50

29 13 0
                                    

"Hei, bangun!"

Teriakan suara orang yang membangunkan sudah cukup membuat Panca dan Tuan Win Feng membuka mata. Mimpi indah yang terbayang dalam tidur seketika hilang. Kini, mata mereka hanya mendengar suara-suara yang terdengar asing di telinga dan tentu saja suara orang di depannya.

"Sedang apa kalian di sini?"

Panca dan Tuan Win Feng tidak langsung menjawab pertanyaan orang yang berdiri di sebuah sampan. Mereka berdua malah melihat ke sekeliling. Ada 3 perahu dimana masing-masing ditumpangi oleh 2 orang laki-laki berbaju serba hitam.

"Kalian siapa?" Tuan Win Feng balik bertanya.

"Ah, kau ini. Aku bertanya, kau malah balik bertanya!"

Tuan Win Feng belum sepenuhnya sadar, setengah pikirannya masih ada di alam mimpi. Suara-suara satwa liar belum sanggup menyadarkannya jika kini dia sedang berada di hutan. Air yang tergenang di rawa belum bisa menjadi petunjuk jika dirinya tidak sedang berada di rumah.

Padahal, tadi aku bermimpi sedang berada di rumah bersama anak dan istriku.

Cahaya matahari masuk melalui sela-sela dedaunan. Sinarnya yang mulai menyengat, mulai terasa menusuk kulit. Terlebih, kulit wajah yang belum siap menerima paparan sinar matahari langsung.

"Sepertinya, wajah Paman tidak asing bagi saya," Panca mencoba mengira-ngira.

Keenam laki-laki di atas sampan itu tersenyum. Meskipun senyumannya tidak tampak sebagai bentuk keramahan. Jambang dan kumis yang tebal tak terurus menutupi wajah mereka. Andai saja anak balita yang melihat wajah orang-orang asing itu, tidak heran jika dia akan menangis karena ketakutan.

Mata mereka tidak terlihat segar. Kulit di lingkaran mata nampak lebih gelap dan cenderung menghitam. Mata yang lelah karena kurang tidur. Karena itu pula Panca bisa menerka siapa mereka.

"Tuan, ayo pergi!"

Panca beranjak sambil meraih baju Tuan Win Feng. Mereka berdua mulai merasa ada yang tidak beres dengan orang-orang yang telah membangunkannya. Naluri anak remaja itu berkata jika orang-orang itu memiliki maksud jahat.

Mereka komplotan perampok!

Tidak mudah bagi Panca untuk berlari di antara akar-akar yang menghujam ke dalam rawa. Licin.

Byuurr, Panca tercebur ke dalam air rawa. Air itu berwarna cokelat bahkan cenderung menghitam di beberapa tempat. Ketika tubuh tercebur ke dalam air maka dapat dipastikan akan sulit bergerak. Jangankan untuk berlari, untuk sekedar melangkahkan kaki pun sulitnya minta ampun.

"Hahaha!" semua orang yang menyaksikan kelakuan Panca tertawa lepas. Mereka begitu puas menyaksikan kesusahan orang lain. Seakan sebuah hiburan gratis di pagi hari.

Hanya Tuan Win Feng yang sanggup melompat diantara akar-akar bakau. Tapi, itu pun bukan perkara gampang.  Jarak antara pohon dengan pohon yang lainnya menyulitkan Tuan Win Feng untuk bergerak leluasa.

Tiga sampan mengikuti Panca dan Tuan Win Feng. Perlahan saja. Tidak membutuhkan kecepatan untuk membuntuti kedua orang yang sedang mencoba melarikan diri. Mereka terlihat kesusahan untuk menghindar dari orang-orang berpakaian serba hitam.

"Kalian mau ke mana?"

Tentu saja itu bukan pertanyaan yang membutuhkan jawaban. Terdengar seperti pertanyaan untuk meledek karena kesulitan yang dialami Panca dan Tuan Win Feng.

Air rawa hanya merendam kaki Panca. Tetapi, bukan hanya air yang menyulitkan. Lumpur dan dedaunan yang membusuk di dalamnya seakan mencengkram kaki.

Aaakk! Aaakk!

Suara monyet liar seperti menertawakan. Panca berhenti berusaha melangkah. Matanya menatap ke atas pohon dimana suara makhluk berekor panjang itu sedang bertengger.

Bukan hanya seekor, tapi lebih dari 5 ekor terlihat sedang bergelantungan mencari sarapan dedaunan. Bahkan, ada seekor anaknya yang masih menyusui menggantung di tubuh induknya. Warna abu bulunya terlihat lebih terang ketika tersentuh cahaya matahari melalui sela-sela dedaunan.

"Kasihan sekali kalian, monyet pun menertawakan kalian."

"Diam! Tidak usah banyak bicara!" Panca merasa kesal dengan apa yang terjadi pada dirinya.

"Hei, kalian mau ke mana? Tidak usah berlari. Kami tidak akan menyakiti kalian."

Tuan Win Feng pun malah duduk di akar bakau. Dia tidak bisa meneruskan usahanya untuk menghindar dari keenam laki-laki tak dikenal itu. Dadanya kembang kempis, dia mulai kelelahan.

"Lebih baik kalian ikut dengan kami. Kita sarapan bersama. Kalian belum makan kan?"

"Kenapa kau menawari kami makan?" Panca heran dengan keramahan orang-orang berwajah menyeramkan di hadapannya.

"Hei, kenapa kami harus berbuat jahat pada kalian. Kalian datang untuk mencari kami kan?"

Panca dan Tuan Win Feng saling tatap.

"Tidak usah heran jika kami tahu maksud kedatangan kalian ke sini."

"Paman, saya bingung. Sebenarnya siapa kalian?"

"Raden, kau benar-benar tidak ingat kami?"

Tuan Win Feng kembali menatap Panca. Bahunya terangkat pertanda tidak tahu maksud mereka.

"Kalau aku, kalian ingat kan?" suara seorang perempuan terdengar dari arah belakang Panca dan Tuan Win Feng.

Panca menengok sambil balik bertanya, "kau, sedang apa di sini?"

Panca dan Prahara Rumah JagalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang