42

38 12 0
                                    

Nyonya Win Feng begitu ketakutan. Bersama bayi laki-lakinya, dia bersembunyi di kamar pribadi. Kamar itu terletak di lantai atas. Dari balik kisi-kisi jendela, wanita itu bisa menyaksikan bagaimana keriuhan benar-benar terjadi di pekarangan rumah miliknya.

Dua kelompok sudah mulai adu jotos. Senapan laras panjang mulai terdengar meletus, dor! Itu pertanda jika Tuan Anthony sudah hilang kesabaran. Dia benar-benar ingin menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya.

"Arghh!" seseorang terdengar mengerang. Mungkin sekali orang itu terkena timah panas yang melesat dari moncong senapan seorang pengawal.

Nyonya Win Feng tidak sanggup menyaksikan kejadian mengerikan itu. Dia berbalik badan, sambil terus mendekap bayi mungilnya. Karena letupan dan teriakan begitu kencang, bayi itu pun terbangun kemudian menangis, "oaaaa!"

"Hsss, jangan menangis ya, Nak. Ibu ada di sini bersamamu."

Tangisan seorang bayi tidaklah mudah untuk diredakan. Terlebih suasana mencekam terasa oleh makhluk mungil nan lucu itu. Dia sanggup merasakan udara ketidaknyamanan yang berhembus melalui kisi-kisi jendela rumahnya.

"Nyonya, sebaiknya nyonya berlindung di kamar belakang. Adik bayi sepertinya ketakutan," wanita pembantu rumah tangga Nyonya Win Feng memberinya usulan untuk berlindung.

Mereka berdua pun berjalan keluar ruangan. Mereka berjalan di koridor antara deretan kamar di lantai atas. Berusaha menjauh dari keributan yang terjadi di luar.

"Sayang, rumah ini tidak memiliki pintu belakang. Tidak ada jalan untuk melarikan diri," Nyonya Win Feng menyesali keadaan rumahnya yang terletak di kawasan padat penduduk. Pintu gerbang di depan itu menjadi satu-satunya jalan untuk keluar.

"Nyonya yakin akan pergi?"

"Ya, tentu saja. Kita tidak bisa terus bertahan di sini."

"Tapi, di luar sana sedang terjadi perkelahian. Apakah Nyonya tidak berniat untuk bicara baik-baik dengan orang-orang itu?"

Nyonya Win Feng berpikir keras. Sambil terus menenangkan bayinya yang menangis keras. Dia duduk di atas ranjang dimana biasa digunakan oleh para tamu atau kerabat yang berkunjung ke rumahnya.

"Saya ragu jika mereka bisa diajak bicara," Nyonya Win Feng bergumam.

"Andaikan Tuan ada di sini. Mungkin mereka tidak akan semarah ini."

Nyonya Win Feng melirik ke arah wanita itu. Wajahnya terlihat begitu tegang. Keringat terlihat membasahi wajah serta baju cheongsham warna biru yang dikenakannya.

Ini bermula karena ulah suamiku, batin Nyonya Win Feng menyimpulkan.

Ketika pikiran wanita itu sedang menggambarkan wajah suaminya, dia dikejutkan oleh teriakan kencang dari lantai bawah. Suara yang dikenal oleh wanita Cina berbaju cheongsam  merah itu.

"Nyonya! Nyonya Win Feng! Di mana kau!"

Suara itu terdengar penuh dengan amarah. Logat seorang laki-laki yang masih terdengar khas lidah Eropa. Meskipun dia bicara dalam Melayu, tetapi kata-katanya terdengar patah-patah dan kurang jelas.

"Hei, di mana kau?"

Orang itu kembali berteriak dengan suara yang terdengar lebih kencang. Lebih kencang karena mendekat, itu berarti dia berjalan ke arah kamar tempat Nyonya Win Feng bersembunyi bersama pembantunya.

"Aku di sini," Nyonya Win Feng berdiri tepat di bibir tangga.

Laki-laki itu pun menghentikan langkahnya. Dia berdiri di anak tangga pertama, kemudian menengadah ke arah wanita yang sedang menggendong bayi. Bayi itu masih menangis, bahkan lebih kencang.

"Oh, ternyata kau ada di sini."

"Tuan Anthony, anda adalah laki-laki terpandang. Tapi, bisakah kau bersikap sopan ketika memasuki rumah orang?"

"Hah, aku sudah tidak memiliki kesopanan jika harus dirugikan."

"Dirugikan? Dirugikan apa lagi?"

"Nyonya ...," pria bertubuh tinggi itu belum menyelesaikan kalimatnya.

"Tuan, bisakah kita bicara sambil duduk."

"Baiklah."

"Bibi, tolong sediakan minum untuk Tuan Anthony."

Mereka berdua akhirnya menghirup nafas demi mendapatkan ketenangan. Emosi Tuan Anthony mereda ketika si tuan rumah bisa diajak bicara. Ketakutan Nyonya Win Feng berkurang ketika laki-laki di depannya suka bila diajak bicara.

Sayang, ketenangan itu hanya berlangsung singkat. Terlampau singkat.

Mereka berdua melihat dengan jelas perkelahian masih berlangsung. Dari dua daun pintu utama yang terbuka, terlihat para pengawal sedang mencoba melumpuhkan orang-orang Cina yang mengamuk. Darah berceceran di lantai beranda. Senjata berseliweran bahkan beterbangan seperti tidak ada yang mengendalikan.

"Tuan, anda datang ke rumah ini dengan memaksa," wanita itu memulai percakapan ketika mereka sudah duduk di kursi.

Nyonya Win Feng melirik ke arah daun pintu yang terbuka. Dia tahu jika pintu itu dibuka paksa ketika melihat kunci grendel rusak karena hentakan keras.

Dari kursi di seberang meja Tuan Anthony tersenyum kecut, "saya memaksa karena Nyonya tidak memperkenankan kami untuk masuk."

"Itu hak saya untuk tidak menerima tamu."

"Tapi, hak saya juga untuk mendapatkan apa yang telah dijanjikan oleh suami anda."

"Hak apa lagi yang belum ditunaikan oleh suami saya?"

Panca dan Prahara Rumah JagalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang