48

33 12 0
                                    

Sebuah sampan tertambat di pinggir kanal. Tepat di bawah pohon mangga besar. Pohon paling besar diantara deretan berbagai macam pepohonan di pinggir kanal.

Hal yang lumrah jika sebuah sampan ditambatkan di bawah pohon. Terlebih, kanal itu dibuat di antara pemukiman warga. Tidak ada rumah megah yang dibangun dengan tembok kokoh, semuanya berbahan bambu dan kayu.

"Orang-orang masih tertidur lelap," Panca memberikan kesimpulan. "Kampung ini masih sepi."

"Sebagian besar warga di sini petani. Mereka baru bangun setelah adzan shubuh."

Tuan Win Feng berdiri di bawah pohon mangga besar. Dia membuka tali yang terikat sambil menjelaskan perihal kondisi kampung. Sedangkan Panca mengamati keadaan, khawatir ada seseorang yang memperhatikan kelakuan mereka berdua.

"Ah, sudah terbuka talinya. Ayo pergi ...!"

"Iya, Tuan."

Panca naik ke atas sampan begitupun dengan Tuan Win Feng. Dengan dayung di tangan, mereka mengayuh kendaraan air itu dengan perlahan. Berharap cipratan air atau gelombangnya tidak terdengar oleh siapa pun di sana.

Sampan dikayuh melawan arus air. Tidak ada lagi orang yang sama-sama mengayuh sampan di kanal itu kecuali mereka berdua.  Hanya kelelawar yang sesekali terlihat terbang tepat di depan mata. Untung saja kemampuan satwa liar itu mengenali lingkungan dalam kegelapan, tidak menabrak si pengayuh sampan.

Di samping kanan dan kiri kanal, berderet rumah warga. Dahulu, rumah di sana masih jarang. Setiap rumah masih memiliki pekarangan yang luas. Kini, rumah beratap daun kelapa lebih rapat. Itu menjadi pertanda jika Batavia didatangi begitu banyak orang yang sengaja mengembara demi membangun kehidupan mereka.

"Di sini gelap sekali," Panca memperhatikan deretan rumah dengan penerangan alakadarnya.

"Orang yang tinggal di sini kebanyakan orang pribumi. Mereka buruh di perkebunan atau sawah milik orang-orang kaya di Batavia."

"Beberapa waktu lalu saya pernah melewati kanal ini, rumahnya belum sebanyak ini. Masih jarang. Pohon-pohon kelapa lebih banyak tumbuh di sini."

"Pemukiman warga semakin meluas ke wilayah ini."

Mata kedua orang itu masih asyik dengan pemandangan di sekelilingnya. Lampu-lampu minyak yang menggantung di beranda rumah-rumah panggung itu seperti kunang-kunang yang beterbangan. Hanya titik demi titik cahaya kuning yang menyala.

"Tuan, apakah kau mendengar sesuatu?"

"Apa?"

"Dengarkan ... ada yang berteriak."

Terdengar samar-samar dari arah belakang. Suara seseorang yang berteriak-teriak.

"Hei, sampan milikku hilang!"

Tuan Win Feng dan Panca hanya bisa tertawa cekikikan. Mereka berdua tahu siapa orang yang berteriak barusan. Pasti pemilik sampan ini.

Untung saja suara tertawa mereka tidak ada yang mendengar. Keduanya sudah jauh dari ujung kampung. Kini, sampan melaju diantara pohon-pohon besar dengan akar nafas yang menjuntai.

Ketika kedua tangan terus mendayung, sampan pun semakin melaju menuju kawasan hutan di luar kota. Hutan khas dataran rendah di dimana pohon tumbuh menjulang diantara tanah yang basah. Akar-akarnya terhalang oleh pandan atau rumput rawa tempat bersembunyi para buaya.

Semakin lama sampan didayung, semakin masuk ke dalam hutan. Kanal yang ditelusuri berawal dari rawa-rawa dan berakhir di lautan bebas. Ketika musim hujan, akar-akar bakau tidak tampak di permukaan. Tapi, kali ini akarnya yang besar bisa menjadi tempat baik untuk menyembunyikan sebuah sampan.

"Kita sembunyikan di sini, jangan sampai ada yang mengetahui jejak pelarian kita," Tuan Win Feng memberikan alasan ketika menepikan kendaraan air itu.

"Lalu, kita akan ke mana Tuan?"

"Untuk sementara, kita berjalan ke sana. Masuk ke hutan."

"Tapi, gelap sekali."

"Sebentar lagi shubuh, kita tunggu hingga ada cahaya matahari."

Panca duduk di ceruk akar bakau berukuran besar. Matanya menatap ke langit. Bintang kerlap-kerlip sebagai pertanda awan tak menghalangi langit.

"Tuan, ternyata pelarian ini melelahkan," Panca memijit-mijit kakinya.

"Anggap saja ini petualangan."

Panca menghela nafas. Dia berharap matahari segera muncul. Anak remaja itu sangat merindukan cahaya ketika kegelapan menguasai pikiran.

"Tuan, setelah ini ... kita melakukan apa?"

"Tidur lagi. Kita cari tempat nyaman untuk tidur lagi."

"Setelah itu?"

"Kita mencari makan."

"Setelah itu?"

"Kita lanjutkan rencana kita. Mencari Asih dan komplotannya."

"Ya saya tahu. Tapi, ke mana?"

Tuan Win Feng sudah merebahkan tubuhnya di ceruk akar bakau. Dia benar-benar ingin menyambung tidurnya yang terganggu.

"Kita pikirkan saja nanti, aku masih mengantuk."

Panca paham jika Tuan Win Feng kelelahan. Dia pun merasakan itu. Karena itu, Panca merebahkan tubuhnya, sama seperti orang di sebelahnya.

"Ah, sepertinya saya tahu di mana Asih!"

Tuan Win Feng hanya menganggap ucapan Panca sebagai angin lalu. Mungkin anak itu mengigau. Laki-laki itu tidak memberikan tanggapan.

"Mereka perampok, maka kita pun harus berpikir seperti perampok ...."

Panca dan Prahara Rumah JagalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang