49

29 10 0
                                    

Matahari kembali menerangi bumi. Batavia sudah ramai sebagaimana biasanya. Suara-suara orang berteriak terdengar dari berbagai arah. Entah itu suara kuli yang bercanda atau pedagang yang menawarkan barang dagangan. Suara sahut-menyahut itu terdengar pula ke telinga seorang pemilik rumah bergaya Cina.

Rumah itu berwarna merah menyala dengan ornamen bergelantungan di plafon. Tulisan warna emas terpampang di beberapa sudut dinding.

Pemilik rumah itu, Nyonya Win Feng beranjak dari kursi goyang setelah menyusui bayinya. Jendela yang terbuka lebar membawa hawa segar. Burung perkutut di sangkar bernyanyi atau mengiba meminta sarapan.

"Maaf, Nyonya. Ada seseorang yang datang," seorang lelaki datang menghampiri.

"Siapa? Kalau mengantarkan barang dagangan, terima saja."

"Bukan, Nyonya. Dia laki-laki yang datang tempo hari."

Nyonya Win Feng merasa penasaran. Dia berjalan ke arah jendela. Memastikan siapa orang yang menjadi tamu sepagi ini.

"Dia masih di luar gerbang, Nyonya. Kami tidak memperbolehkannya masuk," laki-laki berbaju tanpa lengan di hadapan si tuan rumah mencoba menjelaskan.

"Baiklah, tunggu di luar. Saya akan turun."

Nyonya Win Feng membawa bayinya ke kamar. Manusia mungil itu tertidur lelap. Pipinya yang tembem terlihat seperti sepasang bapau yang tertempel di wajahnya.

Kemudian, wanita Cina sang pemilik rumah berjalan ke luar kamar menuju tangga. Dari tangga, dia bisa menyaksikan sepuluh laki-laki sedang berdiri di sekitar pekarangan rumahnya. Semuanya adalah tetangga Nyonya Win Feng yang berjaga semalaman. Mereka membantu mengamankan rumah itu setelah kejadian membahayakan tempo hari.

"Dia memaksa untuk masuk, Nyonya."

Seorang laki-laki berambut panjang diuntun memberikan penjelasan pada istri Tuan Win Feng. Ketika suami wanita itu tidak ada di rumah, maka tetangganya bergantian menjaga rumah dengan sukarela. Diantara mereka masih ada yang kerabat. Tapi, selebihnya hanya saudara satu leluhur.

Mereka berdua berjalan keluar menuju pintu utama. Kemudian berjalan melintasi pekarangan dengan tergesa.

"Dia datang untuk bertemu Tuan."

"Apakah dia tidak tahu kalau suamiku sudah lama tidak pulang," Nyonya Win Feng bicara dengan nada tinggi.

Wanita itu berjalan ke arah pintu gerbang dengan langkah tegap. Matanya terkesan menyala, menatap tajam ke depan. Kedua tangannya mengepal seperti siap meninju siapa pun yang berani mengganggu.

"Buka pintu gerbangnya!"

"Baik, Nyonya."

Seorang laki-laki membukakan pintu gerbang sedangkan yang lain berkerumun berjaga-jaga khawatir terjadi sesuatu. Senjata di tangan sudah siap bila sewaktu-waktu harus digunakan.

Kreet, pintu gerbang terbuka.

Tampak dalam penglihatan Nyonya Win Feng seseorang yang dikenalnya. Orang itu bertubuh tinggi, berkulit putih dan ada sedikit kumis menghiasi wajah. Dia berdiri tepat di depan kereta kuda berwarna gelap nan mengkilap.

"Berani sekali kau datang ke sini."

Orang itu tidak langsung menanggapi perkataan Nyonya Win Feng. Dia malah tersenyum. Sebuah senyuman sinis, meremehkan.

"Selamat pagi, Nyonya," laki-laki itu membungkukan badan sambil memberi salam.

Nyonya Win Feng enggan melayani basa-basi dari tamunya. Dia ingin langsung bicara pada maksud kedatangan laki-laki itu.

"Mau apa lagi kau ke sini? Kau tidak kapok ketika kami marah dan melawan ...."

