11

50 21 0
                                    

"Arrgh, Koswara! Ternyata kau berkhianat padaku!"

Tuan Win Feng berteriak sangat kencang. Dia merasa kesal ketika mendapati kenyataan jika orang yang dicarinya ternyata hadir dalam situasi yang tak diperkirakan sebelumnya. Sosok yang dicarinya sejak tadi, kini ada di hadapannya. Meskipun, dia hadir membawa kenyataan pahit yang harus ditelan.

"Aku tidak merasa berkhianat padamu Win Feng, kita mengerjakan bagian masing-masing. Kau menyembelih hewan yang kuberi ...."

"Tapi itu bukan sapi yang mereka maksud. Sapi yang datang ke rumah jagal milikku ... di perutnya hanya berisi tai ... hanya tai ...."

"Terus, apakah salahku? Kau akan mendapatkan upahmu. Bukankah kau pedagang daging yang sudah biasa mengerjakan itu ...."

Koswara mulai bermain-main dengan kata-kata. Tentu saja orang lain yang mendengar menjadi bingung, termasuk Panca dan Asih yang telah terikat tak berdaya.

Kini, mereka berkumpul di tempat yang lebih jauh dari jalanan utama menuju Batavia. Mereka terhalang oleh pohon-pohon tebu yang tumbuh tinggi sehingga orang lain sulit melihat keberadaannya dari jarak jauh.

"Sekarang, sapi ini milikku," Koswara menegaskan situasi yang tengah terjadi.

Laki-laki berbaju abu-abu itu mencabut golok dari sarungnya yang sedari tadi belum digunakan. Mengkilap, terpapar sinar matahari yang mengenai logam keras nan tajam. Dengan gagang hitam berbahan tanduk kerbau, laki-laki berikat kepala kain batik itu memperhatikan senjata di tangannya. Dia ingin memastikan jika perkakas yang dibawanya memang tajam.

"Kau menukarnya kan?" Tuan Win Feng bertanya penasaran.

Koswara tersenyum kecut. Dia malah berjongkok dibelakang leher sapi yang sudah terbaring. Keempat kaki hewan itu kini diikat tambang yang telah direkatkan pada sebatang pohon mangga yang kebetulan tumbuh subur di sana.

"Sapi yang kuberikan semalam, itu sapi yang benar. Nomor di pantatnya 123, sebagaimana berita yang beredar."

"Bukan, sapi itu bukan yang mereka maksud. Kau menukarnya. Dan, sapi nomor 123 yang sebenarnya ...."

Tuan Win Feng tidak menyelesaikan kalimatnya. Panca mulai mengerti arah pembicaraan kedua laki-laki dewasa di depannya. Dia ikut bicara dengan nada datar.

"Nomor 128 ... sapi ini. Nomornya diubah. Ya, cetakan di kulit sapi ini tidak sempurna. Masih ada bulu-bulu yang tidak terbakar."

Koswara tertawa terbahak ketika mendengar Panca bicara, "hahahaha!" 

Tuan Win Feng menoleh ke arah Panca yang terikat di dekatnya. Dia baru mengetahui kenyataan ini ketika Panca mencoba ikut menerka.

Koswara tidak menyanggah apa yang dikatakan Panca. Anak ini sok tahu, pikirnya.

Sleeerrrr ....

Darah mengucur dari leher si sapi. Ini menjadi hari terakhirnya dia menghirup udara di dunia. Dalam beberapa detik ke depan, hewan itu berubah menjadi seonggok daging dan tulang yang tak bernyawa.

Ketika hewan lain disembelih untuk dijadikan makanan lezat setelah dimasak, hewan yang satu ini disembelih untuk dibelah perutnya. Tukang jagal yang mengocorkan darah si sapi langsung menyayat perutnya yang penuh dengan kotoran.

"Oeeekkkk!"

Asih merasa mual ketika menyaksikan hewan itu menyemburkan darah dari balik kulit perutnya. Untuk mengurangi rasa ketidaknyamanannya, gadis itu memejamkan mata dan mengarahkan wajahnya ke belakang walaupun itu sulit karena tubuhnya terikat kuat.

Bagi seorang Koswara, membelah perut sapi bukanlah pekerjaan sulit. Dia sudah terbiasa melakukan itu sejak remaja.

"Ternyata kau masih lihai membelah perut seekor sapi," Tuan Win Feng memberi komentar.

"Setelah lama berhenti menjadi tukang jagal, ternyata kemahiranku tidak hilang."

Dalam waktu cepat, perut si sapi sudah terburai ke luar. Koswara melirik ke arah kelima anak buahnya yang sedari tadi hanya diam berdiri. Tanpa harus berkata, mereka tahu jika tuannya memberikan perintah. Sekarang giliran kalian.

Tepat di hadapan para tawanannya, usus besar si sapi disayat. Weerr, isinya keluar. Warna hijau tua nan basah serta bau menyengat membuat mereka yang melihat harus mengatur nafas.

"Hei! Apa sebenarnya yang kalian cari dalam usus hewan ini?" Asih berteriak kencang dengan suaranya yang melengking.

Semua yang mendengar malah tertawa, kecuali Panca.

"Ini ... inilah yang kami cari ...."

Seorang anak buah Koswara memegang sesuatu.

Benda berukuran tidak lebih dari sejengkal. Hitam, tapi masih penuh dengan kotoran. 

"Apa? Hanya benda seperti itu yang kalian perebutkan?" Asih kembali berteriak karena kekagetannya.

Koswara dan Tuan Win Feng menatap tajam gadis itu.

Untuk memastikan apa yang sedang mereka lihat, seseorang diantara mereka membawa air dengan pelepah kelapa yang telah kering. Benda penuh kotoran itu dibasuh sampai bersih dan jelas terlihat bagaimana bentuknya. Bentuknya seperti pisang  tetapi berwarna hitam dan terbuat dari karet yang kenyal.

"Hahahaha ....!"

"Win Feng, kenapa kau tertawa?"

"Kalian pasti kebingungan. Benda itu harus dibuka dengan kode."

Koswara menatap benda di tangannya. Ada deretan angka di salah satu sisinya. Mungkin itu kunci yang harus dibuka dengan kode-kode berupa angka.

"Dibakar saja, Tuan," seorang anak buah Koswara memberikan saran.

"Goblok! Nanti isi di dalamnya rusak."

Panca semakin bingung dengan apa yang dilihatnya. Dengan polosnya dia mengajukan sebuah pertanyaan, "benda apa yang ada di dalamnya sehingga harus terkunci, berhargakah?"

Panca dan Prahara Rumah JagalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang