Si Pemesan, itulah orang yang berani mengancam Tuan Win Feng dan keluarganya. Orang yang dimaksud bukanlah warga biasa. Dia bisa melakukan banyak hal di Batavia. Dan, Tuan Win Feng tahu itu.
"Aku menerima tawarannya karena upahnya besar. Itu cukup untuk modal memperbesar usahaku," si suami memberikan alasan kenapa istrinya didatangi orang-orang bersenjata. "Maaf bila urusan ini jadi melibatkanmu."
"Jika resikonya besar, kenapa harus kau terima pekerjaan itu."
"Sebenarnya itu pekerjaan mudah. Si Pemesan itu hanya memintaku untuk menggunakan rumah jagal milik kita. Tapi, ada sedikit masalah."
Tuan Win Feng menarik nafas.
"Sudahlah. Biar aku yang menyelesaikan ini. Kau diam dulu di sini untuk sementara. Besok baru kau pulang ke rumah kita."
"Lalu kau mau ke mana?"
"Malam ini akan ada pekerjaan besar. Aku ... belum tentu pulang dalam waktu cepat."
Istri Tuan Win Feng menatap suaminya. Matanya yang sipit nampak menitik air. Dan, suaminya tahu jika itu adalah air mata kesedihan. Tentu saja sang suami tidak ingin melihat wanita itu berbalut kesedihan ketika dia membutuhkan suntikan semangat.
Bagi Tuan Win Feng, hanya merekalah yang kini dianggap sebagai keluarga. Anak, istri serta kedua mertuanya menjadi orang yang memiliki kekerabatan dengan laki-laki itu. Sedangkan saudaranya yang sedarah, entah di mana dia pun tidak tahu lagi. Dahulu, ketika dia meninggalkan daratan Cina, ditinggalkan semua orang di kampungnya. Karib kerabat serta sahabat, tak pernah berjumpa lagi.
Makanya, ketika ada yang mencoba mengancam keselamatan keluarganya Tuan Win Feng merasakan ketakutan yang tidak biasa. Ketakutan yang tidak dirasakan sebelumnya.
Pasangan suami-istri itu memperhatikan anaknya yang sedang tidur di ranjang. Bayi itu terlelap sebagaimana biasanya. Ketika orang dewasa penuh dengan kekalutan, seorang bayi hanya akan tertidur lelap tanpa menghiraukan sekelilingnya.
"Anak kita lucu sekali. Aku selalu merindukan pipinya yang tembam," si suami tersenyum ketika melihat anaknya.
"Ya, sepertinya dia berharap malam ini bisa tidur bersama ayahnya."
"Nak, Ayah berjanji jika malam ini akan tidur bersamamu."
"Kau tidak usah berjanji padanya, dia akan sedih apabila kau tidak bisa menepatinya."
"Hehhh!" pria itu menghela nafas panjang, mencoba menenangkan pikirannya.
Tuan Win Feng berjalan ke arah jendela. Dia berdiri di dekatnya kemudian menatap cakrawala. Dari kamar di lantai atas, cakrawala masih bisa terlihat indah. Di balik atap-atap berbentuk prisma terbaring, lembayung menampakan semburat cahayanya.
Semburat itu seakan keluar dari balik awan-awan berwarna abu. Bagi yang masih bisa menyaksikan lembayung petang itu, kesejukan jiwa turut serta menghampiri.
Tapi, tidak demikian dengan Tuan Win Feng. Lembayung pertanda waktu malam segera tiba. Itu pun pertanda jika waktu baginya semakin sempit. Laki-laki itu harus segera menuntaskan permintaan Si Pemesan; mengantarkan pesanan paling lambat tengah malam nanti.
Mata laki-laki itu tertuju pada deretan rumah bergaya Cina di sekitarnya. Atap dengan ukiran naga terlihat di salah satu atap. Ukiran itu pertanda bangunan yang dinaunginya sebagai bangunan istimewa.
Kemudian dia melihat ke arah jalanan yang memisahkan blok yang saling berseberangan. Hanya ada beberapa orang dengan langkah terburu-buru melintas di jalanan itu. Tetapi, ada beberapa hal yang membuat jantung Tuan Win Feng berdebar. Ada beberapa ekor kuda tengah berlari ke arah rumah itu.
Sialan, polisi itu datang ke mari. Tuan Win Feng merasa kebingungan.
Lima kuda berhenti tepat di depan pintu gerbang. Penunggangnya turun dengan tergesa. Nampak sekali jika mereka ingin segera menyelesaikan urusannya.
Dalam hitungan detik, Tuan Win Feng harus segera memutuskan apakah dia harus menemui pria-pria berseragam biru atau kabur menghindari mereka.
"Hei! Jangan lari!"
Terdengar suara teriakan seorang polisi dari arah jalan. Ternyata Tuan Win Feng memutuskan untuk menghindar dari penyelidikan polisi. Dia tahu jika berurusan dengan polisi bisa memperlambat usahanya untuk menemukan Koswara beserta benda 'pesanan' itu.
Tuan Win Feng ternyata belum pintar dalam urusan melarikan diri. Dia bukan penyelinap yang baik. Tubuhnya masih terlihat jelas berjalan di atas wuwungan atap rumah tetangga. Cahaya redup pun belum sanggup membantu menyembunyikan tubuhnya.
Sial, mereka mengetahui pelarianku!
Dengan langkah tertatih, pria itu berjalan diantara lekukan genting rumah. Dia tidak tahu jika genting itu begitu rapuh ketika diinjak. Beban berat tubuhnya setidaknya bisa membuat retak benda di bawahnya.
Dan, si empunya rumah merasa jengkel ketika mendengar ada suara gemeretak di atap rumah. Dia keluar kemudian memeriksa apa yang tengah terjadi. Seorang wanita tua merasa kaget ketika ada orang sedang berjalan tertatih di atas atap.
"Hei! apa yang kau lakukan di atas sana?"
Pertanyaan itu segera terjawab ketika ada sekelompok polisi berseragam biru yang berteriak, "dia pencuri! Tangkap!"
"Bukan! Aku bukan pencuri! Polisi itu salah paham."
Tuan Win Feng baru kali ini merasakan bagaimana rasanya dikejar massa. Dia merasa menjadi manusia paling berdosa di dunia. Terbayang dalam pikirannya jika massa bisa menjadi hakim jalanan yang tidak akan banyak bertanya apalagi mempertimbangkan sebuah keputusan. Pencuri bisa mati kemudian mayatnya dibuang ke kali ...
Setiap orang saling berteriak satu sama lain. Tentu saja membuat laki-laki itu panik. Dia merasa terkepung.
Tidak ada tempat untuk bersembunyi. Hanya ada 2 pilihan; pasrah atau terus berlari tanpa menyerah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Prahara Rumah Jagal
ActionSleeerrrr .... Darah mengalir dari tenggorokan. Tidak, bukan hanya mengalir. Darah itu muncrat ke berbagai arah. Membasahi orang di depannya, membasahi lantai bahkan melumuri golok di tangannya yang besar. Orang itu tidak pernah tega dengan korbann...