34

35 16 0
                                    

"Kau lihat kan bagaimana keadaan ibuku?" Asih mencoba menjelaskan pada Panca.

"Aku ... tidak mengerti, sejujurnya."

"Jiwa ibuku terguncang ketika mendapati ayahku meninggal karena gantung diri."

"Di pohon rambutan ini kan?"

"Ya, kau sendiri tahu kan peristiwa itu."

"Tapi, aku tidak tahu jika itu sangat mempengaruhi jiwa ibumu."

"Karena kemalangan itu datang bertubi-tubi."

Panca terdiam, mendengarkan.

"Kakak-kakakku berebut harta warisan. Mereka tidak menyisakan apa pun untuk kami."

"Rumah ini?"

"Masih diperebutkan, mereka hanya mengijinkan kami tinggal di sini semata-mata ... karena mereka tidak mau melihat ibu berkeliaran di jalanan."

"Aku turut perihatin."

"Terima kasih, tapi aku tidak butuh dikasihani. Aku bisa mengurus hidupku sendiri."

"Dengan cara salah?"

"Salah dan benar bukan urusanmu lagi."

"Itu menjadi urusanku ketika kau ... dengan sengaja melibatkanku!"

Asih terdiam.

"Sejujurnya, aku kaget ketika menyaksikan kau menjadi bagian dari komplotan Koswara."

"Karena dialah yang bisa membantuku. Setidaknya untuk saat ini."

"Tidak adakah jalan lain untuk bisa menyelesaikan masalahmu?"

"Tidak. Tidak ada. Tidak seorang pun yang mau membantuku. Orang-orang yang dahulu dekat dengan ayahku, kini mereka tidak peduli dengan kami. Untuk itu, aku menerima tawaran Koswara."

"Tapi, itu hanya akan menambah masalahmu. Tindakan kalian melawan hukum."

"Aku tahu itu!"

Emosi Asih memuncak. Gadis itu terlihat meneteskan air mata. Air mata kesedihan sekaligus kemarahan pada keadaan.

"Panca, bila kau datang ke sini sekedar untuk menceramahiku ... sebaiknya kau pergi."

"Aku datang ke sini bukan untuk menceramahimu. Aku datang untuk memintamu mengembalikan barang curian milik Tuan Anthony."

"Barang itu tidak ada padaku."

"Aku rasa kau berbohong."

"Benar, aku tidak berbohong. Lagipula buat apa aku mengembalikan barang yang telah dicuri."

"Tuan Anthony akan mengejarmu. Itu akan membuat hidupmu tidak tenang."

"Hidupku sudah tidak tenang sejak ayahku meninggal. Kau tidak perlu mengkhawatirkanku."

"Tapi, itu juga membuat hidupku tidak tenang. Tuan Anthony akan terus mengejarku. Ditambah polisi yang akan terus mencariku."

"Hahaha ... selamat datang di dunia gelap, Raden."

"Oh, ini bukan pertama kali aku masuk ke dunia gelap. Tapi, aku bisa ke luar lagi."

"Sekarang? Kau sulit keluar lagi kan? Namamu sudah tercoreng."

"Kau juga?"

"Aku tidak peduli. Tidak peduli dengan nama baik. Karena itu tidak menolongku."

Panca mengepalkan tangan. Dia ingin sekali marah. Marah pada Asih yang membawanya pada kehidupan yang tidak diinginkan.

"Kau marah padaku, Panca?"

"Bagaimana tidak, beberapa hari belakangan hidupku semata-mata hanya mengurusi urusan yang tidak ada untungnya untukku!"

"Hahahaha ... kau seperti anak kecil."

Panca ingin sekali berteriak. Tapi dia menahan untuk tidak melakukan itu karena khawatir warga desa akan berbondong-bondong menghampiri mereka berdua.

"Asih, sebenarnya aku masih belum percaya jika kau tidak menyimpan barang curian itu?"

"Kau masih bersikukuh rupanya. Sudah kukatakan jika barang itu tidak ada padaku."

"Ah, aku akan mencarinya di dalam."

Asih tidak suka dengan sikap Panca. Apalagi dia benar-benar melangkah untuk masuk ke dalam rumah.

"Hei, berhenti atau aku akan teriak!"

Panca menghentikan langkahnya setelah tangan Asih meraih tangannya. Mata mereka saling tatap. Rupanya Asih tidak main-main dengan ancamannya.

"Asih, aku terpaksa percaya padamu."

"Aku mengatakan yang sebenarnya. Kumohon kau jangan masuk ke dalam dan mengusik ketenangan ibuku. Dia bisa ketakutan bila bertemu orang asing."

"Ah, itu hanya alasanmu saja."

"Panca, lihatlah sekelilingmu. Kami belum sempat memetik buah-buahan yang ranum sehingga membusuk  dan berjatuhan ke tanah."

Panca sepertinya akan menemukan jawaban atas rasa penasarannya. Ketika pertama kali datang ke pekarangan rumah itu, Panca sulit memahami kenapa buah-buahan dibiarkan membusuk di pohonnya sendiri. Bahkan, kelapa kering nampak berserakan di tanah.

"Apa hubungannya dengan ....?"

"Panca. Kami belum bisa membeli pekarangan rumah ini."

"Membeli?"

"Ya, kakak laki-lakiku bersikukuh ingin pekarangan ini menjadi miliknya."

"Dan, kau ingin membeli tanah yang sebelumnya tempat kau bermain?"

"Ya."

"Dari uang hasil curian?"

"Ya."

Panca heran dengan kemelut yang dihadapi keluarga Asih. Panca sudah mengenal keluarga itu sejak lama. Dikenal sebagai keluarga yang makmur, kini terkesan sebagai keluarga yang tak akur sepeninggal ayahnya.

"Sekarang ini jadi milikku. Meskipun aku harus membayarnya dengan harga sangat mahal."

"Tidak adakah mereka menyisakan sedikit untukmu dan ibumu?"

Asih menggelengkan kepala.

"Asih, jangan sampai ceritamu ini sebagai cara agar hatiku bisa luluh."

"Arghhh!" Asih berteriak karena kesal dengan Panca yang masih sulit mempercayai kata-katanya.

Ternyata teriakan itu terdengar sampai ke dalam rumah. Ibunya merasa ada sesuatu terjadi pada anaknya.

"Asiiihhhh!"

Panca merasa tidak nyaman ketika wanita itu mulai memanggil Asih.

Itu kesempatan bagi Asih untuk segera meninggalkan Panca dan mengakhiri pembicaraan diantara mereka.

"Tunggu dulu, katakan dulu di mana batu safir itu?"

Asih menghela nafas, "ada di tangan Koswara."

"Koswara, bukankah dia sudah ditenggelamkan ke laut? Dia masih hidup? Dia di mana?"

"Mungkin di rumahnya."

"Ya, tapi di mana?"

"Bukankah kau pernah ke sana?"

"Bagaimana kau tahu? Oh, jadi kau yang meneriakiku maling kemudian membakar pedatiku ...."

Asih hanya tersenyum, kemudian meninggalkan Panca yang masih berdiri di pekarangan.

Dasar gadis licik.

Panca dan Prahara Rumah JagalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang