Tuan Anthony turun dari kereta kuda. Sepatunya mengkilat begitu berbeda dengan kaki-kaki kuli yang lalu lalang di jalanan. Terlebih jika dibandingkan dengan kaki-kaki pedagang keliling yang kebetulan lewat di depan pria Eropa itu.
Siang itu, dia sengaja datang ke Pecinan untuk menyelesaikan suatu urusan. Urusan yang belum kunjung selesai.
"Tuan, ada apakah gerangan Anda datang ke tempat seperti ini?" seorang kuli panggul bermaksud beramah tamah. Dia baru saja menurunkan sekarung beras tepat di depan pintu sebuah rumah.
"Saya mau bertemu orang yang tinggal di rumah ini."
"Oh, begitu. Baiklah. Akan saya panggilkan."
Tuan Anthony menganggukan kepala. Sambil mengenakan topinya yang bundar, pria itu meminta pemantik pada seorang pengawal yang kebetulan berdiri di dekatnya.
"Nyonya ... Nyonya Win Feng, permisi! Tolong buka pintunya!"
Kuli panggul itu nampak akrab. Sepertinya dia sudah menjalin hubungan baik dengan si empunya rumah. Karena, bagi tamu yang tak dikenal berteriak-teriak seperti itu bukanlah perbuatan yang dianggap sopan.
"Mungkin dia sedang di dapur, Tuan. Makanya sulit untuk membuka pintu."
Tuan Anthony menganggukan kepala. Dia mengerti maksud laki-laki Cina di hadapannya. Sambil menyeka keringat yang terus mengucur, orang itu tersenyum pada pria-pria berseragam hitam yang menyertai Tuan Anthony.
Membutuhkan waktu lebih dari semenit untuk bisa mendapati si empunya rumah membukakan pintu. Ketika pintu terdengar berderit, tidak serta merta pintu terbuka lebar.
"Saya mau mengirim sekarung beras pesanan, Nyonya."
"Simpan saja di depan sana," suara seorang wanita terdengar dari balik pintu.
"Nyonya yakin? Biasanya saya mengantarkan sampai dapur. Ini berat, Nyonya."
"Tidak apa-apa. Kamu pergi saja."
"Baiklah, Nyonya. Tapi, ini ada ...," kuli panggul itu tidak meneruskan kalimatnya. Dia langsung pergi dengan setengah berlari.
Tuan Anthony mulai tahu jika si empunya rumah enggan membukakan pintu karena kehadirannya. Wanita di balik pintu itu nampaknya tidak mau membuka pintu karena dia sudah tahu jika tamunya bukan hanya seorang kuli panggul yang hendak mengantarkan sekarung beras.
Laki-laki jangkung itu mengerti jika tuan rumah enggan bertemu dengannya. Mungkin dia sudah tahu niat kedatanganku.
Tuan Anthony harus menunggu beberapa saat di depan pintu. Dia berjalan mondar-mandir, berpikir. Sesekali berhenti, kemudian berdiri. Matanya menyaksikan sesuatu yang tidak biasa. Banyak orang yang berdiri mematung, memperhatikan kelakuan laki-laki berbaju jas hitam itu. Dia menaikan topi bundar yang menghiasi kepalanya. Menatap tajam pada kerumunan orang-orang Cina di seberang jalan.
Tuan Anthony kembali berjalan mendekat ke depan pintu. Dia melihat ke atas, tulisan Cina yang berderet di depannya memang tidak begitu dia mengerti. Tapi, dia paham jika rumah ini dimiliki oleh orang kaya. Meskipun pemiliknya bukan yang paling kaya di wilayah itu.
Rumah itu bergaya Cina peranakan. Tepat di tepi trotoar jalan, berdiri dengan kokoh benteng yang membentang mengelilingi rumah bertingkat di dalamnya. Pintu gerbang dengan kayu ulin yang tahan cuaca sehingga tetap terlihat mengkilap. Di atas pintu gerbang, gapura yang dilengkapi atap menambah kesan megah rumah di hadapan Tuan Anthony.
"Nyonya, saya tahu anda ada di sana. Tolong bukakan pintu, saya hanya ingin bicara sebentar dengan anda."
Tidak ada jawaban dari balik pintu. Pintu itu masih kokoh tertutup. Papan-papan kayu yang terangkai seakan menjadi penahan bagi siapa pun orang yang tidak dikehendaki untuk bertamu.
Bagi seorang laki-laki dari kelas atas di Batavia, ditolak bertamu oleh seseorang dianggap sebuah bentuk penghinaan. Terlebih, dia ditolak oleh seorang perempuan Cina. Harga diri laki-laki itu terasa direndahkan.
Tuan Anthony melirik ke salah seorang pengawal. Dia menunjuk pintu dengan telunjuknya. Sebuah isyarat jelas untuk melakukan apa. Dan, si pengawal pun tidak banyak bertanya lagi.
Druugg!
Sepatu lars pengawal itu membentur pintu. Dia bermaksud membuka paksa pintu berwarna merah di hadapannya. Namun, tidak berhasil.
Pengawal lainnya mencoba membantu. Druugg, druugg, druug!
Suara benturan itu mengundang perhatian kerumunan orang di seberang jalan. Mereka sulit menerima tindakan segerombol orang mendobrak pintu gerbang rumah tetangganya. Wajah mereka menegang.
Mereka yang sedari bersabar menunggu apa yang akan terjadi, akhirnya terdorong untuk menghampiri tempat berdiri Tuan Anthony dan anak buahnya. Lebih dari sepuluh laki-laki Cina bertelanjang dada berjalan sambil membawa tongkat, golok atau parang di tangan.
Sontak, Tuan Anthony merasakan ada sesuatu yang salah dengan mereka yang datang menghampiri.
"Hei, mau apa kalian? Ini urusan kami dengan Tuan Win Feng!"
"Ini menjadi urusan kami ketika kau mengganggu keluarganya!"
Belasan laki-laki itu berdiri tepat di depan deretan pengawal Tuan Anthony. Mereka siap untuk saling serang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Prahara Rumah Jagal
ActionSleeerrrr .... Darah mengalir dari tenggorokan. Tidak, bukan hanya mengalir. Darah itu muncrat ke berbagai arah. Membasahi orang di depannya, membasahi lantai bahkan melumuri golok di tangannya yang besar. Orang itu tidak pernah tega dengan korbann...