"Mereka sedang berpesta, Tuan."
Tuan Win Feng menganggukan kepala ketika sama-sama mendapati pemandangan yang sama dengan apa yang dilihat oleh Panca. Nampak dari kejauhan, pintu yang terbuka lebar serta jendela yang membiarkan angin masuk ke dalam sebuah aula. Dari seberang jalan raya, mereka bisa menyaksikan cukup jelas siapa saja yang ada dalam ruangan besar itu.
"Mereka orang-orang terpandang di kota ini," Tuan Win Feng memberi penjelasan.
"Apakah itu pesta klab?"
"Ya, semacam itulah."
"Perkumpulan seperti apa?"
"Entahlah, kalau malam ini mereka berkumpul menggunakan nama yang mana. Aku juga tidak tahu."
Tuan Win Feng menghela nafas. Dari balik semak-semak, laki-laki itu terlihat berpikir keras.
"Apa yang anda pikirkan, Tuan?"
"Aku hanya berpikir bagaimana caranya aku bisa mengisi perutku yang kosong. Aku lapar."
"Di sini banyak buah-buahan yang ranum ...."
"Ah, kita bisa ketahuan kalau ada gerakan mencurigakan."
Panca juga mengangguk setuju. Meskipun mereka dikelilingi pohon-pohon berbuah ranum, tapi untuk meraihnya membutuhkan usaha lebih. Mangga atau rambutan yang bergelantungan di pohon hanya bisa dipandangi dari bawah.
"Tuan, di gedung itu sepertinya banyak makanan."
"Ah, aku juga tahu itu. Tapi, apakah kita harus menukarnya dengan nyawa kita?"
"Tuan, bukankah ... kita pun datang ke sini ... sama dengan menyerahkan nyawa kita."
Tuan Win Feng tersenyum kecut. Sebuah ironi, ketika sang istri menyiapkan makan malam justru laki-laki itu malah menahan lapar. Ketika perut meminta untuk diisi, kulit pun diganggu oleh sengatan nyamuk yang tak kunjung berhenti. Ingin sekali tangannya meraih buah rambutan yang bergelayutan di ranting.
Panca mulai merasa gatal ketika harus menunggu lebih lama lagi. Nyanyian nyamuk-nyamuk itu begitu mengganggu di telinga. Nggggiiinnnnggg ...
"Tuan, berapa lama lagi kita di sini?" Panca mulai tidak sabaran.
"Sebentar lagi. Kita harus menemui Si Pemesan ketika pesta ini usai."
"Memangnya, kapan pesta ini usai?"
Tuan Win Feng tidak bisa menjawab pertanyaan Panca. Laki-laki Cina itu semakin dibingungkan ketika menyaksikan kenyataan bahwa gedung tempat pesta berlangsung dijaga dengan ketat. Nampak dari kejauhan puluhan polisi sedang berjaga-jaga. Ditambah centeng berpakaian serba hitam menjaga kereta-kereta kuda yang terparkir dengan rapi.
"Tuan, sebaiknya aku pulang saja."
"Haiiia, pulang ke mana? Pedati milikmu habis dibakar oleh massa. Kau mau tidur di mana?"
"Saya ...."
"Ingat, aku akan melaporkanmu pada polisi jika kau penadah sapi curian."
"Ah, anda selalu mengancamku seperti itu."
"Hei, lagipula ... apa salahnya kau membantuku."
"Hah, saya tidak menyangka harus berurusan dengan penjahat ...."
"Aku bukan penjahat, Panca. Aku korban penipuan. Koswara telah mengkhianatiku."
"Tuan, menyelundupkan barang dalam perut sapi ... apakah tidak termasuk kejahatan?"
Tuan Win Feng tersenyum kecut.
"Tuan, setelah masalah ini selesai ... apakah yang akan anda lakukan?"
"Tentu saja kembali seperti semula. Berdagang daging."
"Itu pun kalau perusahaan yang anda miliki masih berdiri."
"Nah, bagus kalau kau mengerti. Aku melakukan ini agar perusahaanku tetap berdiri."
"Memangnya, mereka mengancam ...."
