36

38 15 0
                                    

Asih masuk ke dalam kamarnya. Dia duduk di ranjang besi yang telah ditempatinya sejak lahir. Matanya menatap ke luar ketika jendela terbuka lebar.

Seekor burung gereja hinggap di jendela. Mungkin dia mencari tempat yang nyaman untuk bersarang. Si burung terlihat menggigit sehelai rumput. Rumput yang dijadikan bahan untuk membangun sarang. Di paruhnya, sehelai rumput itu nampak bergoyang-goyang terhembus angin.

Namun sayang, burung gereja itu harus menelan kekecewaan karena di kamar itu ada seseorang yang sedang termangu. Kenapa sekarang ada orangnya, padahal kemarin-kemarin ruangan ini kosong. Si burung kembali terbang menjauh dari jendela.

Asih tidak heran dengan kelakuan burung mungil itu. Wajar si burung menyangka jika kamar itu tidak berpenghuni. Karena hari-hari sebelumnya, Asih tidak menempati kamar itu. Dia lebih sering pergi meninggalkan rumah.

"Neng, makanan sudah matang," ternyata seseorang membuyarkan perhatian Asih.

"Iya Bi, nanti saya menyusul."

Asih kembali memperhatikan seisi kamar. Kamar yang bagus, sebenarnya. Bagus bila dibandingkan dengan milik tetangga-tetangganya. Berdinding tembok, dengan langit-langit tinggi mengikuti tren rumah orang-orang Eropa. Jendela jelusi hampir sama dengan tinggi badan pemiliknya. Dilengkapi lemari berbahan kayu jati. Sangat kuat dan anti maling, biasanya. Di sudut dekat jendela, ada sepasang kursi dan meja untuk kegiatan membaca dan menulis.

Kamar seperti itu hanya dimiliki oleh orang-orang kaya atau keluarga Eropa yang baru punya anak remaja. Bagi warga desa, apa yang terdapat di rumah keluarga Asih adalah barang mewah. Semua orang tahu itu.

Namun, semua perlengkapan itu tidak lagi memiliki makna ketika Asih menghadapi kemelut dalam pikirannya. Kejayaan keluarganya hanya tinggal cerita. Asih sadar akan hal itu.

Aku bukan Asih yang dulu.

Batinnya menegaskan siapa dirinya kini. Dia menatap cermin yang tergantung di dinding. Sambil menyisir rambutnya, dia terus memandangi wajahnya yang semakin terlihat memucat. Tak terawat.

Guratan di bawah pelupuk matanya semakin jelas terlihat. Pertanda jika mata itu lelah. Lelah melawan kerasnya kehidupan.

Gadis bertubuh mungil itu menggelung rambutnya. Tusuk konde warna hitam setia menghiasi rambutnya yang panjang sepinggang. Tanpa riasan, Asih lebih senang menghiasi dirinya dengan baju berwarna gelap. Tidak menyolok perhatian. Terlebih, dia sudah lama tidak menggunakan kebaya yang tersimpan rapih di lemari. Kini, baju pangsi tanpa motif lebih sering dikenakan.

Setelah meletakan sisir di meja, Asih membuka lemari. Dia mengambil sebuah kotak kecil.

Kotak berukuran tidak lebih dari sejengkal tangannya. Berbahan kayu dengan ukiran di tepi. Warnanya cokelat alami tanpa cat warna-warni. Sedikit lebih gelap dari perabotan di kamar itu.

Kasihan Panca, aku harus mengorbankan pertemanan demi benda ini.

Asih duduk di meja, dia memandangi isi kotak itu. Sinar matahari yang masuk ke jendela membantu memperjelas apa yang tersembunyi di dalam kotak.

Cukup lama matanya tertuju pada benda berwarna biru di dalamnya. Ukurannya tidak lebih besar dari biji kemiri.

Maaf Panca, sekali lagi aku berbohong padamu.

Asih menghela nafas. Gadis itu menyenderkan punggungnya di kursi. Matanya beralih memandang ke luar jendela. Ranumnya pohon rambutan menggoda dia untuk segera memetiknya.

Asih tersenyum. Entah tersenyum pada siapa.

"Assalamu'alaikum!"

Senyuman Asih teralihkan oleh suara seseorang yang mengucapkan salam.

"Sampurasun!"

Asih merasa kenal dengan suara itu. Buat apa anak itu datang lagi?

"Asih, cepat keluar! Kita harus bicara!"

Suara orang itu meninggi. Asih pun tahu apa yang harus dilakukan.

Gadis itu menutup kotak kayu yang tergeletak di meja. Dia membawa tas selempang yang sudah disiapkan dekat jendela. Tanpa berpamitan pada siapa pun, Asih naik ke atas jendela kemudian melompat ke luar.

Dia berlari ke arah kandang kuda. Pergi.

Panca dan Prahara Rumah JagalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang