Panca tumbuh sebagai anak yang senantiasa merasakan kecukupan. Cukup memenuhi kebutuhan dari orang tuanya, cukup kasih sayang dari orang-orang sekitarnya juga cukup akan pemenuhan hasrat keingintahuannya yang semakin kuat.
Sebagaimana kebanyakan anak-anak masa itu, Panca tidak mengenyam pendidikan formal layaknya anak-anak priyayi di Hindia Belanda. Dia tidak pernah sekolah.
Kehidupanlah yang menjadi sekolahnya. Belajar langsung dari kehidupan nyata.
"Ini barang bagus, Paman," begitulah kata-kata yang sering terlontar kala dia bertransaksi dengan para pelanggannya.
"Ah, kau selalu bilang begitu, Raden."
Ya, para pelanggannya mengenal dia sebagai anak priyayi dari Desa Pujasari. Pergi ke Batavia untuk berdagang gerabah yang dibuat oleh tangan-tangan terampil warga desa.
"Paman, kalau barang ini ada cacat, saya ganti. Gratis."
Begitulah jaminan yang diberikan oleh anak remaja itu untuk meyakinkan pelanggannya. Kebetulan waktu itu dia sedang berhadapan dengan seorang pelanggan yang menginginkan barang bagus untuk hiasan di rumahnya. Sebuah guci bermotif bunga dengan warna dasar cokelat kemerahan layaknya tanah kebun.
"Paman, itu yang terbaik yang bisa saya buat."
"Hmmm, aku percaya padamu."
"Bagaimana?"
"Bagaimana, apanya?"
"Paman, akan membelinya kan?"
"Sejujurnya, aku hanya melihat-lihat. Nanti kalau aku sudah punya uang. Aku akan membelinya."
Panca merasa kecewa ketika tahu jika pelanggannya itu tidak bermaksud membeli.
"Panca, sejujurnya ... aku mau menawarkan sesuatu untukmu."
"Menawarkan apa, Paman?"
"Seekor sapi."
"Sapi? Saya sudah punya 2 ekor sapi yang menarik pedati."
"Ya, aku tahu. Tapi, aku menawarkannya untuk ditukar dengan milikku. Atau, bila kau sanggup membelinya ... silakan dibeli."
Panca agak heran dengan tawaran pelanggannya yang satu ini. Seorang lelaki berperawakan sedang, berjenggot serta tumbuh jambang di pipinya.
"Kenapa sapi milik Paman dijual?"
"Jelas aku butuh uang, Raden Panca."
Panca menimbang-nimbang tawaran laki-laki di hadapannya. Anak remaja itu ingat pada keadaan sapi miliknya yang menjadi penarik pedati. Dia melihat ke arah sapi yang dimaksud.
Sapi-sapi penarik pedati berjajar di antara pedati yang biasa digunakan untuk mengangkut barang. Sapi-sapi itu duduk termangu tidak jauh dari deretan para pedagang menawarkan barangnya. Bersama pedati yang terparkir di pinggir kanal, sapi-sapi itu terlihat asyik merumput kecuali seekor sapi milik Panca.
"Lihatlah sapi milikmu, dia nyaris mati."
"Husss, Paman jangan bicara begitu. Saya masih membutuhkannya untuk pulang ke Desa Pujasari."
"Nah, sapi yang aku tawarkan itu masih sehat."
"Tapi, saya tidak punya cukup uang."
"Kita tukar tambah saja. Hanya sedikit uang tambahan yang kau perlukan."
"Lalu, sapi itu akan dibawa mana?"
"Nah, sapi itu akan saya bawa ke rumah jagal."
"Untuk disembelih?"
"Tentu saja."
Panca menimbang-nimbang tawaran laki-laki yang ada di hadapannya.
"Kenapa sapi milik Paman tidak dijual saja ke rumah jagal?"
"Nah, sejujurnya ... aku masih sayang padanya. Belum ingin melihat dia mati di tangan tukang jagal."
"Tapi, kan jadi berpindah tangan pada saya."
"Kalau aku punya uang, kan aku bisa membelinya lagi."
"Dengan harga lebih mahal dari sekarang, mau?"
"Ah, itu bisa diatur.
Panca melirik ke arah seekor sapi yang tidak nafsu makan padahal sekeranjang rumput tersedia di hadapannya. Anak remaja itu merasa kasihan jika memaksa seekor sapi yang tampak sakit menarik pedati hingga beberapa hari ke depan.
"Paman, kalau saya berutang uang tambahannya, bagaimana?"
"Eee ...."
"Itu pun kalau Paman mau."
"Baiklah, aku setuju."
Panca senang ketika orang itu mengangguk setuju. Di mengulurkan tangan kanannya untuk bersalaman. Panca pun menyambut tangan laki-laki itu bersama senyuman yang tersungging di bibirnya.
"Paman, maaf. Kita belum saling kenal?"
"Hahaha, aku jelas sangat mengenalmu, Raden. Kau Raden Panca, anak Raden Bakti, cucu dari Raden Wiraguna asal Desa Pujasari."
"Hehe, saya lumayan terkenal ya."
"Begitulah. O, ya ... perkenalkan saya Koswara."
Setelah berkenalan, mereka berdua berpisah. Kedua orang itu kembali menjalankan rencana masing-masing. Panca kembali menawarkan gerabah yang menjadi barang dagangannya. Sedangkan Koswara pulang untuk membawa seekor sapi yang sebelumnya dia tawarkan.
Pasar tumpah di pinggir kanal itu berangsur sepi setelah matahari terik. Orang-orang yang tadinya berduyun-duyun untuk belanja, kini berangsur pulang ke rumah masing-masing.
Para pedagang mulai menghitung penghasilan mereka pagi itu. Ada yang menghitung uang dengan wajah berseri. Tetapi, ada juga seseorang yang bermuka masam karena pendapatannya pagi itu tidak memenuhi harapannya.
Setelah sepi pelanggan, Panca berteduh di bawah pohon dekat kanal. Dia pun menghitung hasil penjualan pagi itu kemudian memasukan puluhan koin bergambar Ratu Belanda ke dalam kantong yang yang terbuat dari kain. Alhamdulillah, pendapatan hari ini lumayan.
"Hei, Nak. Kaukah pemilik sapi itu?"
"Ya, Tuan. Itu penarik pedati di dekatnya."
"Bolehkah saya melihat-lihat sapi itu."
"Boleh, Tuan. Akan Tuan beli?"
"Ah, kalau kau berkenan."
Orang itu mendekat ke arah seekor sapi yang tampak sakit milik Panca. Dia meraba-raba tubuhnya.
"Kau jual berapa?"
"Maaf, sudah ada yang menawar."
"Oh, seperti itu. Aku beli dengan harga lebih tinggi. Bagaimana?"
"Wah, saya tidak enak hati. Orangnya akan segera kembali membawa sapi yang masih sehat."
"Oh, kau butuh sapi pengganti. Sayang, padahal aku mau membeli dengan harga lumayan. Aku butuh sapi untuk disembelih."
"Disembelih, oh ... apakah Tuan penjagal hewan?"
"Ya, begitulah."
"Maaf, Tuan. Mungkin pemilik sapi yang lain berkenan menjual."
"Ya, sepertinya begitu. Kalau kau mau menjual sapi ini. Cari saya saja."
"Tuan ...?"
"Saya Win Feng. Cari saja Win Feng pemilik rumah jagal di pinggir sungai di sudut kota sana."
Orang yang disebut Tuan Win Feng berlalu meninggalkan Panca. Dia memeriksa satu per satu sapi yang berjejer dipinggir kanal. Sapi milik pedagang yang dijadikan penarik pedati untuk mengangkut barang jualan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Prahara Rumah Jagal
ActionSleeerrrr .... Darah mengalir dari tenggorokan. Tidak, bukan hanya mengalir. Darah itu muncrat ke berbagai arah. Membasahi orang di depannya, membasahi lantai bahkan melumuri golok di tangannya yang besar. Orang itu tidak pernah tega dengan korbann...