"Mereka akan mencabut izin usaha rumah jagal milikku jika tidak bisa menyampaikan pesanan. Paling lambat tengah malam nanti."
"Bisakah mereka mencabut izin usaha? Apakah mereka orang Pemerintah?"
"Bukan. Tapi, lihatlah orang-orang dalam aula gedung itu. Mereka dari berbagai kalangan. Urusan mencabut izin usaha seseorang bukan perkara sulit."
Panca menganggukan kepala. Dia mulai paham masalah yang sedang terjadi.
"Kau anak cerdas, Panca. Seharusnya kecerdasanmu itu bisa kau manfaatkan."
"Untuk apa?"
"Ya, kau bisa menjadi pegawai negeri. Pamong praja atau bekerja di perusahaan milik Pemerintah."
Panca menganggukan kepala tanda setuju dengan ide Tuan Win Feng. Dia menerawang ke masa depan, bagaimana jadinya jika aku menjadi pegawai pamong praja.
...
Cukup lama kedua laki-laki itu membicarakan banyak hal. Meskipun mereka terpaut usia sangat jauh, tetapi alur pembicaraan satu sama lain tidak terputus. Ada kesinambungan pemikiran diantara mereka. Keluasan pengetahuan yang dimiliki anak remaja seperti Panca bisa mengimbangi luasnya pengalaman dari Tuan Win Feng.
Masih di balik semak-semak yang gelap dan penuh dengan serangga pengganggu, kedua orang itu membicarakan pengalaman masing-masing. Hingga pendapat masing-masing tentang Pemerintah Kolonial yang terlalu berpihak pada kaum berada.
Pertemuan mereka berdua baru beberapa jam yang lalu. Belum genap sehari. Tetapi, Tuan Win Feng seakan menemukan teman bicara yang sepadan. Bila selama ini dia kesulitan menemukan kawan bicara yang setara, kini dia menemukan Panca.
Tuan Win Feng sempat membicarakan pengalamannya terapung di lautan tanpa persediaan makanan yang cukup. Kala itu perjalanan dari tanah kelahirannya begitu lama. Makanya, ketika menemukan daratan seindah Batavia orang itu merasa gembira. Di Batavia dia merasa menemukan hidup yang baru. Meskipun resiko untuk menjadi manusia unggul di sana harus ditempuh hingga bertaruh nyawa.
Panca sendiri berbicara panjang lebar tentang jatidirinya. Kedatangannya ke ibu kota menjadi rutinitas untuk berdagang gerabah. Kegiatan yang dimulai dari kakeknya kemudian diteruskan oleh dia yang masih remaja. Dan, sesekali anak itu membanggakan kualitas dagangannya di depan Tuan Win Feng. Tapi, jelas laki-laki itu masih berpendapat jika gerabah dari tanah leluhurnya yang paling unggul.
...
Akhirnya, jemu datang juga.
"Kapan kita masuk ke gedung itu?" Panca kembali bertanya.
"Tunggu saja sampai ada seseorang di lantai atas."
"Lantai atas?"
"Ya, Si Pemesan masih berpesta ria. Kita tunggu dia masuk ke ruang pribadinya."
"O, iya. Lantai atas masih tampak sepi bila dibanding lantai dasar."
Tuan Win Feng menganggukan kepala. Laki-laki itu senang Panca bisa diajak berpikir strategis.
"Tuan, sepertinya kita harus mengubah rencana."
"Kenapa?"
Panca mengarahkan pandangan ke jalan besar. Ada serombongan kuda yang datang.
"Ada yang datang, Tuan."
"Kau benar, Panca. Kita harus mengubah rencana."
"Rencana bagaimana?"
Tuan Win Feng nampak berpikir keras, Koswara aku siap menyambutmu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Prahara Rumah Jagal
ActionSleeerrrr .... Darah mengalir dari tenggorokan. Tidak, bukan hanya mengalir. Darah itu muncrat ke berbagai arah. Membasahi orang di depannya, membasahi lantai bahkan melumuri golok di tangannya yang besar. Orang itu tidak pernah tega dengan korbann...