Tuan Win Feng memperhatikan setiap ekor sapi yang berjejer. Mereka berdiri di depan pedati masing-masing sambil mengenyam rumput segar di hadapan.
Oh, sapi-sapi di sini semuanya sapi penarik pedati. Mereka kurus-kurus.
Tuan Win Feng memberikan kesimpulan atas apa yang dilihatnya. Ini memang bukan untuk pertama kalinya dia mengunjungi tempat itu, tetapi kali ini dia datang membawa misi khusus. Menyelidiki siapa yang telah berani menukar sapi miliknya.
"Tuan, maaf ... saya belum berkenan menjual sapi milik saya," seorang pemilik pedati bicara dengan logat Sunda yang masih kental.
"Tidak apa-apa, saya hanya melihat-lihat."
Tuan Win Feng berjalan semakin pelan ketika dia bertemu dengan seseorang yang sedang menuangkan sekeranjang rumput ke dalam keranjang yang lebih besar. Orang itu tampak sebagai laki-laki pendiam. Dan, dia tidak menghiraukan kedatangan laki-laki Cina yang mengarah padanya.
"Sapi milikmu nampak berbeda dengan sapi lainnya, kau dapatkan dari mana?" Tuan Win Feng bertanya tanpa diawali basa-basi.
"Dari seseorang," orang yang ditanya tidak memalingkan wajah demi menyambut yang datang. Dia menjawab dengan ketus.
"Siapa?"
"Bukan urusanmu."
"Hei, aku bertanya baik-baik. Kenapa kau menjawab sekenanya?"
"Terserah aku."
Tuan Win Feng merasa tersinggung dengan sikap orang itu. Laki-laki Cina melangkah mendekati keranjang rumput.
"Kau mau apa?" laki-laki pemilik sapi bertanya sambil melihat wajah Tuan Win Feng.
"Langsung saja. Aku tahu sapi milikmu baru saja datang dari Australia. Ini bukan sapi lokal ...."
"Kau hanya meracau. Apa pedulimu?"
"Karena sapi ini ... milikku."
Orang di hadapan Tuan Win Feng tertawa terbahak-bahak. Dia merasa lucu ketika seorang pria Cina telah menuduhnya mencuri. Tanpa bukti.
"Hati-hati kalau bicara. Aku membeli sapi ini dengan uangku sendiri."
"Aku bisa buktikan jika ini milikku."
Tuan Win Feng melangkah dengan tegap ke arah bagian belakang tubuh si sapi. Dia melihat dengan jelas sebuah tulisan penanda si sapi. Tiga buah angka yang berderet. Angka itu tercetak dengan jelas oleh besi yang sebelumnya dipanaskan.
1 ... 2 ... 9
Tuan Win Feng mengeja angka yang tertera di pantat sapi sebelah kiri. Bukan angka yang dia cari.
Angka 9 yang dikiranya sebagai angka 3, ternyata tidak tercetak dengan jelas. Bulu sapi yang seharusnya hangus terbakar, ternyata tumbuh kembali.
Angka-angka yang tertera pada sapi sebagai penanda bagi setiap individu yang berbeda. Tanda itu dibuat sejak di kandang sebelum dijual. Agar tanda itu tidak cepat luntur, sebatang besi yang dipanaskan ditempelkan ke kulit seekor sapi. Alhasil, nampaklah bekas luka bakar yang sulit terhapus.
Tuan Win Feng merasa malu ketika sebelumnya dia menuduh pemilik sapi itu sebagai pencuri. Untung saja laki-laki itu tidak habis kesabaran. Dia masih bisa menahan kesabaran. Hanya saja dia sulit mengerti kenapa Tuan Win Feng tiba-tiba saja menuduhnya sebagai pencuri.
"Hei Tuan, apa gerangan yang membawamu ke sini? Kemudian menuduhku sebagai pencuri?"
Tuan Win Feng tidak langsung menjawab.
"Tuan Win Feng, aku tahu kau sebagai pedagang daging di kota ini. Kau punya pengaruh di kota ini. Tapi, terus terang saja caramu bicara membuatku tidak menyukaimu."
"Kenapa dengan cara bicaraku?"
"Kau seenaknya menuduhku sebagai pencuri."
"Karena aku sedang mencari seekor sapi yang hilang."
"Apakah cirinya sama dengan sapi milikku?"
Tuan Win Feng menganggukan kepala.
"Memang, sapi ini dari Australia. Seseorang telah menjualnya padaku."
"Kau yakin ini bukan barang curian?"
"Tentu saja bukan. Aku diajak oleh orang itu ke pelabuhan. Di sana banyak sekali sapi yang baru tiba."
"Kenapa kau memilih sapi ini?"
"Aku hanya menerima saja, karena pedagangnya menawarkan sapi yang ini."
"Tidak memilih sapi yang lain?"
"Sapi yang lain sudah ada yang pesan, katanya."
Tuan Win Feng mulai mengerti kenapa sapi itu ada di hadapannya. Dia pun sebenarnya tahu bagaimana seekor sapi dari negeri seberang bisa sampai di Batavia. Dan, ini bukan berita yang terlalu asing baginya.
"Kalau begitu, bisakah kau tunjukan padaku ... siapa orang yang menawarkan sapi ini padamu?" Tuan Win Feng meminta bantuan pada laki-laki si pemilik pedati.
"Oh, cari saja di Kandang Karantina, dekat pelabuhan."
"Ya, aku tahu tempatnya."
"Cari orang yang bernama Koswara."
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Prahara Rumah Jagal
AcciónSleeerrrr .... Darah mengalir dari tenggorokan. Tidak, bukan hanya mengalir. Darah itu muncrat ke berbagai arah. Membasahi orang di depannya, membasahi lantai bahkan melumuri golok di tangannya yang besar. Orang itu tidak pernah tega dengan korbann...