59

25 14 0
                                    

Entah hari ke berapa Nyonya Win Feng selalu memandang senja sendirian. Tanpa suaminya yang sudah lama tidak pulang. Bukan hanya tidak pulang, tapi juga tanpa kabar.

Ketika jendela masih terbuka, dia berharap ada orang yang datang. Tentu saja suaminya atau setidaknya orang yang membawa kabar tentang suaminya. Sedang apa dan di mana laki-laki yang dicintainya itu berada.

"Nyonya, makan malam sudah tersedia," seorang wanita pembantu rumah tangga mengingatkan Nyonya Win Feng.

"Iya, nanti aku menyusul."

Beberapa saat berlalu, cahaya senja pun meredup. Hanya semburat lembayung yang tersisa di cakrawala. Nyonya Win Feng masih berdiri di dekat jendela. Dari sana, dia bisa melihat lanskap Batavia yang penuh dengan atap rumah berbentuk prisma terlentang. Ada beberapa cerobong asap yang masih mengepul mengeluarkan sisa-sisa pembakaran.

Suara-suara orang berteriak masih terdengar. Begitupun suara dentingan logam dipalu masih terdengar dari kejauhan. Dari arah jalan raya, ringkikan seekor kuda terdengar ketika sang pemiliknya memaksa dia untuk terus bekerja.

Kelelawar mulai keluar dari sela-sela atap rumah yang dijadikan sarang. Burung-burung gereja yang tadi siang beterbangan, kini sudah tidak tampak lagi. Seekor anjing menggonggong ketika melihat seekor kelelawar melintas di hadapannya. Dia begitu marah seperti melihat setan yang menampakan wajahnya.

Orang bilang, Batavia kala malam menjadi waktu yang mengundang kekhawatiran. Khawatir karena akan ada orang-orang jahat menghampiri rumah. Para perampok melancarkan aksinya, maka malam hari menjadi waktu yang menguntungkan bagi orang yang ingin berbuat jahat.

"Nyonya, hari sudah malam. Sebaiknya jendela ditutup. Angin malam tidak baik untuk si bayi," si pembantu itu kembali mengingatkan majikannya.

"Baik, aku akan menutupnya."

Nyonya Win Feng mendorong jendela jelusi dari kedua sisi. Jendela itu menempel di sisi kiri dan kanan kusen sehingga mudah ditutup. Ukurannya cukup besar, lebih tinggi dari seorang anak kecil. Mungkin awalnya sengaja dibuat begitu agar udara masuk maksimal ke dalam ruangan. Batavia yang panas bisa dikurangi dengan bukaan yang lebar.

Tapi, wanita itu urung menutup jendela ketika melihat seekor kuda datang. Kuda itu berhenti tepat di depan pintu gerbang. Dari lantai atas rumahnya, dia bisa melihat cukup jelas siapa yang datang.

Polisi, buat apa dia datang ketika hari sudah gelap?

Samar, terlihat seorang lelaki menunggang kuda. Dia memakai topi laken dengan baju seragam serta pedang menjuntai hingga ke bawah perut si kuda. Hanya lampu jalan yang menjadi penerang, tentu saja tidak seterang lentera di dalam rumah. Di pinggir jalan, hanya cahaya redup yang menerpa tubuh si laki-laki penunggang kuda.

Tapi, warna pakaian orang itu ... bukan biru. Itu bukan polisi, tapi pengawal Anthony, Nyonya Win Feng menyadari kekeliruannya.

Dari balik jendela, wanita itu memperhatikan kelakuan si penunggang kuda. Laki-laki itu terlihat merogoh sesuatu dari saku bajunya. Sebuah benda yang bisa digenggam oleh tangan.

Dan, laki-laki itu melemparkan benda di tangannya.

Dengan tergesa, kuda itu kembali berlari menjauh dari depan gerbang rumah Nyonya Win Feng. Sementara itu, pria penjaga rumah menyadari ada seseorang yang melemparkan benda ke pekarangan.

"Apa itu?"

"Sepertinya ada orang melemparkan batu ke sini," temannya sama-sama melihat apa yang dilihat oleh si penjaga rumah.

Ketika menyaksikan itu, Nyonya Win Feng langsung menutup jendela kemudian bergegas menuruni tangga. Dia berjalan ke arah pintu utama. Ada  seseorang yang berusaha menghubungi si tuan rumah tapi Nyonya Win Feng sudah tiba di beranda.

"Nyonya, ada seseorang yang melemparkan benda ini."

"Apa itu?"

"Sebuah batu ... dan sebuah surat."

Nyonya Win Feng menggenggam benda yang dimaksud; membawanya ke bawah lentera yang tergantung di langit-langit. Dibukanya surat yang membungkus batu sungai berukuran sebesar buah jeruk.


Aku beri waktu 3 hari.
Kau harus menunaikan kewajibanmu.

Jika tidak, aku akan melaporkan perbuatanmu sebagai pemberontakan.

Ingat, aku bisa melumat orang Cina hanya dalam sekejap saja.

Nyonya Win Feng meremas kertas di tangannya. Wajah wanita itu terlihat begitu marah. Dua orang petugas jaga di depannya terheran dengan sikap si tuan rumah. Kedua laki-laki Cina itu saling tatap.

"Ada apa Nyonya?"

Panca dan Prahara Rumah JagalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang