54

28 13 0
                                    

Akar-akar bakau menjadi tempat yang nyaman untuk sekedar beristirahat. Meniru kelakukan sekawanan monyet yang bermalas-malasan, Panca memeluk akar bakau itu dengan kedua tangan menjuntai. Tampaknya, anak remaja itu meneruskan tidurnya yang tidak tuntas.

Semalam, dia bisa tidur dengan nyenyak. Ketika mimpi sedang menghampiri ternyata Tuan Win Feng malah mengajaknya pergi. Berlari.

Kabur dari kejaran anak buah Tuan Anthony. Malam tadi, bukan waktu yang tepat untuk mengeluarkan banyak tenaga. Apalagi harus berenang menyeberang sungai kemudian mengayuh sampan; hingga menemukan tempat yang dianggap aman seperti saat ini.

Mungkin Panca harus belajar menyesuaikan waktu tidurnya. Seperti kelelawar yang terjaga di malam hari, tertidur di siang harinya. Memang seperti itulah kehidupan seorang perampok. Setidaknya, Panca melihat sendiri bagaimana Asih dan keenam pria berbaju serba hitam malah bersantai di siang bolong. Karena, mereka akan bekerja ketika malam tiba.

Menghabiskan waktu menunggu malam memang terasa membosankan. Tetapi, itu perlu dilakukan demi melancarkan aksi nanti malam. Sebuah aksi yang telah direncanakan sebelumnya.

Setelah dipertimbangkan, akhirnya Panca dan Tuan Win Feng diperkenankan untuk menjadi bagian dari kelompok Asih dan keenam pria berpakaian serba hitam. Sekelompok perampok dengan seorang gadis sebagai pemimpinnya.

Hal yang masih sulit dimengerti oleh Tuan Win Feng. Kenapa seorang gadis bisa menjadi pemimpin bagi 6 orang pria dewasa. Mungkinkah, Asih memang lebih kuat dari mereka? Tapi, sepertinya itu bukan sebuah alasan yang masuk akal.

"Ingat Tuan, aturan permainan ada pada kami. Jika Tuan mencoba macam-macam maka kami tidak segan untuk melakukan hal yang lebih kejam dari apa yang telah dilakukan Tuan Anthony." Asih duduk dekat genangan air yang mulai menghitam.

"Oh, ternyata kau gadis yang tak berperasaan." Tuan Win Feng menggelengkan kepala.

Ketika Panca tertidur pulas, Tuan Win Feng justru masih sulit menenangkan dirinya. Matanya menerawang jauh ke langit. Melihat awan yang berarak menjauh dari pandangan.

"Panca tahu betul kenapa saya menjadi gadis tidak berperasaan, Tuan. Dia saksi kenapa saya menjadi begini."

"Ya, anak itu sudah menceritakannya padaku. Kau siapa dan darimana, serta kenapa kau menjadi begini ... saya sudah tahu."

"Ternyata dia bukan orang yang pandai menjaga rahasia."

"Aku hanya mencoba mengerti cara berpikirmu. Terus terang saja, sebelumnya marah sekali padamu. Bagiku, saat itu, kalian hanyalah penjahat kelas teri yang selalu membuat orang-orang kaya di Batavia khawatir."

"Apakah kini anggapan itu masih sama?"

"Setelah aku merasakan sendiri, ternyata aku punya pandangan lain tentang kalian."

"Bagi kami, mencuri bukanlah sebuah kejahatan. Mencuri hanyalah cara lain untuk mengambil hak kami. Hanya hak kami. Tidak lebih."

"Bagiku, mencuri hanya cara untuk bertahan hidup. Walaupun selalu ada resiko yang menyertainya."

Obrolan antar Asih dan Tuan Win Feng harus segera berakhir. Matahari sudah naik sepenggalahan. Itu pertanda jika siang semakin menjelang. Waktunya untuk mengumpulkan tenaga sebelum bekerja nanti malam.

"Asih, apakah kau berencana mengakhiri petualangan ini?"

Asih tidak langsung menjawab.

"Maksudku, seperti gadis seusiamu. Tinggal di rumah, menikah ...."

"Belum terpikirkan, Tuan." Asih tersenyum. "Hal yang saya pikirkan sekarang adalah ... bagaimana caranya saya bisa tidur siang dengan nyenyak, tanpa diganggu."

Panca dan Prahara Rumah JagalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang