30

39 14 0
                                    

Perempuan itu berlari ke arah pintu utama. Dia sepertinya tahu jika penjaga sudah bersiap menghadangnya. Tapi, tidak ada lagi jalan untuk keluar dan hanya itu kesempatan yang ada meskipun sangat kecil kemungkinan untuk melarikan diri.

"Jangan biarkan dia ke luar!"

Sebuah teriakan perintah boleh saja terlontar. Para petugas boleh saja memiliki senjata lengkap. Mereka mungkin terlatih untuk menangkap pencuri. Tetapi, mereka tidak terlatih untuk menahan serangan melumpuhkan dari anak sumpit berupa jarum kecil yang nyaris tak terlihat.

Perempuan itu berlari sambil terus meniup sumpit yang dipegang dengan tangan kanan. Sedangkan tangan kirinya gesit memasukan anak sumpit ke dalam lubangnya.

"Arghh!" para petugas jaga yang berdiri di depan pintu berteriak kesakitan. Tangan-tangan mereka nyaris tak sanggup memegang senapan masing-masing.

Dan, akhirnya perempuan itu tiba di depan pintu.

Sekarang, Panca bisa melihat dengan jelas siapa dia yang lincah bergerak dan memiliki senjata ampuh di tangannya. Panca berserobok pandang dengan orang itu. Hatinya berdebar, bertanya-tanya dan sulit mempercayai pandangan matanya.

"Asih, kau?"

Perempuan itu sama-sama kaget ketika harus bertatapan dengan Panca. Dia nyaris kehilangan kata. Sekaligus nyaris lupa jika dia sedang dikejar sekawanan pria bersenjata.

"Asih, Asih! Tunggu! Kenapa kau melakukan ini?"

Lutut Panca lemas. Semakin lemas ketika perempuan itu tidak mengacuhkannya. Tidak berkata sepatah kata pun. Terlebih untuk sekedar menyapa atau mengucapkan selamat tinggal.

Ada apa dengan Asih?

Pertanyaan itu dan pertanyaan lainnya muncul di benak Panca. Bagaimana tidak, baru beberapa saat yang lalu dia mengendarai pedati bersama Asih setelah sama-sama diperdaya oleh Koswara dan komplotannya. Tapi, kenapa kini Asih ada di gedung ini?

Panca masih memandangi Asih yang berlari kencang menyeberangi jalan raya. Hanya membutuhkan waktu sekejap untuk menyembunyikan tubuhnya yang mungil di balik kegelapan malam.

"Hei Asih, tunggu aku!"

"Kau mau ke mana?"

Panca bermaksud mengejar Asih, tapi seseorang memegang tangannya. Anak itu tertahan untuk berlari.

"Kau mau lari ke mana?" seorang petugas keamanan bermaksud menginterogasi Panca.

"Saya hanya ...."

"Kau mau melarikan diri, kan?"

"Oh, Tuan. Anda salah paham. Saya bukan pencuri."

"Ha? Kau masih mengelak? Jelas-jelas kau mengenal pencuri itu?"

"Pencuri?" Panca bertambah yakin jika Asih ternyata mencuri sesuatu di gedung ini.

Petugas keamanan tidak banyak lagi berbasa-basi. Teman-temannya menghampiri kemudian sama-sama menggiring Panca untuk masuk ke dalam gedung.

Anak remaja itu berusaha untuk melepaskan pegangan tangan pria-pria bertubuh tegap itu. Namun tidak berhasil. Mereka seakan menemukan anak musang yang tertinggal oleh induknya. Lumayan, ketika si induk tidak bisa ditangkap maka anaknya pun bisa dijadikan tawanan.

Orang-orang itu membawa Panca ke sebuah lorong dengan penerangan yang kurang. Temaram.

Dia tidak mampu untuk melawan atau memberikan pembelaan. Pasrah.

Seorang petugas membuka pintu sebuah ruangan. Panca diseret untuk masuk ke dalamnya. Ruangan itu tidak berpenerangan. Gelap. Panca mulai merasakan ketakutan yang sebelumnya tidak dirasakannya.

Ruangan ini harum makanan. Aneh, dia dibawa ke dalam gudang makanan. Apakah dia disuruh makan atau memang tidak ada lagi ruangan untuk menyekap orang yang dicurigai sebagai pencuri?

"Kau diam di sini!"

Seorang petugas melilitkan tali ke tangan dan kaki Panca. Dia tak mampu melawan. Terlebih, kulit kepalanya merasakan dingin dari logam senapan. Petugas itu mengancam untuk menembak.

"Kau boleh makan apa saja di sini, tapi ... jangan mencoba kabur!"

"Iya, Tuan. Saya tidak akan ke mana-mana. Terima kasih telah memberi saya makanan."

Petugas jaga tadi keluar dan menutup pintu. Semua yang tercium hidung tidak terlihat karena ruangan itu menjadi sangat gelap. Untungnya, petugas jaga itu masih memberi keleluasaan untuk menggunakan kedua tangan Panca walau dengan terikat. 

"Panca, kau kah itu?"

Seseorang bertanya dengan nada datar. Sontak, Panca kaget dengan suara seseorang yang sama-sama disekap di ruangan itu.

"Tuan Win Feng, sejak kapan Tuan di sini?"

"Sejak tadi, setelah ada keributan."

"Apakah Paman Koswara ...."

"Ternyata Koswara punya rencana sendiri. Dia mengkhianati aku, mengkhianati Tuan Anthony, ...."

"Saya melihat Paman Koswara ditangkap dan dimasukan ke dalam karung goni."

"Benarkah?"

"Sepertinya dia membuat kesalahan yang fatal."

"Sangat, sangat fatal."

Panca dan Tuan Win Feng seakan saling melepas rindu setelah mereka sama-sama saling mempertanyakan nasib masing-masing.

"Aku disangka menjadi bagian dari pengkhianatan Koswara, kau sendiri bagaimana bisa ditangkap?"

Panca tidak langsung menjawab. Anak itu begitu lahap ketika makan pisang yang ditemukan di gudang.

"Saya ... disangka bagian dari kekacauan yang ditimbulkan oleh Asih."

"Asih?"

"Asih mencuri ...."

"Safir, pesanan dalam kapsul itu ternyata sebuah batu mulia berharga mahal."

"Saya bingung, kenapa Asih terlibat dalam rencana pencurian ini."

"Pantas saja aku melihat dia menjadi pelayan ketika pesta."

"Saya juga melihat seseorang melompat dari pohon ke atap gedung. Mungkin itu Asih. Dia lincah dalam urusan itu."

Tuan Win Feng terdiam, berpikir.

"Panca, kau ... benar-benar tidak tahu rencana gadis itu?"

"Tidak, Tuan. Saya pun kaget ketika melihat dia."

"Mungkinkah dia ... sejak awal bekerjasama dengan Koswara?"

"Bisa jadi, tapi ... bagaimana dengan kejadian perampokan tadi siang?"

"Ah, ... rasanya dia sengaja mendekatimu untuk dijadikan umpan. Kejadian tadi siang hanya sandiwara belaka."

"Dia memanfaatkan saya, Tuan."

Panca dan Prahara Rumah JagalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang