Benda yang diperebutkan kedua belah pihak itu ternyata masih belum jelas wujudnya. Kini, benda itu terbungkus rapi oleh kapsul berbahan karet. Bentuknya seperti sebutir peluru seukuran pisang. Atau, seperti pisang yang lebih mirip peluru.
Masalah baru timbul ketika Koswara kebingungan bagaimana membuka kapsul yang membungkus benda di dalamnya. Di bagian tengahnya, ada deretan angka yang diduga sebagai kunci berkode. Dan, tidak ada satu pun yang tahu kodenya!
"Aku pikir, hanya pemesan yang tahu kode itu," Tuan Win Feng memberikan kesimpulan.
"Bila salah memutar kode yang ada di benda ini, besar kemungkinan tidak bisa dibuka selamanya," Koswara berpikir untuk berhati-hati.
Dari sekian orang yang ada di sana, nampaknya hanya Koswara dan Tuan Win Feng yang paham arah pembicaraan mereka. Panca maupun Asih apalagi anak buah Koswara tidak mengerti apa yang dimaksud.
"Pemesan? Siapa pemesan?" Asih bertanya penasaran.
Koswara melirik ke Asih, "kau tidak perlu tahu."
"Hah, kau kebingungan Koswara. Ingat, sudah menjadi tugasku menemui 'pemesan'. Jika kau yang menemui dia, maka dia akan menaruh kecurigaan padamu. Dan, kau bisa mati."
"Ah, aku tidak takut mati. Aku sendiri yang akan membuka barang ini."
Panca menarik nafas ketika melihat kedua orang ini berdebat. Dia sulit mengerti kenapa orang yang seharusnya bekerjasama, tapi malah saling bertengkar. Walaupun kerjasama itu dalam kejahatan.
"Hei, kalian yang sedang bertengkar!" Panca bicara dengan nada sedikit tinggi, "sadarlah!"
"Apa maksudmu, bocah ingusan?" Koswara kembali membentak Panca.
"Paman ...."
"Ha, kau masih memanggilnya 'paman' padahal dia sudah berbuat jahat padamu," Asih menimpali.
Panca menatap Asih. Dia mengedipkan kedua matanya.
"Hei, kalian ... apakah kalian yakin jika barang yang ada di dalamnya itu adalah barang berharga?"
"Tentu saja."
"Apakah lebih berharga dari seekor sapi milikku yang telah jadi bangkai?"
"Tentu saja!"
"Bagaimana kalian yakin?"
"Si Pemesan bilang begitu."
"Kalian sudah mendapatkan upah dari hasil kerjanya?"
Tuan Win Feng menggelengkan kepala. Begitu juga Koswara.
"Kalian pasti dibohongi ... kalian dimanfaatkan."
"Ahh, bocah ingusan ... kau berusaha mempengaruhiku ... aku tidak tergoda ."
"Dengar Paman, Si Pemesan yang kalian maksud mungkin hanya mengirimkan sesuatu yang tidak terlalu berharga ...."
"Hei, ke mana arah pembicaraanmu?"
"Paman, mereka jaringan lintas negara. Mungkin mereka hanya berkirim pesan rahasia."
"Bukan barang berharga? Bukan ...."
Asih menatap Panca. Gadis itu merasa setuju dengan Panca. Dia tidak berani menyela.
"Saya memperhatikan pembicaraan kalian. Sebenarnya ini masalah sederhana."
"Ah kau ... merasa ...."
"Dengarkan dulu anak ini," Tuan Win Feng menyela.
"Begini, sapi ini datang dari Australia. Seseorang memberinya makan ... atau memaksanya untuk makan benda ini ... dan ... tugas kalian hanya ... mengambilnya dari usus sapi nomor 123."
Semua orang memperhatikan Panca.
"Lalu, kenapa Paman saling berebut benda ini. Padahal tugas kalian begitu sederhana."
"Kalian tamak ...," Asih menyela dengan wajah penuh ironi.
"Kalian menyangka itu adalah barang yang berharga. Ya, mungkin itu berharga bagi Si Pemesan. Tapi, buat kalian?"
"Aku yakin ini barang berharga. Buktinya mereka mau susah-susah menyelendupkannya ke negeri ini."
"Berharga? Bagaimana bila di dalamnya hanya berisi sehelai kertas yang sekedar berisi pesan?"
"Kertas? Kau berpikir ini hanya sehelai kertas?"
"Paman, di Hindia Belanda ... sehelai kertas seperti surat tanah ... bisa sangat berharga dan diperebutkan orang."
"Karena bukan kertasnya yang berharga ... tapi makna tersurat dari tulisan di atas kertas itu," Asih menambahkan.
Sebenarnya Koswara tahu jika Panca bukan anak remaja yang bisa dianggap remeh. Kata-kata yang keluar dari mulutnya bisa saja sebuah kebenaran. Tetapi, bagi laki-laki itu sudah menjadi resiko jika kerja kerasnya tidak menghasilkan apa-apa. Bagi dia, dunia gelap yang dijalaninya memang penuh resiko. Dan, itu harus diterimanya.
"Hei, aku tahu kau siapa. Makanya, aku melibatkanmu," Koswara tersenyum, "kata-katamu akan kupertimbangkan."
Laki-laki itu memasukan benda yang dipegangnya ke dalam ikat pinggang di balik celana. Dia langsung memberikan aba-aba untuk pergi. Semua anak buahnya turut serta berjalan meninggalkan 3 manusia yang tertawan di hadapannya.
Tanpa permisi, Koswara dan komplotannya pergi dengan menunggang kuda. Tubuh mereka hilang diantara semak-semak dan rindangnya pepohonan. Bagi Panca, kejadian ini semakin mengundang teka-teki yang belum tuntas terjawab. Dia terus memandangi iring-iringan manusia yang baru saja meninggalkannya sambil memikirkan sesuatu.
"Apalagi yang kau pikirkan? Mereka sudah pergi. Sudah saatnya kita pun pergi," Asih berusaha membuka ikatannya sambil terus mengorek isi pikiran temannya.
"Aku hanya heran, kenapa mereka melibatkanku."
"Entah kebetulan atau tidak, sapi milikmu sakit. Kemudian ditukar dengan sapi bernomor 123, mereka mengikutimu hingga keluar dari Batavia. Dan, disinilah mereka menyembelih sapi malang ini," Tuan Win Feng mencoba menjelaskan.
"Ya, tapi itu tidak menjawab kenapa mereka melibatkanku."
"Sudahlah, tidak usah dipikirkan terlalu dalam. Hal terpenting, mereka tidak membunuh kita," Asih akhirnya berhasil membuka ikatannya.
Panca masih belum berusaha melepaskan ikatan di tangan dan kakinya. Anak remaja itu masih sibuk dengan pikirannya sendiri.
"Hei, kau sendiri kenapa bisa berpikir jika benda itu hanyalah pesan belaka. Bukan barang berharga?" Tuan Win Feng bertanya penasaran.
"Ah, saya hanya menduga."
"Aku jadi berpikir jika aku ... bersikap bodoh. Andai saja itu benar, aku tidak akan bertaruh nyawa untuk merebut benda itu dari mereka, he."
Tuan Win Feng menggelengkan kepala. Dia merasa lucu dengan kelakuannya sendiri.
"Tuan, lantas apa yang akan kau lakukan selanjutnya?" Asih bertanya rencana orang di hadapannya.
"Tentu saja pulang. Kembali berdagang daging seperti biasanya. Sepertinya aku kapok berhubungan dengan komplotan penyelundup itu."
"Siapa mereka?"
"Ah, kalian tidak perlu tahu. Hal terpenting kalian tidak mendapat petaka. Selamat."
"Ya, saya berharap begitu."
"Tapi, Tuan ... kau yakin jika Si Pemesan tidak menagih pesanan mereka?" Asih meyakinkan Tuan Win Feng.
"Ah, nanti saja itu kuurus."
"Ya, saya percaya. Tapi, bagaimana jika mereka menemui anak dan istrimu?" Panca sekedar bertanya tetapi Tuan Win Feng memaknainya berbeda.
Tuan Win Feng menatap Panca, pikirannya tertuju pada satu kesimpulan: mereka dalam bahaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Prahara Rumah Jagal
ActionSleeerrrr .... Darah mengalir dari tenggorokan. Tidak, bukan hanya mengalir. Darah itu muncrat ke berbagai arah. Membasahi orang di depannya, membasahi lantai bahkan melumuri golok di tangannya yang besar. Orang itu tidak pernah tega dengan korbann...