72

41 15 0
                                    

Tuan Win Feng menatap jauh ke arah lautan luas. Dadanya terasa sesak, sesak karena kesal atas kelakuan Asih, Panca dan lainnya yang telah meninggalkan laki-laki itu.

Masih tampak di pandangan mata tiang layar perahu yang ditumpangi sekomplotan perampok itu. Bagi mereka, meninggalkan Tuan Win Feng di pulau terpencil itu sebagai sebuah keputusan yang tepat. Tapi, tidak begitu dengan laki-laki Cina itu. Dia merasa sangat dikucilkan.

Ada apa ini? Ada gempa lagi?

Ketika perasaan marah memuncak dalam pikiran Tuan Win Feng, tiba-tiba perasaannya berubah. Panik.

Laki-laki itu berusaha melepaskan tali yang mengikat tubuhnya dengan sebatang pohon kelapa. Tubuhnya meronta-ronta.

Tapi, seketika perasaan hatinya berubah lagi. Duk, ada benda menghantam kepala laki-laki Cina itu.  Dia masih bisa melihat sebutir kelapa menggelinding setelah mendarat tepat di kepala.

Tanah bergetar, pohon-pohon ikut bergoyang.

Itulah hal yang terakhir dilihatnya. Karena sesudah itu matanya terpejam. Dia tidak sadarkan diri. Pingsan.

Kini dia berada dalam dimensi lain. Terlihat seorang perempuan sedang menggendong seorang bayi. Tuan Win Feng sangat mengenal wajah keduanya. Mereka bertiga berdiri di beranda sebuah rumah bergaya Cina yang dilengkapi ornamen khas peranakan.

Tapi, dia kembali ke luar dari dimensi bawah sadar. Laki-laki itu kembali tersadar. Dia tidak tahu berapa lama dia pingsan.

Hal yang dia tahu, sekarang tubuhnya terhempas oleh air yang sangat besar dan kencang. Air laut?

Tubuhnya terasa ditinju oleh hempasan air laut yang datang tanpa aba-aba. Tubuhnya tertutup oleh air yang naik hingga ke daratan. Tidak bisa diperkirakan seberapa tinggi hempasan itu. Dalam posisi duduk pun tubuhnya sudah tenggelam. Mungkin tinggi air yang pasang lebih dari 2 meter.

Andaikan sebuah tali tidak mengikat tubuhnya, mungkin saja dia akan terhempas gelombang. Terbawa hingga ke laut lepas.

Panca dan Prahara Rumah JagalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang