Lebih dari sepekan telah berlalu ...
Panca benar-benar berada pada situasi yang sangat sulit. Setidaknya, bila dibandingkan dengan pengalaman hidupnya yang masih seumur jagung.
"Polisi telah datang ke rumah saya, Tuan."
Tuan Win Feng tersenyum. Entah apa maksud dari senyuman itu.
"Ternyata begini rasanya menjadi buronan polisi, seperti ...."
"Seperti apa rasanya?"
"Seperti ... seekor musang yang sedang dikejar warga karena mencuri ayam."
"Hahahaha."
Panca memasang wajah cemberut, tidak senang dengan sikap pria dewasa yang menertawakan rengekan seorang anak remaja.
"Raden, sebaiknya kau makan saja dulu. Ini daging ... bakar ... yang mungkin sudah lama tidak bisa kau nikmati."
Malam itu, Tuan Win Feng menyajikan sepotong daging sapi yang telah dibakar di atas api unggun. Sayang, ini bukan pesta atau acara berkemah apalagi kegiatan berburu yang diselingi makan hasil buruan. Justru, mereka berdua sedang diburu polisi karena kasus yang terus terjadi secara beruntun.
"Aku salut padamu, ternyata tempat ini malah menjadi tempat paling aman. Terima kasih sudah memberiku saran untuk bersembunyi di sini."
"Ya, saya hanya meniru permainan anak-anak."
"Apa itu?"
"Petak umpet."
"Oh, aku mengerti. Pemain yang bertugas jaga akan mencari temannya yang bersembunyi ... dan ... dia lupa jika pos jaga ditinggalkan."
"Ya, saya pikir polisi akan mencari kita ke berbagai tempat. Sampai-sampai mereka lupa pada tempat kejadian perkara. Ditinggalkan."
Api yang menjilat udara menjadi satu-satunya sumber cahaya di tengah bangunan yang gelap gulita. Rumah Jagal itu cukup luas untuk melakukan sebuah pekerjaan menyembelih hewan ternak hingga memotongnya menjadi sekerat daging atau sebongkah tulang.
"Dulu, tempat ini aku bangun dengan susah payah. Bahkan aku harus berhutang sana-sini," Tuan Win Feng mengarahkan pandangan ke sekeliling.
"Sayang, kini bukan milikmu lagi."
Tuan Win Feng menghela nafas.
Rumah jagal menjadi tempat yang dianggap aman oleh Tuan Win Feng dan Panca. Setelah sekian hari mereka melakukan pelarian, ternyata bisa merasa nyaman untuk sekedar bersembunyi. Terlebih, di sana senantiasa tersedia makanan dan tempat tidur yang nyaman. Meskipun harus mencium bau busuk atau bau kotoran ternak yang teronggok di saluran pembuangan.
"Untungnya, pegawaiku masih setia. Mereka mau menyiapkan makanan untuk kita," laki-laki Cina itu membolak-balikan sepotong daging yang ditusuk oleh sebatang bambu.
"Ternyata, kita masih dikelilingi oleh orang-orang baik."
Tuan Win Feng dan Panca mengunyah daging yang masih alot seperti terpaksa. Mereka harus mengisi perut demi menambah tenaga. Tenaga yang dibutuhkan jika suatu saat diharuskan untuk berlari.
Malam semakin larut ketika mereka berdua sedang bicara. Sebagaimana biasanya, Tuan Win Feng menyalakan cangklong setelah merasa cukup untuk makan. Bagi laki-laki itu, menyalakan cangklong sebagai cara untuk mengusir kejenuhan yang sering menghampiri.
"Tuan, setelah ini ... apa yang harus kita lakukan? Apakah kita akan begini terus, dikejar-kejar oleh polisi," Panca ingin menegaskan rencana apa yang harus dijalankan esok hari.
"Bagiku, jelas. Aku ingin kembali menjalankan perusahaanku."
"Caranya?"
"Membujuk polisi untuk menghentikan kasus ini."
"Membujuk?"
"Ya, si Anthony saja sanggup membujuk polisi untuk tidak menahannya. Kita pun seperti itu."
"Tuan Anthony dilindungi oleh para petinggi Batavia."
"Bukan hanya itu. Aku yakin laki-laki itu menyuap polisi untuk menghentikan kasusnya. Padahal jelas, banyak nyawa yang melayang tepat di rumahku."
"Jadi, kita pun akan menyuapnya?"
"Ya, bagaimana lagi. Apakah kau punya cara?"
Panca berhenti mengunyah. Dia nampak berpikir.
"Mungkin polisi tidak ingin memperpanjang masalah dengan orang-orang Cina. Atau ada pertimbangan lain, aku tidak tahu."
"Tuan Anthony memiliki banyak uang untuk menyuap para petinggi kepolisian. Tapi, anda sendiri ...."
Tuan Win Feng tersenyum.
"Bagaimana anda mendapatkan uang untuk menyuap para polisi itu?"
Laki-laki Cina itu berpikir sejenak. Mulutnya mengeluarkan asap.
"Saya tidak bisa membantu, Tuan. Ini urusan pelik."
"Justru kau harus membantuku, Raden. Kita harus sama-sama menyelesaikan masalah ini. Kau tidak mau membusuk di penjara kan?"
Panca menggelengkan kepala.
"Aku tidak mungkin menyelesaikan ini sendirian, aku tidak punya lagi anak buah atau siapa pun yang bisa diajak bekerjasama."
"Tapi, aku bisa apa."
"Kau cerdas, Panca. Berpikirlah."
Panca merenung. Tidak ada pilihan bagi anak remaja itu untuk mundur dan pergi meninggalkan Tuan Win Feng. Dia harus menghadapi masalah atau masuk penjara karena dituduh sebagai pencuri seekor sapi.
"Tuan, kadang saya berpikir ... apakah Alloh akan mengampuni saya karena dosa yang telah saya perbuat."
Tuan Win Feng hanya tersenyum. Bagi laki-laki itu, urusan kepercayaan memang bukanlah hal untuk dikomentari. Terlebih, dia mengerti jika orang di depannya belum dewasa benar. Sehingga sikap mengambang masih sering ditemukan pada anak remaja seperti Panca.
Suasana hening sejenak. Mereka berdua menghela nafas. Walau, udara segar sulit didapat di tempat itu. Hanya bau busuk atau asap dari api unggun lebih banyak masuk ke dalam lubang hidung.
"Tuan, apakah Tuan tahu jika barang selundupan itu tiba lagi?"
"Aku tidak tahu. Memangnya kenapa?"
"Bagaimana kalau kita ...."
"Mencurinya?"
Panca menganggukan kepala.
"Orang yang tahu berita itu kini sudah tidak ada. Koswara sudah mati, tenggelam di laut."
"Tapi, anak buahnya mungkin tahu."
"Asih? Bisa saja gadis itu tahu jika akan ada barang yang datang."
"Kalau begitu, bagaimana kalau kita menemui Asih. Kemudian, mengajak dia bekerjasama."
"Mencurinya, sebagaimana dulu mereka mencuri dari kapal uap yang datang ke Batavia ...."
![](https://img.wattpad.com/cover/295081956-288-k940223.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Prahara Rumah Jagal
AcciónSleeerrrr .... Darah mengalir dari tenggorokan. Tidak, bukan hanya mengalir. Darah itu muncrat ke berbagai arah. Membasahi orang di depannya, membasahi lantai bahkan melumuri golok di tangannya yang besar. Orang itu tidak pernah tega dengan korbann...