"Jadi, apa mau kalian?" Tuan Win Feng mencabut golok dari sarungnya.
Sontak, yang lain pun melakukan hal yang sama.
Asih hanya tersenyum kecut, "bila kau marah ... berarti benar dugaanku. Untungnya, kami punya rencana yang matang."
Tuan Win Feng tampak kebingungan.
"Tadi pagi, aku sengaja mencarimu untuk sama-sama datang ke pulau ini. Tujuanku, untuk melindungi Panca dari orang sepertimu."
Tuan Win Feng semakin kebingungan.
"Tuan, lihatlah sekelilingmu. Lautan luas. Bila kau sanggup, kau bisa tinggal di sini sendirian. Karena kami akan segera pulang."
"Pulang? Bagaimana dengan sapinya?"
"Akan kami sembelih terlebih dahulu. Dagingnya kami makan. Kami sisakan sedikit untukmu."
"Jadi, kalian sengaja mengajakku datang ke sini ...."
Asih mengangkat alis. Kemudian dia merogoh sesuatu dari bajunya. Sumpit berukuran kira-kira sehasta.
Tuan Win Feng tahu apa yang akan dilakukan gadis di hadapannya. Dia menerjang ... tapi sayang, jarum dari sumpit lebih cepat mendarat di leher laki-laki Cina itu.
"Maaf, Tuan. Kami harus melakukan ini karena kami tak ingin melibatkanmu terlalu jauh." Asih menepuk pundak Tuan Win Feng yang sedang kesakitan.
Seseorang membawa tali ketika setelah Asih memberi perintah. Tali digunakan untuk mengikat tubuh Tuan Win Feng. Dia diikat bersama batang kelapa yang tumbuh tidak jauh dari tempat Asih berdiri.
"Asih, tapi dia punya andil dalam pekerjaan tadi malam," Panca mengingatkan Asih.
"Aku tahu itu."
Asih berjalan sambil mengangkat dagu. Dia menghampiri si sapi yang sedari tadi malam sudah terikat di pohon. Hewan itu seakan sudah siap atas perlakuan apa pun padanya. Dia tidak melenguh atau meronta-ronta.
Asih memberi perintah untuk segera menyembelih si sapi. Bagian terakhir dari sebuah pekerjaan yang memerlukan waktu panjang dan melelahkan.
Ditemani angin laut yang menerpa wajah, seorang laki-laki menyembelih si sapi dengan cekatan. Goloknya tajam menyentuh kulit hewan ternak itu. Dia juga yang menyayat kulit si sapi. Berawal dari bagian leher hingga berakhir di bagian perut dan pantat si sapi.
"Nomor 222, sebuah nomor yang mudah diingat," Panca memberi komentar ketika melihat angka yang tertera pada kulit hewan itu.
Semua yang mendengarkan mengangguk setuju. Meskipun sebenarnya mereka tahu jika mendapatkan hewan itu bukan perkara mudah. Membutuhkan perjuangan keras bahkan mengorbankan banyak nyawa.
Kini, tiba bagian perut si sapi.
Itu adalah bagian terpenting dari semua kerja keras sekomplotan pencuri sapi. Dengan golok yang tajam, perut si sapi disayat. Benda berbau khas tercium ketika isi ususnya dikeluarkan.
"Ini, Nyimas. Benda yang kita cari."
Seseorang membawa air laut dengan batok kelapa. Benda yang dimaksud dibasuh dengan air kemudian diserahkan pada Asih.
"Bukan hanya satu, ternyata banyak."
Benda dari dalam usus sapi itu berupa kapsul berwarna hitam. Ukuran kapsul sebesar mentimun.
Semua terpana dengan apa yang mereka lihat. Tidak ada seorang pun yang menyangka jika jumlah pesanan Tuan Anthony begitu banyak.
"Asih, kau tahu barangnya sebanyak ini," Panca bertanya penasaran.
"Tidak."
"Kita buka, apa isinya."
Dengan pisau, kapsul dibuka. Membuka kapsul itu tidak sulit. Hal yang sulit adalah menerima kenyataan jika benda itu berbeda dengan bayangan komplotan perampok itu.
Ketika semua sedang terpana, ternyata Tuan Win Feng meluapkan rasa penasarannya dengan berteriak, "hei, mana bagianku?"
Semuanya menoleh ke arah Tuan Win Feng. Pria itu meronta-ronta dan terlihat ingin melepaskan ikatan di tubuhnya.
"Tenang, Tuan. Kau akan mendapatkan bagian." Panca mencoba menenangkan laki-laki Cina itu.
"Itu pun kalau kau masih hidup," Asih menambahkan.
Mata orang-orang itu kembali memperhatikan isi perut si sapi. Ternyata, dalam perutnya masih ada kapsul-kapsul dengan bentuk yang sama. Mereka pun mulai menghitung sambil membersihkannya dari kotoran sapi.
"Satu ... dua ... tiga," Asih mulai menghitung, "duabelas. Semuanya ada dua belas."
Asih menatap orang-orang di sekitarnya satu per satu. Mereka tampak senang. Senyum merekah dari wajah mereka.
"Orang yang ada di sini ada duabelas. Berarti satu orang mendapatkan bagian 1 buah." Tuan Win Feng kembali berteriak.
"Ya, saya setuju. Setiap orang mendapatkan jatah satu."
"Berarti termasuk aku." Tuan Win Feng terlihat senang.
"Bukan, kami akan mengantarkan bagian ini pada istrimu ... untuk menyelesaikan masalahnya dengan Tuan Anthony."
Semua yang mendengar tertawa.
Benda yang dimaksud dibagikan pada setiap orang. Mereka menjaganya dengan baik. Ada yang menyelipkannya ke dalam ikat pinggang. Kebiasaan untuk menyimpan benda berharga seperti uang.
Panca pun mendapatkan bagian. Dia memegang benda berukuran sebesar biji kemiri. Tangannya diangkat, benda itu pun terpapar sinar matahari.
"Indah, sungguh benda yang indah," Panca bergumam.
"Aku suka warnanya ... merah."
Semuanya orang memperhatikan apa yang dilakukan oleh Panca.
"Nyimas, jika batu ini kita jual ... kira-kira berapa harganya?" seseorang bertanya penasaran.
"Setahuku ... bisa membeli rumah dan segala isinya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Prahara Rumah Jagal
AksiSleeerrrr .... Darah mengalir dari tenggorokan. Tidak, bukan hanya mengalir. Darah itu muncrat ke berbagai arah. Membasahi orang di depannya, membasahi lantai bahkan melumuri golok di tangannya yang besar. Orang itu tidak pernah tega dengan korbann...