"Tunggu, Nyonya. Anda tidak perlu marah-marah. Kata orang, kalau suka marah-marah nanti cepat tua. Hahahaha ...."

"Tutup mulutmu, pergi saja. Kami tidak sudi meladeni omong kosong yang keluar dari mulutmu."

"O, saya ke sini bukan untuk beromong kosong."

"Lantas untuk apa?"

"Saya ingin bertemu suamimu."

"Dia tidak ada di rumah. Sudah berhari-hari dia tidak pulang."

"Benarkah?"

"Kau tidak percaya?"

"Ha, ternyata suamimu itu pengecut. Dia tidak mau menemuiku."

"Dia memang tidak ada di rumah. Lagipula, untuk apa lagi menemui suamiku?"

"Hei, urusan kami belum selesai. Dia masih punya utang yang belum dibayar."

Nyonya Win Feng memalingkan wajah. Dia menatap kerumunan orang di seberang jalan. Dari rona wajah orang-orang itu jelas terlihat jika mereka menyiratkan kebencian pada laki-laki berjas hitam yang berlagak seperti pejabat negara.

Gaya laki-laki itu seakan menantang siapa pun orang yang ada di Pecinan. Semua warga tahu jika dia pengacau di rumah Nyonya Win Feng tempo hari. Makanya, ketika dia datang ke sana seperti ingin menabuh genderang perang diantara mereka.

"Saya hanya ingin suamimu menunaikan kewajibannya, itu saja," si tamu itu berulang kali menyampaikan maksud kedatangannya.

"Jika aku bisa melakukannya. Aku akan menunaikan utang suamiku padamu. Tapi ...."

"Tapi kau berpura-pura tidak mampu. Ingat,  polisi sudah berbaik hati agar kau tidak ditahan karena kalian telah membunuh anak buahku."

"Kalian yang salah karena telah membuat kekacauan di tempat ini."

"Oh, kalau begitu ... aku akan menyeret kalian ke Kantor Polisi. Ingat, karena jasaku mereka tidak melakukan itu."

"Jasamu?"

Laki-laki itu mencoba mendekati Nyonya Win Feng. Jelas para warga menahan tubuhnya. Sebuah pedang diarahkan ke wajah laki-laki itu.

"Tuan, aku menyesal tidak membunuhmu saja waktu itu," Nyonya Win Feng mengemukakan kebencian pada laki-laki bertopi di hadapannya.

"Oh, memangnya kau punya nyali untuk membunuhku?"

"Jujur, aku tidak punya nyali untuk membunuhmu. Tapi, aku punya nyali untuk membuat hidupmu sengsara."

Laki-laki berwajah Eropa itu malah tertawa mendengar ancaman Nyonya Win Feng, "hahaha!"

Semua warga semakin terlihat lebih dekat dengan kereta kuda. Mereka berjalan perlahan ke arah dua orang yang sedang berseteru. Bersiap untuk melakukan sesuatu jika diperlukan.

Namun, orang yang dianggap sebagai ancaman malah membalikan badan. Dia bermaksud pergi.

Kereta kuda sudah bersiap untuk berjalan. Kusir memegang tali kekang. Seorang pengawal membuka pintu kereta.

"Nyonya, katakan pada suamimu untuk segera membayar utangnya. Kalau tidak, lihatlah ... mereka berdua bakal tinggal nama," laki-laki itu masuk ke kereta kuda sambil menunjuk 2 orang yang sedang berbaring.

Mereka berdua berbaring di lantai kereta. Dengan tangan terikat serta kaki yang terbelit tali, mereka sungguh tak berdaya. Terlebih, mulutnya ditutup oleh sehelai kain.

"Hei, kalian ... tenang ...," Nyonya Win Feng kaget ketika menyaksikan 2 orang yang sedang berbaring. Dia sangat mengenal orang-orang itu. Bagaimana tidak, kedua orang itulah yang selalu membantu suaminya bekerja di Rumah Jagal. Sialan, orang ini menahan pegawai suamiku.

"O, ya Nyonya. Saya juga ingin mengembalikan ini," si tamu melemparkan sesuatu ke arah Nyonya Win Feng. "Itu cangklong milik suamimu kan? Aku menemukannya di rumah jagal."

Panca dan Prahara Rumah JagalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang