Rumah jagal itu kini bukan milik Tuan Win Feng. Walaupun itu hanya bersifat sementara. Dia menjadikan perusahaan kecil miliknya sebagai jaminan.
Pada mulanya, Tuan Win Feng berniat menjaminkan rumah jagal kepada Tuan Anthony karena urusan bisnis yang belum selesai. Ketika laki-laki Eropa itu memesan pekerjaan untuk mengamankan pengiriman barang selundupan, ternyata Tuan Win Feng tidak bisa menunaikannya. Dan, sebagai bentuk kesanggupan orang Cina itu untuk menyelesaikan pekerjaan maka dia menjaminkan rumah jagal.
Tapi, Tuan Anthony masih tidak puas dengan jaminan sebuah rumah jagal. Terlebih, Tuan Win Feng belum bisa menunaikan kewajibannya.
Tempo hari Tuan Anthony menyatroni rumah Tuan Win Feng dan membuat keributan. Karena ulahnya, belasan nyawa melayang tepat di pekarangan rumah. Begitu banyak saksi yang menyebutkan jika orang Eropa itu yang memulai perkelahian. Tetapi, lagi-lagi polisi sulit menerima kesaksian itu. Korban lebih banyak dari pihak Tuan Anthony. Sepuluh orang pengawalnya tewas di tangan puluhan orang-orang Cina yang sengaja datang membantu Nyonya Win Feng yang terancam.
Kini, setelah kejadian tersebut berlalu rumah jagal itu masih saja diawasi oleh Tuan Anthony. Dia belum mau melepaskannya sebelum kewajiban Tuan Win Feng terpenuhi. Tapi, pemiliknya semula menginginkan sumber penghidupannya kembali ke tangannya.
"Tuan, sebaiknya Tuan bangun," seseorang membangunkan Tuan Win Feng.
"Ah, ternyata kau. Kukira si Anthony datang. Aku sampai memimpikannya."
"Bukan, bukan Tuan Anthony. Tapi, anak buahnya yang diserahi tugas mengawasi rumah jagal ini telah datang."
"Terima kasih, kau masih setia padaku. Aku tidak akan melupakan kebaikanmu."
Tuan Win Feng menganggukan kepala. Pria yang membangunkannya kemudian berlalu, tubuhnya yang jangkung kini hanya terlihat sebagai siluet. Untung saja pegawaiku masih setia padaku.
Dari arah jalan raya, terdengar suara sepatu kuda yang beradu dengan bebatuan yang melapisi jalan. Kuda itu terdengar mendekat. Dia menuju ke rumah jagal ini.
"Selamat datang, Tuan," si Tinggi Besar menyambut orang yang datang dengan teriakan keras.
"Ha, mana temanmu?"
"Dia belum datang, Tuan. Mungkin sedang di jalan."
"Ah, kenapa dia datang terlambat?"
"Dia sedang mengangkut babi dengan pedati. Makanya datang terlambat."
Tuan Win Feng bisa mendengar dengan jelas percakapan Si Tinggi Besar dengan seorang pengawas. Agar persembunyiannya tidak diketahui oleh orang lain, laki-laki itu mencoba membangunkan Panca yang sedang tertidur lelap.
"Sssst, jangan bicara. Ada seseorang yang datang. Ayo sembunyi di balik dinding." Tuan Win Feng membekam mulut Panca agar tidak banyak bicara lagi.
Dalam kegelapan, mereka berdua mengendap-endap diantara meja kerja. Meja beton itu cukup untuk menyembunyikan tubuh keduanya yang tidak terlalu besar. Terlebih, kegelapan membantu mereka untuk bersembunyi.
Terdengar Si Pengawas masuk ke dalam bangunan berdinding tembok itu. Suaranya keras menyuruh Si Tinggi Besar untuk segera bekerja, "cepat bekerja, sebentar lagi subuh!"
"Baik, Tuan. Tapi, saya harus menunggu babi itu ...."
Ketika mereka sedang bicara, ternyata pedati yang membawa 3 ekor babi sudah tiba. Dengan sigap, Si Tinggi Besar menyambut temannya. Hewan-hewan ternak itu diikat kedua kakinya. Dengan tubuh tak berdaya, hewan ternak itu berisik meminta pertolongan. Sepertinya mereka tahu jika hidupnya akan segera berakhir.
Si Pengawas berkacak pinggang sambil mengelus-elus kumisnya. Laki-laki itu setia dengan goloknya yang terselip di pinggang. Matanya menatap kedua orang yang sedang semangat bekerja itu.
Pria pengawas itu nampaknya sudah biasa bekerja di malam hari. Dia tampak segar bugar padahal malam hampir sampai penghujung. Tubuhnya memang tidak lebih besar dari kedua pegawai rumah jagal itu, tapi pria itu nampak berwibawa. Dan, sedikit menakutkan.
"Hei, api unggun itu bekas siapa?"
"Oh, itu bekas kami berdua, Tuan. Semalam kami menginap di sini."
"Kalian tidak berbohong?"
Kedua pegawai rumah jagal itu berhenti bekerja. Mereka menatap Si Pengawas. Kemudian menggelengkan kepala.
Si Pengawas hanya menganggukan kepala. Sepertinya dia percaya atas apa yang disampaikan kedua pegawai rumah jagal. Dia mulai bisa mempercayai kedua orang itu karena selama ini bisa bekerja dengan baik tanpa membuat masalah.
Untuk memastikan semuanya baik-baik saja, Si Pengawas berjalan mengelilingi setiap sudut bangunan. Sebuah bangunan yang tidak terlalu luas, tapi cukup untuk dijadikan ruang penyembelihan sekaligus ruang pencacahan karkas hewan. Untuk masuk ke dalam ruangan itu hanya ada 2 cara; melalui pintu depan atau melalui saluran pembuangan.
Selebihnya, bangunan itu dikelilingi oleh halaman luas yang berfungsi sebagai tempat menunggu hewan ternak sebelum disembelih. Jika dari depan berbatasan dengan jalan raya, maka dari belakang berbatasan dengan kanal. Tempat itu jauh dari bangunan lain selain hamparan sawah dan kebun milik warga. Tempat yang nyaman untuk seorang penjahat bersembunyi kemudian melarikan diri.
"Hei, siapa itu?" Si Pengawas melihat gerakan yang mencurigakan.
Laki-laki itu berlari ke arah saluran pembuangan. Dia merasa ada sesuatu yang bergerak di sudut bangunan.
"Hei, kalian melihat sesuatu?"
"Tidak, Tuan. Ah, mungkin tikus ... atau anjing liar yang mencium darah babi. Itu sering terjadi di sini."
Si Pengawas menganggukan kepala. Berusaha percaya pada mereka yang sudah lama bekerja di tempat itu.
Orang itu pun berjalan berkeliling demi memastikan semuanya benar-benar baik-baik saja. Sesekali dia memegang ikat kepala demi mengurangi keinginannya untuk berbuat sesuatu. Mengawasi dua orang bodoh ini sungguh membosankan.
Karena gelap, dia tidak sadar ketika kakinya menginjak sesuatu. Pria berbaju pangsi hitam itu membukukan badan. Tangannya meraih benda yang terinjak di lantai.
"Ini cangklong milik siapa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Prahara Rumah Jagal
ActionSleeerrrr .... Darah mengalir dari tenggorokan. Tidak, bukan hanya mengalir. Darah itu muncrat ke berbagai arah. Membasahi orang di depannya, membasahi lantai bahkan melumuri golok di tangannya yang besar. Orang itu tidak pernah tega dengan korbann...