"Ternyata ini sapi yang Paman tawarkan?" Panca menyambut Koswara yang menuntun seekor sapi.
"Ya, ini sapi yang saya maksud, Raden," Koswara tersenyum sambil mengelus-elus kepala si sapi.
Seekor sapi jantan yang tampak sehat dituntun oleh Koswara. Warna bulunya gading dengan sedikit putih di beberapa lipatan kulit. Bertanduk hanya sejengkal dari tulang tengkorak. Berpunduk di pangkal leher dengan gelambir diantara dada dan leher.
Itulah sapi yang sebelumnya ditawarkan oleh Koswara kepada Panca. Entah kebetulan atau tidak, Koswara memberi solusi kepada Panca dengan menawarkan seekor sapi yang masih sehat ketika Panca kebingungan karena sapi miliknya sedang sakit.
"Oh, ini seperti sapi dari Hindustan, benarkan?"
"Mungkin nenek moyang mereka sama. Tapi, kata penjualnya ... ini dari Australia. Ah, saya tidak memikirkan dari mana asalnya."
"Yang penting, sama-sama sapi. Iya kan?"
Panca dan Koswara tertawa lepas. Panca pun senang dengan sapi yang baru saja tiba. Dia senang karena sapi yang ditawarkan bisa menjadi pengganti penarik pedati.
"Ini nomor apa, Paman?"
"Ini nomor penanda."
Panca mengelus bagian kiri bokong si sapi. Di sana tertulis deretan angka sebagai penanda individu sapi.
"Dibuat dengan besi yang panas, kemudian ditempelkan ke kulitnya," Koswara mencoba menjelaskan.
"Oh, begitu ya."
"Raden, kalau kau melihat sapi-sapi yang baru datang dari Australia sepertinya kau akan kebingungan harus memilih yang mana."
"Memangnya banyak, Paman?"
"Oh, banyak sekali. Saya pun sampai kebingungan harus memilih yang mana."
"Nampaknya saya harus melihatnya langsung, ya."
"Iya, saya sarankan juga begitu."
"Mereka dibawa menggunakan kapal, kan?"
"Ya. Kapal besar sekali. Seperti kandang yang mengapung di lautan."
Koswara bersemangat ketika menceritakan tentang sapi yang baru saja datang dari Australia. Kapal pengangkut ternak itu baru saja melempar sauh kemarin sore. Dan, Koswara menjadi salah satu orang yang menyambut kedatangannya.
"Sayang, saat itu hari mulai gelap. Jadi saya tidak tahu persis warna sapi dari Australia itu apakah semuanya sama seperti ini ... atau tidak."
Matahari semakin terik ketika Koswara datang. Panca pun segera melepaskan sapi miliknya agar bisa segera dituntun ke kandang. Ditukar dengan milik Koswara.
Transaksi telah berlangsung. Panca menerima apa yang ditawarkan oleh Koswara. Begitupun sebaliknya, Koswara membawa sapi yang nampak sakit menjauh dari kerumunan.
Koswara melangkah dengan pelan karena sapi yang dituntunnya seakan enggan untuk meninggalkan pemilik sebelumnya. Mereka menyusuri jalanan Batavia yang berdebu karena sudah lama tidak terguyur air hujan. Sesekali berpapasan dengan kereta kuda yang berjalan berlawanan arah. Dan, si sapi merasakan ketidaknyamanan. Dia ingin sekali kembali kepada pemiliknya.
Di sisi lain, Panca agak berat hati ketika melihat sapi miliknya dibawa orang lain. Tetapi dia juga senang ketika seekor sapi sehat sudah menjadi miliknya.
Dengan cekatan, Panca memasang tali pada leher sapi untuk disandingkan dengan pedati. Tidak membutuhkan waktu lama untuk itu. Si sapi seakan sudah paham bagaimana menjadi tenaga penarik bagi sebuah alat transportasi tradisional.
Selain kereta kuda, pedati masih banyak dimanfaatkan warga Batavia untuk menarik barang dagangan atau hasil bumi. Begitupula Panca, masih setia menggunakan pedati untuk mengangkut gerabah yang akan didagangkan. Pedati berjalan lamban tetapi itu lebih baik untuk mengangkut gerabah yang dijual Panca apabila dibandingkan dengan kereta kuda. Jalanan yang belum bagus masih rentan dengan getaran yang bisa membuat gerabah mudah pecah.
"Raden, sudah saatnya kita pulang!"
Seorang pedagang lain berteriak mengajak Panca untuk pulang. Panca mengangkat tangan kemudian melambai.
Pedati yang semula berjejer di dekat kanal, kini pergi satu per satu. Dan, yang tertinggal hanya seorang pria pendiam. Dia jarang sekali bicara bahkan diantara sesama pedagang.
"Paman, sapi ini juga baru tiba dari Australia?" Panca membuka percakapan.
Orang yang diajak bicara pun tersenyum, "kok Raden tahu?"
"Di bokongnya ada angka. Sama seperti sapi yang baru saja saya terima."
"Dari Koswara?"
"Iya."
"Sama, sapi ini juga dari dia."
"Kalau mereka bisa bicara, mungkin mereka akan bisa saling sapa."
"Ah, Raden."
"Iya, lihat saja angka di bokongnya. Sama ada angkanya."
"Iya, punya saya nomornya 129 ... dan ini nomor 128 ...."
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Prahara Rumah Jagal
AcciónSleeerrrr .... Darah mengalir dari tenggorokan. Tidak, bukan hanya mengalir. Darah itu muncrat ke berbagai arah. Membasahi orang di depannya, membasahi lantai bahkan melumuri golok di tangannya yang besar. Orang itu tidak pernah tega dengan korbann...