. Kalimat itu sangat menohok.

"Kau sendiri yang membuat masalah dengan mereka! Untung saja mereka tidak ada yang terbunuh di pesta itu. Kau bermaksud memamerkan barang daganganmu, tapi malah mengancam keselamatan mereka. Kau malu kan? Koran-koran sudah memberitakan ini bahkan mempertanyakan darimana sumber batu perhiasan itu. Orang-orang sudah menekanmu, kini kau mencoba untuk menekanku!"

Baju merah yang dikenakan oleh Nyonya Win Feng seperti menyala ketika orang yang mengenakannya didera amarah. Wajah oval wanita itu seakan mengeluarkan bara api. Memerah.

Tuan Anthony mengusap kepala. Keringat mulai keluar dari pori-pori kulit. Wajahnya pun basah karena suhu tubuh mulai memanas. Ditambah, siang itu suhu Batavia lagi panas-panasnya. Udara dari jalanan masuk ke dalam rumah tanpa permisi atau setidaknya menurunkan suhu terlebih dahulu.

"Arghhh!"

"Siaaa!"

Erangan dan teriakan semakin sering terdengar. Apakah itu teriakan dari seseorang yang diserang atau menyerang, sudah sulit dibedakan.

Ditambah, teriakan itu juga datang dari arah pintu gerbang.

Kini, pintu itu terbuka. Entah siapa yang membukanya. Hal yang pasti, itu memberi keleluasaan bagi orang-orang di luar tembok untuk masuk dan membantu kawan-kawannya dalam perkelahian.

Tuan Anthony merasa ciut ketika menyaksikan puluhan orang-orang berambut diuntun berdatangan. Mereka bermaksud membantu kawannya yang terlebih dahulu berada di pekarangan rumah Nyonya Win Feng. Kini, orang-orang itu terlihat lebih memiliki persiapan.

Bukan hanya golok, senapan juga tongkat serta pedang dipegang oleh orang-orang yang datang laksana air bah itu. Mereka nampak berdesakan di pintu gerbang, ingin segera menghabisi musuhnya.

"Tuan, kau yakin tidak ingin menyerah?" si pemilik rumah tersenyum kecut.

Panca dan Prahara Rumah JagalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang