17

45 17 0
                                    

"Bukan-bukan, kami bukan pencuri!" Panca menjawab pertanyaan orang yang tiba-tiba saja datang itu.

"Ah, bohong!"

"Tidak, kami bukan pencuri. Kami hanya ...."

Tuan Win Feng tidak sempat menyelesaikan kalimatnya. Laki-laki yang baru saja datang itu malah meneriaki mereka.

"Maling! Maling!"

Sontak, Panca kaget ketika diteriaki maling. Dia sulit bicara barang sepatah kata pun. Anak remaja itu menjadi gagap ketika dihadapkan pada keadaan yang tidak diperkirakan sebelumnya.

Dari kejauhan terlihat titik-titik cahaya berdatangan. Seperti kunang-kunang di kegelapan, cahaya-cahaya itu bergoyang-goyang nampak indah di pandangan. Namun, cahaya yang datang dalam jumlah banyak itu tidak mendatangkan kenyamanan di perasaan.

Panca tahu cahaya itu adalah lampu badai yang dibawa warga. Itu bukanlah cahaya kunang-kunang penghias malam.

Terlebih, terdengar teriakan dari sumber cahaya itu.

"Mana malingnya?!"

Tuan Win Feng menatap Panca. Jelas terlihat wajah anak remaja itu mulai ketakutan. Mereka berdua terdesak. Nyaris tidak ada waktu untuk menjelaskan apa maksud kedatangan mereka ke rumah itu.

Dan, Tuan Win Feng mulai teringat sesuatu. Aku sedang dicari polisi, mereka bisa saja polisi yang sedang menyamar!

"Panca, ayo pergi!"

Tangan laki-laki itu meraih Panca. Dia mengajak untuk segera pergi. Berlari secepat yang dia sanggup.

Tanpa banyak basa-basi lagi, kedua orang itu berlari ke arah jalan besar. Mereka kembali ke arah kedatangan semula.

Tidak ada waktu untuk berpikir seharusnya ke arah mana mereka berlari. Dalam benak kedua orang itu tidak terlintas resiko apa yang akan dihadapi ketika berlari begitu saja tanpa sebuah rencana. Terlebih, jalanan di sana terlampau sepi untuk ukuran sebuah kota. Mereka kebingungan.

"Tuan, kita ke mana?" Panca masih bertanya ketika orang di depannya mengajak berlari sekencang mungkin.

"Aku tidak tahu! Lari saja!"

"Bagaimana dengan pedati saya?"

"Biarkan saja!"

Tuan Win Feng benar-benar tidak mau diajak berpikir. Satu hal yang terpikirkan olehnya hanyalah bagaimana selamat dari kemarahan massa.

Mereka terus berlari tanpa tujuan pasti.

Panca memperlambat lajunya berlari. Anak itu malah terpikir pedati dan seekor sapi yang harus ditinggalkannya. Jauh di belakang. Dia menoleh ke belakang. Ah, orang-orang itu tidak mengejar lagi.

"Tuan, mereka berhenti mengejar kita!"

Tuan Win Feng tidak peduli. Dia masih semangat untuk berlari meskipun nafasnya semakin terengah. Kebiasaan laki-laki itu merokok ternyata berpengaruh pada kemampuannya berlari.

Dia menyerah untuk terus berlari. Langkahnya terhenti.

Tuan Win Feng membalikan badan. Didapatinya Panca berlari dengan kecepatan rendah. Pelan saja, sekedar mengikuti orang di depannya.

"Mereka tidak mengejar kita."

"Ya, mungkin mereka menyerah."

"Lagipula, kita tidak mencuri apa-apa. Buat apa juga terus mengejar."

"Mereka hanya menakut-nakuti."

Tuan Win Feng menghela nafas panjang. Dia membungkukan badan, kedua tangannya ditekan ke lutut.

"Hah, sudah lama tidak olahraga."

"Tuan terbiasa menyuruh orang, jadinya jarang bergerak."

"Ah, kau ini. Kau sendiri kenapa lari pelan sekali? Padahal kau masih muda."

"Saya khawatir terjadi sesuatu pada pedati saya. Makanya saya terus menengok ke belakang."

Jalan tempat mereka berdiri benar-benar sepi. Tidak ada seorang pun yang kebetulan lewat di sana. Hanya terdengar suara burung hantu yang sesekali bersiul. Kuuk ... kuuk ...

Jalan di sini sepi sekali, Panca pun mulai menyadari keadaan di sana. Malam yang gelap semakin terasa kelam ketika tidak seorang pun yang meriuhkan suasana.

"Aneh ya, jalan di sini sepi sekali," Panca menyampaikan apa yang tengah dia rasakan.

"Ah sudah biasa. Orang-orang di sini biasa keluar malam. Mungkin mereka sedang pesta atau semacamnya."

"Lagipula, rata-rata pekarangan di sini luas. Kalaupun ada orang, tidak akan terlihat dari jalan besar."

"Pohon-pohon besar dan tinggi menambah sepinya kampung ini."

"Wilayah ini memang cocok untuk sarang penyamun."

Tuan Win Feng melihat ke arah Panca. Bagus juga cara berpikir anak ini, tidak sia-sia aku mengajaknya.

"Tuan, sekarang kita ke mana?"

"Kita terus berjalan menyusuri jalan ini. Mungkin saja Koswara sedang menuju ke rumah Si Pemesan."

"Tuan yakin, dia ke sana?"

"Semoga saja. Kalaupun tidak, aku mau menemui Si Pemesan untuk bernegosiasi."

Panca menganggukan kepala. Dia bersiap untuk melangkah.

Tapi, langkahnya tertunda.

Panca kembali menoleh. Dia menyaksikan sesuatu yang menyesakan dadanya.

"Tuan, itu ...."

Kobaran api terlihat membesar dari arah persimpangan. Persimpangan itu tempat pedati dan si sapi terparkir.

Panca dan Prahara Rumah JagalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang