63

32 13 0
                                    

Asih begitu cekatan naik ke atas dek kapal ternak itu. Dengan tali berpengait, gadis itu memanjat lambung kapal tanpa rasa takut.

Dia tahu jika kelasi kapal ternak itu sedang mengawasi. Mereka memegang senapan dan senapan itu bisa memuntahkan pelurunya kapan saja. Tapi, keyakinan hati mendorong gadis itu untuk terus memanjat dengan seutas tali.

"Ada seseorang memanjat dengan tali!"

Suara teriakan itu jelas terdengar oleh Asih. Dia tidak mempedulikannya.

Ketika telah sampai di dek, Asih langsung berlari diantara deretan sapi-sapi berwarna senada. Dari lampu yang terpasang, tampak warna cokelat lebih dominan menghiasi tubuh sapi-sapi itu. Dan, warna senada itulah yang membingungkan Asih.

Dimana sapi itu?

Entah berapa ratus ekor sapi yang tengah berbaris di kapal. Mereka semua sapi dewasa yang siap disembelih. Bagi Asih, memperhatikan sapi sebanyak itu cukup merepotkan. Gadis itu tidak terbiasa menangani sekawanan ternak. Apalagi kawanan sapi dengan ukuran besar.

Tapi, gadis itu tahu jika tugasnya bukan menggiring hewan-hewan ternak untuk ke luar kapal. Dia hanya memastikan hewan mana yang akan dibawanya.

Jika tidak ada ancaman, tugas itu mudah saja. Hanya memperhatikan nomor yang tertera di pantat si sapi maka tugas sudah selesai. Tapi, tugas ringan bisa menjadi sulit tatkala seseorang mengacungkan senapan ke arah gadis berperawakan mungil itu.

"Angkat tangan!"

Mendapatkan peringatan demikian, Asih malah tersenyum. Tangan mungilnya cekatan mengambil senjata andalan gadis itu. Sebuah sumpit dengan jarum sebagai peluru.

Ssttt! Jarum keluar dari ujung sumpit ketika Asih meniupnya.

Sayang, seorang kelasi bersenjata kalah cepat dalam hal menembak. Dia malah terjengkang ke laut. Byuurr, tubuhnya langsung tenggelam di air. Asih tidak memperdulikan apakah orang itu muncul kembali di permukaan atau tidak.

Dia kembali memeriksa sapi-sapi yang berdiri berjejer.

Dor! Suara tembakan terdengar kembali. Tapi, Asih tidak melihat sebutir peluru mendekat ke arahnya. Ah, mungkin tembakan di tempat lain.

Waktu begitu mendesak. Gadis itu harus segera menemukan sapi yang dimaksud. Sialan, nomor di pantatnya tidak berurutan.

Masalah kembali datang ketika angka yang tertera di tubuh ternak itu tidak berurutan. Sepertinya mereka masuk ke dalam kapal tanpa memperhatikan  urutan nomornya. Bisa jadi mereka langsung masuk ketika digiring oleh si pengembala.

"Nyimas, bagaimana, sapi yang dimaksud sudah ditemukan?" seorang laki-laki menghampiri Asih.

"Belum, Paman. Nomornya tidak berurutan."

"Ah, kenapa begini. Tidak adakah petunjuk?"

"Hanya nomornya saja, sebagaimana yang kita ketahui."

Asih berpikir sejenak. Dia melihat ke laut lepas.

"Nyimas, bagaimana kalau kita berbagi tugas?"

"Memangnya Paman belum menemukan sapi yang dimaksud?"

"Belum. Sepertinya tinggal barisan ini yang belum diperiksa."

Asih menganggukan kepala.

"Kita periksa ulang!"

Asih dan seorang lelaki berbaju hitam kembali mencari sapi yang dimaksud. Sungguh membuang waktu ketika harus memeriksa ulang deretan sapi di kapal sebesar itu.

Gadis itu harus meraba setiap tubuh sapi. Selain itu, dia harus kuat menahan bau tak sedap yang tercium sejak semula menginjakan kaki di kendaraan laut sebesar gedung. Ditambah, kakinya sering menginjak kotoran sapi yang menjijikan.

Asih memicingkan mata. Cahaya redup tidak membantu mempermudah pekerjaannya.

Praakk!

Asih dan lelaki berbaju pangsi hitam itu kaget dengan suara di atas langit-langit. Mereka mendongakan kepala.

Sial, lampu mati.

Sapi-sapi yang berbaris rapi itu semakin gaduh. Mereka melenguh seakan meminta tolong. Sebagai hewan, sudah sepatutnya manusia memperlakukan mereka dengan baik. Tapi, kali ini sapi-sapi itu merasa jika para manusia hanya berebut kuasa.

"Hei, kenapa lampu harus dimatikan."

"Nyimas, apakah kau ingat sudah sampai sapi yang mana?"

"Ya, tinggal beberapa ekor lagi."

"Tapi, bagaimana kita memeriksanya?'

Asih dan lelaki berbaju serba hitam itu bicara dengan suara pelan. Mereka tidak mau ada orang mendengar apa yang dibicarakan.

"Meraba sapi-sapi ini, satu per satu."

"O, kenapa selalu ada hambatan."

"Ssstt, jangan mengeluh, Paman. Pusatkan pikiran."

Asih berjalan pelan. Dia meraba satu per satu pantat sapi sambil berharap bisa mengetahui nomor yang tertera di kulitnya. Bukan perkara mudah memastikan angka yang tertera di kulit seekor sapi. Terlebih, tidak ada cahaya lampu yang membantu.

Sialan, ada yang tidak tercetak dengan baik.

Batin Asih kesal ketika mendapati nomor di tubuh sapi tidak tercetak dengan baik. Nomor di kulit sapi dicetak dengan besi panas sehingga bulu-bulu sapi terbakar. Apabila dilihat dengan cahaya terang, akan nampak bekas kulit terbakar dengan bentuk angka. Tapi, kali ini tidak ada cahaya yang bisa membantu mereka.

"Ini sapi terakhir, Paman."

"Mungkinkah yang ini?"

Asih meraba kulit si sapi. Tangannya yang mungil merasakan ada bekas luka bakar berbentuk angka.

"Bagaimana, Nyimas?"

Panca dan Prahara Rumah JagalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang