Tuan Anthony berkuda dengan pikiran tidak karuan. Antara harus marah sekaligus bertanya-tanya siapa yang telah membocorkan rencananya.
Sudah banyak biaya dan tenaga yang kuhabiskan untuk bisnis ini. Tapi, hasilnya nihil.
Peluh membasahi keningnya yang putih pucat. Karena jarang sekali laki-laki itu berkuda di bawah terpaan sinar matahari, kulitnya terlihat memerah. Merah seperti kepiting yang direbus di air panas.
Untuk menurunkan suhu tubuhnya, dia menghentikan laju si kuda. Berteduh di bawah pohon rindang. Terpikir olehnya untuk beristirahat dan menyegarkan pikirannya. Terlebih, di seberang jalan ada taman kota lengkap dengan air mancur.
Tuan Anthony berjalan ke arah taman kota dan membiarkan kudanya merumput di bawah pohon. Ada semak belukar yang masih tumbuh diantara pohon-pohon yang menaungi jalan raya. Seekor kuda terbiasa dibiarkan merumput oleh pemiliknya, meskipun hewan itu tidak pernah tahu kapan punggungnya akan kembali ditunggangi.
Di taman itu ada kursi yang terbuat dari besi. Benda yang dikhususkan untuk orang yang sengaja mengunjungi tempat itu. Dan, Tuan Anthony pun duduk di atasnya. Menunggu angin menerpa wajah.
Sudah lama aku tidak berkunjung ke tempat ini. Ternyata nyaman juga untuk sekedar menenangkan diri.
Ditemani bunga-bunga yang bermekaran, laki-laki itu bisa menikmati harinya yang lebih sering melelahkan. Tidak ada orang lagi di taman, kecuali dia sendiri. Mungkin hari masih siang dimana penduduk masih sibuk dengan kegiatannya masing-masing.
Tuk tak tuk tak, tiba-tiba terdengar suara hentakan kaki kuda mendekat.
Sebuah kereta kuda yang sangat dikenalnya. Kereta kuda yang biasa ditumpangi oleh Tuan Anthony.
Lengkap dengan seorang kusir, kereta kuda itu seakan menjemput Tuan Anthony yang sedang duduk sendirian. Kedua hewan pelari itu berhenti tepat di depan taman.
Mau apa dia menjemputku?
Si kusir tidak menatap ke arah Tuan Anthony. Kusir itu seakan tidak mengenalnya. Dan, memang mereka tidak saling mengenal. Kereta kuda milik Tuan Anthony tidak dikendarai oleh kusir yang biasanya.
Tuan Anthony tambah terheran-heran ketika pintu kereta tidak terbuka.
"Hei, siapa yang menyuruhmu ke sini?"
Si kusir tidak menjawab. Dia tak acuh atas pertanyaan Tuan Anthony.
Jawaban justru datang dari dalam kereta kuda.
Bukan kata-kata sebagai jawaban. Tapi, sesuatu yang tidak terduga oleh laki-laki Eropa itu.
Sebuah jarum menempel di leher laki-laki itu. Seseorang menembakannya dari dalam kereta kuda.
"Arghh," Tuan Anthony berteriak kesakitan.
Tubuh laki-laki itu lemas. Dia tidak sanggup menahan berat tubuhnya sendiri. Kemudian terbaring di kursi taman.
"Maaf, Tuan. Saya harus melakukan ini pada anda," seseorang berkata sambil keluar dari kereta kuda.
"Kau?"
Orang itu sangat dikenal oleh Tuan Anthony. Dia memakai jas rapi serta mengenakan topi bundar. Ada sesuatu di tangannya, sebuah benda tidak lebih dari panjang tangannya.
"Kau yang menembakku dengan sumpit itu? Kenapa kau lakukan ini?"
Orang itu tidak langsung menjawab. Dia malah mengangkat tubuh Tuan Anthony kemudian membawanya masuk ke dalam kereta kuda.
Dug dug, atap kereta dipukul sebagai tanda untuk segera berjalan.
Tubuh Tuan Anthony direbahkan di bangku yang berseberangan dengan orang yang membopongnya. Mereka saling bertatapan. Tatapan kemarahan tampak dari mata laki-laki Eropa itu. Tapi, tubuhnya tak berdaya.
"Racunnya mulai bekerja, jadi jangan banyak bergerak. Semakin anda banyak bergerak maka anda akan semakin dekat dengan kematian."
Tuan Anthony menelan ludah. Bermaksud menyemburkannya pada orang di hadapannya tapi tubuhnya terlalu lemah. Dia tidak sanggup melakukannya.
"Kau, kau, kau bersekongkol dengan mereka? Kau yang membawa gadis pencuri itu masuk ke dalam kantorku sebagai pelayan ...?"
"Baguslah kalau anda bisa menebak."
"Jadi, ini semua ulahmu. Kau juga yang membocorkan telegram .... Ah, bajingan ...."
"Jangan banyak bicara, Tuan. Racunnya akan mudah menyebar."
"Kenapa kau lakukan ini padaku? Aku sudah sangat mempercayaimu. Kau ajudan kepercayaanku. Kau kugaji sangat tinggi. Tapi ...."
"Awalnya saya tidak mau melakukan ini, Tuan. Tapi anda keterlaluan karena membawa masalah ini jadi masalah pertikaian antara Pemerintah dan orang-orang Cina. Rencanamu untuk melumat mereka sungguh menjijikan, harus dihentikan karena akan ada banyak korban."
"Apa pedulimu? Kau bukan orang Cina ...."
"Ya, memang. Dalam darahku tercampur Spanyol, Ambon, Belanda dan entah apa lagi. Ketidakjelasan ras bisa membuatmu percaya padaku jika aku tidak akan memihak orang pribumi atau orang Cina. Terima kasih atas kepercayaanmu padaku. Tapi, aku muak dengan keserakahanmu."
"Apa maumu?"
"Sederhana saja. Hentikan segala ambisimu untuk menguasai Batavia ... bahkan kau berambisi menguasai Hindia Belanda. Oh, sungguh tidak tahu terima kasih. Kau dilindungi Pemerintah tapi malah mau menggulingkan mereka."
"Kau juga akan menikmati hasilnya."
"Tapi, aku tidak mau melihat lebih banyak lagi darah mengalir di kota ini."
Orang itu melihat ke luar jendela. Air kanal di sebelah kiri memantulkan cahaya matahari yang tepat di atas kepala.
"Kau mau bawa aku ke mana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Prahara Rumah Jagal
ActionSleeerrrr .... Darah mengalir dari tenggorokan. Tidak, bukan hanya mengalir. Darah itu muncrat ke berbagai arah. Membasahi orang di depannya, membasahi lantai bahkan melumuri golok di tangannya yang besar. Orang itu tidak pernah tega dengan korbann...