52

31 11 0
                                    

"Kenapa ... ada apa lagi?"

Nyonya Win Feng turun melalui tangga kemudian berjalan cepat ke arah beranda. Tampak di matanya, seorang laki-laki yang sangat dikenalnya.

"Nyonya, tolong kami Nyonya," laki-laki itu mengiba.

"Duduk, duduklah dulu."

Sebuah kursi diletakan tepat di tengah beranda. Laki-laki itu duduk sambil terus mengiba.

"Anthony menyiksamu?"

"Ya, mereka menyiksa temanku juga."

Wajah orang itu terlihat menyedihkan. Sangat menyedihkan.

Pelipisnya mengucurkan banyak darah. Begitu juga pipinya. Rambut panjang yang sebelumnya teruntun dengan rapi kini berantakan. Bahkan terlihat basah. Basah oleh darah yang mengucur dari sela-sela kulit kepala.

"Bersihkan darahnya!"

Seorang wanita membawa baskom berisi air hangat serta kain. Dengan telaten, wanita itu mengelap darah segar yang mulai mengental di tubuh orang yang sedang dikerumuni oleh tetangga-tetangga Nyonya Win Feng.

"Anthony, harus kita lawan!" seseorang diantara mereka berteriak sebagai bentuk kekesalannya.

"Diam! Jangan mudah terpancing amarah! Justru ini yang diinginkan Anthony. Dia menginginkan kita bertikai dengan orang Eropa. Dan, itu bisa menjadi alasan Pemerintah Hindia Belanda untuk mengusir orang-orang Cina dari Batavia!"

Nyonya Win Feng mencoba menenangkan massa dengan menatap wajah mereka satu per satu. Wajah-wajah yang kelelahan.

"Kalian harus mengerti, jika permasalahan ini bukan hanya permasalahan pribadi. Ini sudah menjadi masalah perebutan kekuasaan. Dan, kita harus mengikuti arahan para tetua. Jangan mudah terpancing amarah. Untung saja polisi tidak menangkapi kalian. Karena mereka tidak ingin Batavia menjadi kota yang banjir oleh darah."

Kini, bukan hanya laki-laki berkulit gelap yang berkumpul di pekarangan rumah Nyonya Win Feng. Para wanita dan sebagian anak-anak berkumpul karena didorong rasa ingin tahu mereka atas apa yang tengah terjadi.

Kedatangan seorang laki-laki bertubuh sedang dengan wajah berlumuran darah membuat warga bertanya-tanya. Terlebih, laki-laki itu dikenal warga sebagai salah satu pegawai di rumah jagal. Apa lagi yang telah terjadi?

"Aku tidak takut pada Anthony, tapi aku takut kalian menjadi korban dari kemelut ini. Ingat, kita datang ke negeri ini bukan untuk menukar nyawa kita tetapi untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Tanah ini menjadi harapan kita."

"Tapi, Nyonya. Harga diri kita harus ditaruh di mana?"

"Aku tahu, harga diri kita sedang diinjak. Tapi, apakah harga diri lebih berharga dibanding nyawa?"

Semua orang yang berkumpul tertegun. Berpikir.

"Anthony orang yang punya kekuasaan di Batavia. Meskipun dia bukan pejabat Pemerintah tapi dia dekat dengan mereka. Dia penguasa sebenarnya dari kota ini. Dia ingin kita terusir dari negeri ini."

Orang yang berkumpul menganggukan kepala. Mungkin mulai mengerti.

"Perhatikan, dia tidak tersentuh oleh hukum. Padahal jelas, tempo hari dia telah membuat kekacauan di rumah ini. Itu terjadi karena dia bisa mengendalikan polisi ... bukan sebaliknya."

Nyonya Win Feng berkata sambil terus menyeka pipinya yang basah.

Wanita tua ataupun anak remaja yang mulai mengerti apa yang tengah terjadi saling tatap. Mereka menganggukan kepala. Sepertinya diantara mereka sadar akan kemampuan masing-masing. Ketika keadaan sedang genting, menuruti pemimpin itu lebih penting.

Ternyata, para tetua yang semula dibicarakan oleh Nyonya Win Feng itu berdatangan. Entah siapa yang memberitahu mereka tentang apa yang tengah terjadi di kediaman wanita itu.

Para tetua adalah sekelompok laki-laki dewasa yang memiliki pengaruh dan kekayaan luar biasa diantara orang-orang Cina di Batavia. Mereka terpilih secara alami oleh warga Cina ataupun sengaja dipilih oleh Pemerintah setempat.

"Selamat pagi, saudara-saudaraku!" seorang laki-laki setengah baya mengepalkan tangan di depan dada sambil memberi salam.

"Selamat pagi, Tuan."

Perhatian tertuju pada sekelompok laki-laki itu. Jumlah mereka tidak lebih dari sepuluh. Berpakaian sangat menyolok. Dengan warna cerah nan rapi, terlihat sekali mereka belum menyentuh barang kotor.

"Silakan masuk, Tuan," si tuan rumah mempersilakan masuk.

"Tidak usah, Nyonya. Di sini saja."

Setelah mendengar itu, Nyonya Win Feng memberikan isyarat untuk mengambil kursi dan meletakannya di beranda. Kursi pun berjejer tepat di depan kerumunan.

"Ceritakan padaku, apa yang terjadi padamu," seorang yang paling tua diantara tetua itu meminta laki-laki yang wajahnya penuh luka untuk berbicara.

"Baiklah, Tuan."

Laki-laki menceritakan bagaimana dirinya disiksa. Bahkan dengan senjata apa dia dilukai.

"Kenapa kau disiksa?"

"Saya ketahuan ... menerima Tuan Win Feng dan Raden Panca bersembunyi di Rumah Jagal. Si Pengawas menemukan cangklong yang dimiliki oleh Tuan Win Feng. Cangklong itu tidak sengaja tertinggal ketika mereka berdua berusaha melarikan diri."

"Jadi, Tuan Win Feng pernah ke Rumah Jagal?"

Laki-laki itu menganggukan kepala, "ya ... malam tadi."

Semua yang mendengarkan menganggukan kepala. Mereka seperti mendapat berita penting ketika setiap orang di Pecinan bertanya-tanya dimana Tuan Win Feng berada.

Karena rasa penasaran sudah terobati. Sang Ketua meminta warga untuk membubarkan diri dan kembali bekerja sebagaimana biasanya. Sedangkan laki-laki yang tengah terluka, diminta untuk diantarkan ke rumahnya. Sedangkan para petugas jaga, bisa beristirahat sambil menikmati sajian di depan tembok pekarangan di bawah pohon mangga.

"Nyonya, kuncinya ada di Tuan Win Feng. Menurut kami, Tuan Win Feng harus segera menemui Tuan Anthony. Meskipun, dia belum bisa memenuhi kewajibannya. Setidaknya, meminta keringanan."

"Ya, saya paham Tuan. Saya juga minta maaf karena ulah suami saya maka semuanya menjadi kacau begini."

"Dan, hal yang harus anda ketahui ... Pemerintah sudah memberi tekanan pada kami. Mereka ingin masalah ini segera selesai. Karena jika tidak ...."

Nyonya Win Feng mengangkat wajah dimana sebelumnya dia tertunduk lesu. "Jika tidak, apa yang akan terjadi?"

"Mereka akan mempersulit perusahaan kita untuk berkembang. Mereka akan menekan kita dengan cara-cara yang sulit kita lawan. Mungkin mereka akan mempersulit perizinan."

Nyonya Win Feng membaca jika para tetua mulai marah pada suaminya. Terlebih, urusan ini bisa mempersulit bisnis mereka. Perusahaan yang dimiliki oleh para tetua bukanlah perusahaan skala kecil. Mereka menanamkan modal begitu besar untuk bisa mempekerjakan saudara mereka sesama perantau dari Negeri Tirai Bambu.

"Orang-orang Eropa itu akan punya alasan untuk membuat hidup orang-orang Cina di Batavia semakin sulit ...."

Panca dan Prahara Rumah JagalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang