24

35 17 0
                                    

Warna biru benda itu semakin terlihat bersinar ketika didekatkan pada lentera di atas meja. Cahaya berkilauan seakan keluar dari tubuhnya nan kecil.

"Ternyata itu batu permata ...," Koswara bergumam.

"Safir, orang-orang menyebutnya begitu."

Benda itu tidak lebih besar dari biji kemiri. Tapi, warnanya yang kontras begitu mengundang perhatian siapa pun yang menyaksikan. Tidak terkecuali Koswara yang begitu bernafsu ingin menguasai kapsul sebagai pesanan. Di siang hari tadi, Koswara tidak segan membelah perut seekor sapi padahal bau menyengat dari kotoran di dalamnya begitu menusuk hidung. Kini, dia merasa usahanya itu sepadan.

"Wajar jika ada yang begitu bernafsu ingin menguasai benda ini," Si Pemesan tersenyum kecut, "bahkan dia rela mengkhianati temannya sendiri untuk mendapatkan benda ini."

"Hahaha, tapi sayang dia tidak bisa membuka selimutnya. Padahal hanya menyayatnya dengan pisau ...," Tuan Win Feng meledek Koswara yang kebingungan bagaimana membuka kapsul 'berkode' itu.

"Diam! Kau berisik!"

Mendengar ocehan laki-laki Cina itu, para pengawal Si Pemesan tertawa. Mereka merasa ada yang lucu dengan 2 tamu tuannya.

Sejenak, suasana menjadi hening.

"Tuan-tuan, saya mengucapkan terima kasih karena telah bekerja buat kami. Ya, meskipun ada sedikit ganjalan ... tapi itu tidak berarti."

"Saya pun mengucapkan terima kasih," Koswara tersenyum sembari tetap menatap benda berwarna biru berkilauan di tangan Si Pemesan.

"Oh, untuk pelunasan ...."

Si Pemesan beranjak. Dia hendak berjalan menuju lemari di sudut ruangan, bermaksud mengambil uang pelunasan hasil kerja Koswara dan Tuan Win Feng.

Tapi, sesuatu yang tak terduga tiba-tiba terjadi.

"Awwww!"

Si Pemesan berteriak kencang. Laki-laki berwajah Eropa itu merasakan kesakitan di tangannya.

"Sialan!"

Semua yang hadir di ruangan itu memperhatikan si tuan rumah. Beberapa pengawal menghampiri tuannya, mereka bermaksud membantu. Apalagi terlihat si tuan rumah mengibaskan tangannya.

"Hah, aku tidak apa-apa."

Si Pemesan tampak limpung. Dia memegang tangan kirinya dengan tangan kanannya. Dia menghela nafas panjang. Oh, ternyata ada jarum menancap di tanganku.

"Tunggu, mana batu safir ... safirnya ... mana?"

Sontak, benda berwarna biru berkilauan itu kini tidak ada di tangannya.

"Cari benda itu!"

Tuan Win Feng dan Koswara terlihat kaget dengan apa yang tengah terjadi. Ada apa lagi ini?

Semua yang ada di ruangan itu merunduk dan berusaha mencari batu safir yang menggelinding. Entah ke mana.

Ruangan itu tidak cukup terang untuk bisa membantu menerangi demi mencari benda tak lebih besar dari biji kemiri. Setiap mata tertuju ke lantai. Bahkan ada yang membungkuk ke bawah meja. Sebagian menggeserkan kursi demi menyingkirkan rintangan. Beberapa orang tertelungkup kemudian melihat ke bawah lemari.

Tuan Win Feng hanya terpaku di kursi, tidak membantu mencari. Matanya justru melihat jam lemari. Tepat tengah malam, berarti dia sudah lega dan tidak mau berurusan lagi dengan orang-orang di sekitarnya.

"Tuan!"

"Ya, kau menemukannya?"

"Tidak, saya hanya mau permisi karena sudah tengah malam. Berarti urusan saya sudah selesai."

Si Pemesan berdiri tegak, kemudian dia berjalan.

"Hei, kenapa kau mau pergi? Padahal kami sedang mencari ...."

"Oh, saya tidak mengambilnya. Silakan geledah."

Beberapa orang pengawal langsung menggeledah laki-laki Cina itu. Dan, tidak ada apa pun yang ditemukan kecuali cangklong untuk mengisap tembakau.

"Aku bersih, jadi aku boleh pulang."

Si Pemesan tidak langsung menjawab.

"Koswara, kau juga harus ...."

Koswara pun berdiri. Dia tersenyum.

"Tuan, kenapa anda tidak percaya pada saya?"

"Ah, bagaimana bisa aku percaya pada seorang pengkhianat. Malah aku berpikir untuk berhenti berbisnis denganmu."

Koswara mengangkat tangan. Seorang pengawal menggeledah tubuh Koswara dengan kedua tangannya.

Ada satu hal yang dilupakan pengawal itu, seharusnya dia tidak menyenderkan senapan di pinggir meja. Karena, tiba-tiba kaki Koswara menyungkal senapan itu.

Piunggg ...

Senapan terbang ... kemudian mendarat di tangan Koswara.

"Hentikan, atau kutembak!"

Sontak si pengawal berhenti menggeledah. Dia mundur.

"Hei, ada apa ini? Kita bisa bicarakan. Tidak perlu memakai senjata," si tuan rumah mencoba bernegosiasi.

Koswara mengarahkan senapan kepada pria Eropa satu-satunya di ruangan itu. Jangan mendekat, Bung.

"Aku akan menambah upahmu jika kau mau menurunkan senapan ...."

Koswara tidak mempan dengan penawaran si tuan rumah. Dia malah melirik ke lentera yang terletak di meja.

Trakk ... byuuurr ... sleeerr ...

Api menyebar di atas meja. Beberapa lembar kertas terbakar. Senapan yang dipegang Koswara menjatuhkan lentera hingga minyaknya tercecer. Jelas, semua perhatian tertuju pada meja yang terbakar itu. Pengawal sebanyak itu, lupa jika ada bagian dari ruangan yang kosong dari penjagaan. Jendela yang berbatasan dengan balkon.

Koswara pun berlari sekencang mungkin ke arah jendela. Dia menabraknya.

Prakkk!

Tidak ada yang tidak kaget, terlebih Tuan Win Feng. Dia hanya berdiri terpaku menyaksikan kenekatan mantan rekan bisnisnya.

"Kejar dia!" si empunya gedung murka, "tolol kalian semua!"

Panca dan Prahara Rumah JagalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang