Tuan Anthony gusar ketika tahu ada seseorang yang membocorkan pesan rahasia dari rekan bisnisnya di luar negeri. Dia mengira jika pembocor rahasia itu adalah seorang petugas di Kantor Pos dan Telegraf.
Untuk itu, laki-laki Eropa itu bergegas berkuda menuju pusat kota. Dia hendak menuju Kantor Pos dan Telegraf. Dengan langkah kuda yang pelan, penunggangnya berharap dia bisa menemui siapa orang yang dimaksud.
"Tuan, ada yang bisa kami bantu," seorang petugas kantor itu menyapa Tuan Anthony di pintu utama.
Setelah turun dari kuda dan menyerahkan kudanya pada seorang bujang, pria itu berjalan dengan langkah tegap. Laki-laki itu memasang wajah penuh amarah ketika tiba di depan lobi kantor.
"Saya ingin bertemu dengan pejabat ...."
Tuan Anthony belum menyelesaikan kalimatnya. Kata-katanya terpotong oleh kedatangan seorang lelaki Eropa berpakaian serba putih. Laki-laki itu menyapa Tuan Anthony dengan senyuman mengembang dari bibirnya. Kumis pirang pria itu terlihat bergerak-gerak seperti seekor ulat bulu yang disentuh tangan.
"Tuan, selamat datang di kantor kami."
"Hei, aku sedang tidak ingin berbasa-basi."
Si Direktur merasa terkejut dengan sikap tamunya. Sepertinya dia datang bukan untuk mengirim surat.
"Ada apa gerangan Tuan datang ke mari?"
"Dengar, apakah kau yang membocorkan pesan untukku?"
Si Direktur mengerinyitkan dahi. Baginya, pertanyaan dari Tuan Anthony sebuah pertanyaan yang aneh. Sudah sekian lama dia bertugas di kantor itu tapi baru kali ini ada orang yang bertanya seperti penuh kecurigaan.
"Tuan, mari kita bicarakan di ruangan saya."
"Tidak perlu. Aku ingin diselesaikan di sini."
"Tuan, di sini terlalu banyak orang. Kalau menurut Tuan ini penting, sebaiknya kita bicarakan di ruangan saya. Berdua."
Tuan Anthony akhirnya menuruti kemauan Si Direktur. Mereka berdua berjalan menuju sebuah ruangan di ujung koridor. Dengan pintu kayu tanpa pernis, ruangan itu terasa menyejukkan untuk ukuran sebuah kantor urusan komunikasi.
"Langsung saja, saya hanya ingin tahu kenapa kau membocorkan pesan untukku kepada orang lain?"
"Bocor bagaimana, Tuan? Kami mengirim isi pesan dalam amplop tertutup."
"Ada seseorang yang tahu isi telegram untuk saya."
"Kami menjamin kerahasiaan isi telegram siapa pun. Lagipula, Tuan ... tidak ada sesuatu yang spesial dengan isi telegram untuk anda."
"Kau tahu isi pesannya."
"Tentu saja. Kami harus mengganti sandi-sandi morse ke dalam bentuk tulisan latin. Dan, kami membaca pesan Tuan."
Tuan Anthony berpikir sejenak. Dia hanya mengamati dinding ruangan itu yang penuh dengan foto monokrom diantara dinding putih tanpa hiasan lain.
"Kenapa Tuan berpikir kami membocorkan isi telegram?"
Tuan Anthony tidak menjawab.
"Apakah rencana Tuan berantakan?"
"Kenapa kau bertanya begitu?"
"Pasalnya, kami mengira isi telegram itu sebagai sebuah rencana. Rencana besar. Tapi, tenanglah Tuan. Kami tidak ingin mengetahui apa rencana Tuan."
Tuan Anthony kembali tidak berkenan menanggapi.
"Rahasia anda aman di tangan kami. Karena, isi telegram itu penuh dengan sandi ... teka-teki ... kami tidak memahami apa maksudnya. Tuan, justru anda seharusnya mencurigai orang-orang yang mungkin bisa memahami isi telegram itu."
Tuan Anthony terlihat kaget ketika memahami apa yang dimaksud Si Direktur.
"Dan, satu hal lagi Tuan. Kami diawasi juga oleh pihak intelejen. Anda harus berhati-hati dengan mereka. Isi telegram untuk anda dibaca oleh mereka. Diteliti."
Tuan Anthony menatap Si Direktur dengan tatapan nanar.
"Dan, mereka mulai curiga ada sesuatu yang aneh dengan isi telegram itu."
Tuan Anthony mulai terlihat gusar. Ingin sekali rasanya dia membentak orang itu. Mengobrak-abrik kantornya karena kata-katanya terdengar mengancam.
"Jadi, kau mau apa?"
"Saya tidak meminta apa-apa, Tuan. Saya hanya tidak ingin dituduh sebagai pembocor rahasia. Itu melanggar kode etik. Ingat, justru orang yang paham akan kode-kode dalam telegram itu yang bisa membocorkan rahasia anda, Tuan."
"Tidak ada yang paham kecuali aku."
"Anda yakin?"
Tuan Anthony tidak mau menjawab pertanyaan itu. Dia langsung beranjak. Membuka pintu kemudian pergi tanpa pamit.
Si Direktur menatap Tuan Anthony dengan penuh rasa percaya diri. Percaya diri jika dia bisa menjalankan tugas dan tidak mudah ditekan oleh siapa pun.
Setelah tamunya pergi, Si Direktur menatap ke arah laci meja kerjanya. Dibukalah laci itu dengan tangan kanan. Dia mengambil sehelai kertas. Tertulis sesuatu yang menjadi perhatiannya selama beberapa hari terakhir.
Dia membaca tulisan di kertas. Sebuah salinan isi telegram yang dicetak dengan tinta hitam.
Ikan besar datang dengan 222 Kilogram kacang merah di perutnya.
Si Direktur tersenyum kecut, sejak kapan Tuan Anthony berbisnis ekspor-impor ikan dan kacang merah?
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Prahara Rumah Jagal
AcciónSleeerrrr .... Darah mengalir dari tenggorokan. Tidak, bukan hanya mengalir. Darah itu muncrat ke berbagai arah. Membasahi orang di depannya, membasahi lantai bahkan melumuri golok di tangannya yang besar. Orang itu tidak pernah tega dengan korbann...