20

45 17 0
                                    

Gaun yang indah nampak berputar ketika para wanita berdansa. Ujung-ujung jas berekor panjang bergoyang ketika dikenakan para pria. Musik pun mengiringi gerakan lincah pasangan-pasangan yang sedang berdansa.

Suara biola yang digesek dengan lengkingan khas daratan Eropa membuat suasana pesta terasa romantis. Dan, tentu saja dentingan senar piano membawa irama nan indah membawa orang-orang di aula itu untuk  mengurangi rasa rindu pada tanah leluhur. Hentakan kaki di lantai dansa terdengar seperti irama tambahan bagi penikmat kemewahan.

Mereka yang berpesta tidak peduli pada apa yang tengah terjadi di luar gedung. Mungkin, bagi mereka dunia yang luas di luar sana terlalu buas untuk dipikirkan apalagi dilawan. Dan, inilah saat-saat yang tepat untuk saling melupakan masalah di negeri jajahan yang tak kunjung usai.

Diantara keriuhan pesta, ada seseorang yang tidak bisa menikmati kesenangan sebagaimana tamu yang lain. Alunan musik, wanita cantik atau hiasan langit-langit gedung nan indah tidak sanggup menghiburnya.

Ke mana orang-orang itu, malam sudah larut tapi mereka belum kunjung datang.

Pakaian rapih nan berkelas yang dikenakan laki-laki itu ternyata membuatnya semakin tidak nyaman. Dia sesak jika terus mengenakan dasi pita di leher. Tapi, saat itu adalah pesta dansa dengan para pembesar negeri. Dia tidak mau berpenampilan memalukan. Terpaksa rapih demi citra baik di depan para tamu.

Tangan kanan laki-laki bertubuh tinggi itu memegang segelas wine sekedar memperlihatkan jika dia pun menikmati pestanya. Rambut pirang yang sedari awal disisir rapih nan klimis, perlahan lepek karena keringat mulai membasahi kulit kepala. Dia mulai lelah berpikir.

"Tuan, ada seseorang yang datang," seorang pengawal menghampiri laki-laki itu kemudian membisikan sesuatu.

"Siapa?"

"Sepertinya Tuan harus segera meninggalkan pesta."

Akhirnya, ada alasan bagiku untuk meninggalkan kemunafikan ini. Laki-laki itu sudah tidak tertarik lagi dengan senyum dan sapa yang terasa palsu. Ketampanan dan kemapanan kaum laki-laki yang dipertontonkan terkadang memuakan. Rambut-rambut digelung rapi berhiaskan pita berwarna pastel belum sanggup mencerahkan suasana hatinya. Kini, dia merasa ada alasan untuk meninggalkan pesta dan kembali pada dunianya yang sejati. Pertarungan gengsi.

"Saya permisi," laki-laki itu tersenyum  sambil menyimpan gelas yang dipegangnya di nampan seorang pelayan.

"Hendak ke mana, Tuan. Pesta belum usai."

"Oh, tidak akan lama. Saya akan kembali."

Seorang pria tambun berkumis tebal bertanya kenapa si empunya pesta harus mengundurkan diri. Tentu saja tidak pas rasanya jika si punya hajat tidak ada di tempat.

Laki-laki itu berjalan diantara suara berisik seorang wanita muda yang tertawa cekikikan. Ketika melihat seseorang memperhatikan caranya tertawa, wanita itu menutup giginya dengan kipas berwarna putih pucat.

Dari jarak beberapa langkah, nampak di ambang pintu sesuatu yang membuatnya jengkel. Siapa yang berani merusak pestaku?

"Tuan, beri kami waktu."

Seseorang memohon sambil merapatkan tangan.

Orang itu berbaju changsan tapi bukan untuk ikut serta dalam pesta. Lusuh.

"Oh, ternyata kau datang sebelum waktunya."

Pengawal tidak sempat menahan orang itu. Mereka saling kenal, ada alasan kuat tamu tak diundang itu untuk menerobos barikade. Tentu saja, kedatangannya mengundang perhatian.

"Tuan, pesanan Anda ada di tangan orang itu."

Si tuan rumah melihat ke arah pinggir jalan raya. Serombongan laki-laki berkuda tampak menunggu. Mereka masih duduk di pelana kuda masing-masing.

"Terus?"

"Jadi, saya minta anda mencabut segala tuntutan. Tugas saya sudah selesai. Tidak dibayar pun tidak apa-apa."

Si tuan rumah berdiri di beranda. Laki-laki itu masih dikelilingi beberapa orang  pengawalnya untuk berjaga-jaga bila terjadi sesuatu di luar perkiraan.

"Ingat, Tuan Win Feng. Saya memesan sesuatu pada anda ... dan saya hanya menginginkan barang itu ada di tangan saya."

"Jadi ...."

"Selesaikan terlebih dahulu urusan kalian berdua."

Laki-laki berambut pirang itu berlalu meninggalkan Tuan Win Feng. Dia merasa tamunya akan merasa terganggu jika pestanya harus direcoki oleh urusan yang tidak terlalu penting. Para pengawal yang sedari tadi siap dengan senjatanya, tidak segan menodongkan senapan ke arah kepala Tuan Win Feng.

Sontak, pria Cina itu memilih mundur dan tidak memaksakan diri untuk kembali bernegosiasi. Dia sadar jika sebetulnya dia sendiri yang melanggar kesepakatan. Seharusnya, urusannya bisa selesai jika menyampaikan 'pesanan' tepat waktu. Terlebih, uang muka sudah diterimanya. Dia pun tahu jika pekerjaan ini tidak bisa berhenti di tengah jalan. Sekali tercebur ke sungai, maka tanggung jika tidak berenang hingga ke tepian.

Kali ini, mata Tuan Win Feng tertuju pada seseorang yang sedari tadi tersenyum kecut. Orang itu adalah sosok yang telah membuatnya masuk ke dalam bahaya. Karena dia juga, polisi nyaris mengantarkan pria kelahiran negeri Cina itu menuju penjara.

"Koswara, kembalikan benda itu!"

"Hahaha, Win Feng. Sebaiknya kau pulang. Tidurlah sana. Biar aku yang mengantarkan 'pesanan' pada orang yang sudah memesan."

"Koswara, kau serakah. Aku tahu kau ingin mendapatkan bayaran besar sehingga tidak mau berbagi denganku. Kau malah memfitnahku seakan aku mencuri di Kandang Karantina."

"Kau tidak punya bukti, itu hanya pendapatmu saja."

"Kalau bukan untuk uang bayaran, untuk apa lagi kau berkhianat?"

"O, nanti juga kau tahu. Tapi satu hal yang perlu kau tahu kalau aku tidak membutuhkan uang receh."

"Maksudmu, kau menginginkan hal yang lebih besar dari sekedar bayaran?"


Panca dan Prahara Rumah JagalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang