Asih memang bukan teman akrab bagi Panca. Mereka jarang sekali bertemu. Lagipula, desa tempat tinggal mereka berdua berjauhan. Tapi, kedua remaja itu seakan memiliki ikatan kuat untuk tetap saling berteman. Selalu ada saja momen untuk saling bertemu; walau tanpa disengaja.
Alam memberi mereka berdua waktu untuk saling bertemu; walaupun bukan dalam keadaan yang menyenangkan. Seperti saat ini, Panca mendapati Asih nyaris diperkosa oleh laki-laki hidung belang yang seharusnya melindungi. Tubuh mungilnya hampir saja ternoda. Dan, Panca tidak bisa berbuat apa-apa.
"Kau baik-baik saja, Asih?"
"Aku terluka, Panca. Bagaimana bisa aku baik-baik saja?"
"Maaf, aku panik."
"Untung saja ada orang Cina itu."
"Ya, tapi aku juga bingung entah kenapa dia tiba-tiba saja datang."
"Kau mengenalnya?"
"Dia Tuan Win Feng, aku baru mengenalnya tadi."
"Baru mengenalnya?"
"Dia tukang daging, bermaksud menawar sapi milikku."
"Oh, ternyata dia bersikukuh ingin membeli sapi milikmu."
"Mungkin begitu."
Panca beranjak, kemudian melihat ke sekeliling. Matanya tertuju pada Si Kusir yang kini membantu menangkap seekor sapi. Kini, sapi itu diperebutkan oleh 2 pihak. Di satu sisi ada Tuan Win Feng yang bersiap menangkap kepala si sapi. Di sisi lain ada 5 orang yang dipimpin oleh Si Kusir.
Tuan Win Feng berdiri tenang tepat di depan si sapi. Sedangkan yang lainnya memegang tali untuk mengikat si sapi.
Panca masih belum mengerti ketika melihat keenam laki-laki yang memperebutkan seekor sapi. Si sapi nampak tegang, berdiri di tengah jalan tanah berdebu.
"Ada yang aneh dengan kelakuan mereka, kau merasakannya?" Asih bicara sambil melilitkan kain di lehernya yang terluka goresan golok.
"Ya, mereka hanya mengejar seekor sapi."
"Sapi yang baru kau beli?"
"Lebih tepatnya, aku tukar tambah."
Tidak jauh dari Panca dan Asih sedang berdiri, Tuan Win Feng menggenggam sejumput rumput. Laki-laki Cina itu bermaksud memberi umpan si sapi agar mau mendekat. Hal yang lumrah dilakukan untuk menenangkan seekor sapi yang kabur, maka sejumput rumput dianggap bisa menenangkannya.
Hari itu seekor sapi jantan bisa berubah menjadi seekor banteng. Sapi yang biasa tenang di hadapan pemiliknya, bisa mengamuk tanpa alasan apabila merasa terdesak. Atau, naluri alamiah seekor hewan akan bangkit untuk mempertahankan diri. Dan, Tuan Win Feng tahu itu.
Ternyata si sapi bisa tenang. Hewan itu berpikir jika rumput yang diberikan memang untuk dimakan. Lagipula dia mulai merasa lapar ketika terus dikejar-kejar oleh orang-orang yang baru saja dia kenal.
"Pintar, kau sapi yang pintar," Tuan Win Feng ternyata berhasil mendekati kepala si sapi. Tangan kanan laki-laki itu mengelus kepala hewan memamahbiak itu.
Tapi, itu bukan gelagat bagus untuk Si Kusir dan keempat kawannya. Tanpa disadari Tuan Win Feng, seorang diantara mereka menerjang perut laki-laki Cina itu. Tuinnngg!
Dug, Tuan Win Feng terjatuh dan terpental hingga beberapa langkah. Di kaget sekaligus kesakitan.
"Bangsat! Kalian curang."
Tanpa aba-aba, dua orang komplotan perampok itu melompat ke arah Tuan Win Feng kemudian mengarahkan golok ke leher pria berbaju changsan itu.
"Diam, atau kami tidak segan untuk membunuhmu!"
Ketika Tuan Win Feng tertawan, si sapi pun tertawan.
Panca mulai mencium gelagat tidak baik dengan apa yang disaksikan matanya. Dia merasa kesal ketika 2 ekor sapi miliknya kini berada di tangan komplotan perampok. Dia masih sulit menerima jika harta miliknya harus berpindah tangan dengan cara kekerasan.
Bagi Panca, dirampok di tengah perjalanan adalah kejadian pertama baginya. Ketika harus memilih, apakah merebut kembali sapi itu atau pergi saja dan mengikhlaskan apa yang telah terjadi; maka Panca akan memilih untuk pergi. Begitupula dengan apa yang dikatakan teman perempuan di dekatnya.
"Jika harus memilih, aku memilih untuk pergi."
"Iya, Asih. Aku pun berpikir begitu."
Panca dan Asih saling berpegangan tangan, bermaksud saling menguatkan. Asih merasakan gemetaran tangan Panca, ketakutan.
Asih menggenggam tangan temannya lebih erat. Dia melangkah mundur dan mengajak temannya untuk segera pergi.
Tapi, itu urung dilakukan.
"Kalian mau ke mana?"
Seseorang datang dari arah belakang. Kedua tangan orang itu memegang baju 2 remaja di hadapannya sehingga mereka tidak jadi melarikan diri.
Deg, Panca kaget ketika melihat orang yang menahan langkahnya. Kekagetan Panca bukan karena wajah orang itu menyeramkan. Wajah laki-laki itu terlihat ramah. Bahkan dia tersenyum ketika Panca memasang wajah kagetnya.
Laki-laki itu masih mengenakan baju yang sama seperti saat pertama kali menemui Panca. Kepalanya memakai ikat kepala motif batik sebagaimana dikenakan laki-laki Sunda di Batavia. Dia mengenakan baju dan celana pangsi berwarna abu-abu, bukan hitam seperti yang dikenakan Panca atau komplotan perampok di sekelilingnya.
"Paman, Paman sedang apa di sini?"
"Oh, seperti yang telah saya sampaikan tadi ... saya akan mengambil kembali sapi ini."
"Mengambil? Kau berjanji akan membelinya kembali dengan harga tinggi."
"O, ya. Aku lupa. Hahahaha ...."
Asih masih belum mengerti maksud percakapan kedua orang di hadapannya. Matanya melotot. Roman mukanya justru menampakan ketakutan.
"Panca, siapa orang ini? Kau mengenalnya?"
"Ini Paman Koswara. Penjual sapi ini ...."
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Prahara Rumah Jagal
ActionSleeerrrr .... Darah mengalir dari tenggorokan. Tidak, bukan hanya mengalir. Darah itu muncrat ke berbagai arah. Membasahi orang di depannya, membasahi lantai bahkan melumuri golok di tangannya yang besar. Orang itu tidak pernah tega dengan korbann...