Dunia sedang tidak berpihak pada sekawanan monyet liar yang semakin banyak terlihat. Diantara mereka ada yang berteriak sangat keras, memperingatkan kawanan untuk berkumpul.
"Oaaakkk!"
Setelah beberapa saat, ternyata mereka tersadarkan oleh sesuatu yang tidak beres. Seorang anggota kawanan dinyatakan hilang. Jelas, mereka curiga jika segerombolan perampok yang sedang tertidur pulas itu yang menculik kawan mereka.
"Oaaaakkk!"
Suara monyet liar itu semakin terdengar jelas. Dan, keras.
Sontak, Panca terbangun oleh suara yang memekakan telinga. Siapa yang berteriak di depan wajahku?
"Hei, ada apa denganmu ... monyet?"
Panca heran dengan sekawanan monyet liar yang berdiri di dahan pohon. Bukan karena tidak pernah melihat monyet melakukannya, tapi sikap mereka yang seakan menantang. Bersiap mengeroyok.
"Oaaak!"
Salah seekor diantara mereka melompat ke arah Panca. Sebuah lompatan yang mengagumkan. Ketika seorang manusia sulit melompat diantara pohon yang berjauhan. Tapi, monyet liar itu bisa melompat di atas air. Bukan melompat, lebih tepatnya hewan itu melayang di udara. Menerkam.
"Arghh!"
Panca berteriak kencang ketika seekor monyet mendarat di kepalanya. Si monyet mencengkramkan tangannya di wajah Panca. Anak remaja itu berusaha untuk melepaskan cengkraman si hewan berbulu abu-abu.
Panca limpung. Dia tidak bisa duduk tegak di akar.
"Tolong! Tolong aku!"
Panca meminta tolong pada orang-orang yang sedang beristirahat siang itu.
"Hahahaha," sekawanan perampok itu malah tertawa. Mereka menganggap hal demikian adalah lelucon.
Tapi, Asih tidak menganggap ini hal lucu. Bagaimana seekor monyet liar bisa mengeroyok anak itu?
"Tolong!"
Tawa kawanan perampok itu berhenti tertawa ketika melihat kawanan monyet mulai mengerumuni tubuh Panca. Bukan hanya seekor, tapi 5 ekor monyet bertubuh besar menutupi tubuh Panca.
Monyet-monyet itu marah!
Ketika menyadari demikian, Asih langsung menyiapkan senjata andalannya. Sebuah sumpit berukuran tidak lebih panjang dari 1 meter.
Ciuh ciuh!
Beberapa ekor monyet terjungkal. Mereka tercebur ke dalam air. Byuur!
Jarum yang mengenai kulit monyet-monyet itu cukup membuatnya terkejut. Memang tidak mematikan, tetapi cukup untuk melumpuhkan seekor monyet. Jangankan seekor monyet, manusia yang bertubuh lebih besar pun bisa kebas bahkan lumpuh sementara apabila mengenai bagian tubuh yang vital.
"Ayo pergi!" Asih memberi aba-aba.
Empat buah sampan didayung dengan sekuat tenaga. Lalu, menyusul sampan yang didayung Tuan Win Feng. Dia mengajak Panca turut serta.
"Ini salahmu, Asih!" Panca berteriak ketika mereka sama-sama mendayung untuk menjauh dari kerumunan monyet liar.
"Hahaha, maafkan aku, Raden. Tak terlintas dalam pikiranku jika mereka akan membalas dendam."
"Sudah kubilang, sebaiknya kita makan ikan saja. Jangan makan daging monyet!"
"Kalau begitu, setelah ini kita memancing ikan di laut."
Panca memasang wajah cemberut. Dia sungguh kesal dengan apa yang baru saja menimpa dirinya. Dengan enggan, anak remaja itu mendayung sampan mengikuti keempat sampan di depannya.
Kini, mereka melaju menyusuri rawa yang penuh dengan kelokan. Bukan jalur yang baik untuk mendayung sebuah sampan. Selain penuh kelokan, pohon yang tumbuh pun tidak beraturan sebagaimana pohon yang tumbuh di pinggir jalan. Di rawa, pohon-pohon itu tumbuh dengan sendirinya. Sehingga membentuk pola yang dimengerti oleh pohon-pohon itu sendiri.
Untungnya, kala itu air yang menggenang cukup untuk menahan sebuah sampan yang melaju di atasnya. Air yang menggenang masih terbilang dalam. Artinya, limpahan air dari hulu sungai masih besar. Jika kemarau berkepanjangan, genangan air itu menjadi dangkal. Sehingga, sebuah sampan tidak akan bisa melaju di atasnya.
"Akan ke manakah kita? Sepertinya jalur ini menjauh dari kota?" Panca bertanya keheranan.
"Memang, seperti yang sudah kubilang, kita akan memancing di laut." Asih terus mendayung tanpa menoleh ke belakang.
Panca melirik Tuan Win Feng, pria itu mengangkat alis. Sepertinya, ini bukan saat yang tepat untuk menyanggah apalagi mendebat. Sebagaimana kesepakatan, semua kendali ada di tangan Asih. Kali ini gadis itu yang memimpin kawanan, Panca dan Tuan Win Feng harus menurutinya.
Mereka terus menyusuri rawa sambil terus mengamati keadaan. Ini bukan tempat yang ramai oleh manusia. Tapi, bukan berarti tidak mungkin ada seseorang yang memperhatikan kelakuan mereka. Bisa saja ada mata-mata yang mengikuti gerak-gerak mereka. Asih mengamati keadaan ketika yang lainnya lebih sibuk mendayung.
"Tempat ini terlalu sepi, tidak ada binatang yang terdengar berkicau atau ...." Asih merasakan ada yang tidak beres dengan kawasan hutan rawa itu.
"Tidak ada yang salah, Nyimas. Bukankah ini hal yang lumrah?"
"Bagiku, ini tidak biasa. Ke mana binatang-binatang itu?"
Panca mendengar apa yang dikatakan Asih. Dia benar, ini bukan sesuatu yang biasa.
"Bukankah di hutan ini banyak burung kuntul yang bersarang? Ke mana mereka?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Prahara Rumah Jagal
AçãoSleeerrrr .... Darah mengalir dari tenggorokan. Tidak, bukan hanya mengalir. Darah itu muncrat ke berbagai arah. Membasahi orang di depannya, membasahi lantai bahkan melumuri golok di tangannya yang besar. Orang itu tidak pernah tega dengan korbann...