9

57 22 0
                                    

Panca berlari menuju delman yang ditumpangi oleh Asih. Jarak antara pedati dengan delman itu kira-kira 100 langkah. Membutuhkan waktu beberapa detik untuk bisa sampai di sana.

"Tunggu, Asih! Aku menuju ke sana!"

Kebetulan jalan yang dilalui masih lurus. Hanya pohon pisang, kelapa serta beberapa pohon mangga yang menghiasi kiri-kanannya. Ketika berlari pun, Panca masih berharap ada orang lain yang sama-sama mendengar Asih berteriak.

Tapi, itu tidak terjadi. Jalanan itu sepi.

Setelah beberapa saat, langkah kaki Panca terhenti. Matanya tertuju pada pada Asih. Telah terjadi sesuatu pada gadis itu.

"Paman, apa yang kau lakukan?"

"Panca, kau jangan mendekat ...!" Asih menahan Panca dengan suara lirih.

Tak dinyana, kusir delman itu melakukan sesuatu yang membuat penumpangnya menjadi tidak berdaya. Gadis itu berubah seketika, awalnya terlihat sebagai gadis periang kini berubah menjadi gadis yang penuh ketakutan.

"Hei, Nak. Jika kau tak ingin temanmu ini mati sia-sia ... jangan lakukan apa pun. Diam saja!"

Kusir delman di hadapan Panca berubah menjadi seorang manusia berjiwa iblis. Tangan kasarnya juga melakukan hal kasar yang tidak layak dilakukan manusia beradab. Dia menutup mulut Asih dengan kain kemudian mengikat kaki dan tangannya dengan tali. Nampaknya, tali dan kain itu sudah disiapkan sebelumnya.

"Kau sudah merencanakan ini sejak awal, kan?"

"Hahaha, kau pintar anak muda. Namun sayang, otakmu tak sanggup digunakan untuk berpikir."

Panca memang kebingungan. Dia tidak bisa berpikir cepat, bagaimana menyelamatkan Asih?

"Pergi, atau ... temanmu ini akan mati ...!" Si Kusir berjongkok di depan tubuh Asih yang terbaring lemah.

"Paman, kau boleh meminta apa saja dari saya ... asalkan lepaskan teman saya."

Asih masih mendengar permintaan Panca pada Si Kusir. Tapi gadis itu menolak ide itu. Terdengar suara penolakan dari mulut gadis berkebaya itu meskipun suaranya tidak jelas karena ditutup sehelai kain, "Heeehhhh ...!"

Si Kusir tersenyum mendengar permintaan Panca. Permintaan yang masuk akal. Bagi orang yang bermaksud jahat, ketika kesempatan itu datang maka bisa dipertimbangkan untuk dikabulkan.

"Hei Nak, benarkah kau akan memberikan apa pun untuk ditukar dengan nyawa gadis ini?"

"Ya, Paman. Saya punya 2 ekor sapi dan sedikit uang," Panca mengeluarkan kantong uang dari balik baju.

"Itu tidak cukup."

"Benarkah Paman, tengoklah ... sapi milik saya masih sehat ... salah satunya baru tiba dari Australia."

"Hahahaha!" si kusir malah menertawakan Panca. Ada hal lucu dengan apa yang dikatakan anak remaja itu, "sapi apa? Mana sapinya?"

Panca merasa aneh dengan kalimat yang terlontar dari mulut orang di hadapannya. Dia menoleh ke belakang, dug! Ada sesuatu yang membuatnya semakin tidak karuan.

"Hah, mana sapiku?!"

Panca heran ketika kedua ekor sapi penarik pedati miliknya kini hilang. Entah ke mana gerangan sapi-sapi itu. Ini perampokan, batin Panca menyimpulkan apa yang telah terjadi di hadapannya.

Saat itu suasana memang sedang sepi. Waktu yang cocok untuk melakukan perampokan. Masalahnya, siapa yang telah merampok Panca pun tidak tahu. Tidak ada lagi orang lain di sana selain dia, Asih dan si kusir delman. Apakah kusir itu punya teman?

Dalam waktu sekejap otak Panca harus berpikir demi menentukan apa yang harus dia lakukan. Menolong Asih yang sedang dalam bahaya atau berlari mencari sapi-sapi yang telah dicuri?

"Dasar bocah tolol! Kau malah memikirkan sapi-sapi itu!"

Panca seakan dikecohkan oleh permainan kata Si Kusir. Pikirannya semakin tidak karuan, sulit menentukan mana yang harus didahulukan.

Asih adalah teman lama bagi Panca. Sudah lama sekali dia tidak bertemu. Hari itu seharusnya menjadi hari yang menyenangkan bagi mereka berdua. Tetapi nahas bagi Asih, cerahnya mentari saat itu tidak serta menyinari hatinya yang kelam.

Tubuh gadis itu terlihat meronta-ronta. Panca pun merasakan iba. Tapi, apa daya karena dia tidak mampu menolong.

"Paman, apa yang kalian inginkan?"

Laki-laki penarik delman itu hanya tersenyum kecut. Panca mulai mencium gelagat buruk. Tangan kanan laki-laki itu mulai meraba-raba tubuh Asih. Sedangkan tangan kirinya memegang golok yang diletakan di leher Asih.

"Paman, kalian telah mendapatkan 2 ekor sapi sekaligus. Apa itu tidak cukup?"

"Sebenarnya tujuanku sudah tercapai, tapi ... sayang juga jika aku menyia-nyiakan kesempatan yang ada."

Asih semakin meronta-ronta. Tanpa sengaja, kulit leher gadis itu tergores golok yang tajam. Darah menetes membasahi lantai delman yang terbuat dari kayu.

Panca semakin sulit menentukan langkah. Dia hanya berdiri terpaku sambil mengamati keadaan. Apabila salah dalam bertindak maka nyawa Asih menjadi taruhannya.

Namun, setelah beberapa saat Panca terdiam akhirnya dia menemukan cara untuk menyelamatkan Asih. Keadaan berpihak padanya.

"Bangsat! Kenapa sapinya kabur!"

Panca menoleh ke belakang. Dua ekor sapi yang tadi hilang kini malah berlari kencang ke arah mereka bertiga. Nampak di belakangnya 4 orang mengejar sapi-sapi itu.

"Hei, dasar tolol! Mengurus sapi saja tidak sanggup!"

Seorang laki-laki yang mengejar itu berpapasan dengan Panca sambil berteriak, "ada yang mengganggu kita!" Tangan kirinya menunjuk ke arah seseorang yang sedang berkuda.

Panca tidak tertarik lagi memperhatikan sapi yang kabur. Dia menoleh ke arah berlawanan.

Panca bergumam diantara kebingungan dalam benaknya, "Tuan Win Feng, sedang apa di sini?"

Panca dan Prahara Rumah JagalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang