64

40 14 0
                                    

Wiiiuuiwiit!

Panca mendengar suara seseorang bersiul dari atas kapal. Suara itu sebagai kode untuk segera bertindak.

"Lakukan sekarang, Raden!"

Regu pendayung siap kembali bekerja.
Tapi, Panca tidak bisa melanjutkan pekerjaan.

"Bagaimana dengan Paman Koswara dan yang lainnya?" Panca sulit menentukan keputusan.

Anak remaja itu sudah kehilangan Koswara. Dia tertembak kemudian tercebur ke laut. Tuan Win Feng masih bergumul di kapal patroli yang mendekat. Laki-laki Cina itu benar-benar nekat melompat ke dek kapal patroli dan berkelahi dengan petugas yang ada di dalamnya.

Sedangkan orang yang bersiul itu pasti Asih. Dia sudah menemukan sapi yang dimaksud.

Masih dalam kegelapan, tanpa lampu penerangan, seekor sapi diturunkan oleh 4 orang laki-laki dari atas kapal. Sapi itu terlihat meronta-ronta. Dia panik. Terdengar jelas dari lenguhan hewan itu. Dia enggan untuk diajak pergi.

Tapi, rencana harus berjalan sebagaimana mestinya.

Panca tidak bisa melihat dengan jelas bagaimana seekor sapi diangkat melintasi pagar dek kapal ternak. Hal yang dia lihat hanya benda berukuran besar meluncur menuruni tangga.

Dreeekkk, kaki sapi menghentak lantai perahu yang terbuat dari kayu.

Dengan cekatan, Panca menutup kandang yang terpasang di perahu. Sebuah kandang yang cukup kokoh. Dibuat dari balok kayu, dilengkapi pintu berengsel dan dikunci dengan gerendel besi.

"Berangkat sekarang, Raden?"

"Jangan sekarang, yang lain belum turun."

Panca tidak bisa memberi perintah kepada regu pendayung untuk segera mendayung. Tuan Win Feng masih ada di kapal patroli, Asih dan 5 kawannya belum turun dari kapal ternak.

Panca kebingungan.

"Lihat, Tuan Win Feng masih bergumul dengan petugas patroli," Panca memberi tahu regu pendayung.

Hampir 1 menit Panca menunggu. Bukannya mendapat kabar baik, lampu kapal patroli malah menyorot perahu.

"Merunduk!"

Lampu tersorot dari arah kapal patroli. Biasanya, itu dimaksudkan untuk mengetahui kapal yang sedang diperiksa. Tapi, kali ini lampu disorotkan untuk menerangi target yang akan ditembak.

Dor!

Suara tembakan terdengar. Sekaligus, suara teriakan terdengar, "arrghhh!"

Panca kebingungan. Siapa yang terkena tembakan?

Ternyata, salah seorang pendayung tertembak di kepala. Panca pun merangkak menghampiri orang yang tertembak. Tidak terlihat bagaimana luka menganga begitu menyakitkan bagi orang yang tertembak.

"Raden, teruskan ...."

Hanya kalimat itu yang terdengar. Panca kaget ketika orang yang terluka itu bangkit. Dia memegang tangan Panca, kemudian menjatuhkan tubuhnya ke laut.

"Paman, jangan lakukan ... itu ...."

Panca sulit menerima cara berpikir orang yang baru saja menyeburkan dirinya ke laut. Dia bunuh diri. Tapi, membunuh diri sendiri dengan alasan yang tidak tersampaikan.

Mungkin sekali dia tidak mau membebani kawannya. Ketika tubuh terluka dan tidak bisa berbuat banyak, maka kematian lebih baik baginya.

Ketika seseorang terluka, terlebih luka di kepalanya, maka ketika tubuhnya tercebur ke laut dapat dipastikan nyawanya tidak tertolong. Dia tenggelam karena tidak sanggup berenang. Kecuali, keberuntungan menghampiri orang itu.

"Hei, angkat tangan kalian!" petugas patroli memberikan peringatan.

Panca masih merunduk dan tidak bisa memberikan tanggapan.

"Raden, ada 2 pucuk senapan di sini. Gunakan saja," seseorang diantara regu pendayung memberikan saran.

"Sulit, Paman. Lampu kapal mengarah pada kita. Cahayanya menyilaukan," Panca mengemukakan alasan.

"Lampunya harus kita bidik."

"Jangan, Tuan Win Feng masih ada di sana. Kita bisa salah sasaran."

Panca berpikir keras sambil meraba-raba setiap bagian perahu. Tangannya menemukan sesuatu. Setumpuk bambu.

Bambu berukuran sekitar 2-3 meter. Sengaja dibawa untuk persediaan jika dibutuhkan. Dengan mantap, Panca memegang salah satu bambu itu kemudian dia melemparkannya ke arah kapal patroli.

Piuunggg, seperti lembing, bambu itu melayang di udara. Dan, brakk, benda itu menyentuh lampu kapal.

Sialan, tidak berhasil.

Sekali lagi, brakk, sebatang bambu memecahkan lampu kapal patroli. Sontak, permukaan laut menjadi sangat gelap. Tidak ada sumber cahaya sedikit pun.

Berhasil.

Tidak lama setelah lampu padam, terdengar seseorang terjatuh ke laut. Byuur. Mungkin sekali petugas patroli terjatuh ke laut. Atau, mungkin juga Tuan Win Feng yang terjatuh ke laut. Panca hanya bisa menduga-duga.

"Raden, bagaimana? Kita pergi sekarang?"

Panca berpikir keras. Anak remaja itu benar-benar diserahi tugas berat. Dia harus memimpin komplotan perampok tanpa bekal pengalaman bagaimana seharusnya menjadi perampok.

"Tapi, Asih dan yang lainnya belum turun dari kapal."

"Mungkin mereka ... dijegal."

Panca pun berpikir begitu. Dia masih bertanya-tanya kenapa Asih dan kawanannya belum turun dari kapal ternak. Sangat mungkin mereka mendapatkan rintangan.

Bagi Panca, ini suasana mencekam dan membingungkan.

"Raden, sekarang kau pemimpinnya," seseorang mengingatkan.

Dalam pikiran anak remaja itu, terlintas perkataan Koswara jika dia mewakili laki-laki itu dalam aksinya kali ini. Kini, Koswara tidak ada di atas perahu. Dan, seekor sapi telah siap untuk dibawa pergi. Artinya, dia harus memilih antara menunggu semua kawanan berkumpul atau pergi bersama regu pendayung.

"Baiklah, lepaskan tangga, kita pergi sekarang!"



Panca dan Prahara Rumah JagalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang