Tuan Anthony gusar ketika tahu jika rencananya tidak berjalan mulus. Padahal, pagi baru saja menjelang tapi berita yang diterima malah kabar yang menyesakan dada.
"Siapa yang membocorkan rencanaku?"
"Saya tidak tahu pasti, Tuan. Tapi, dugaan saya ... seseorang di Kantor Pos dan Telegraf sudah membocorkan rencana kita," ajudan Tuan Anthony menatap tuannya dengan wajah tegang.
Laki-laki Eropa itu tidak bisa berpikir jernih ketika emosi terlebih dahulu menghampiri otaknya. Dia membanting koran yang sedang dibaca kemudian mencampakannya di atas meja. Kemudian berdiri, menghisap asap rokok yang baru saja dinyalakan.
"Menurutmu, aku harus ...."
"Itu kantor Pemerintah, Tuan. Kita harus berhati-hati. Jangan sampai orang-orang di sana mencurigai kita."
Ajudan itu seseorang yang bisa mengerti kemarahan tuannya. Dia datang sepagi itu bukan untuk membuat Tuan Anthony gusar. Tapi, keduanya sama-sama paham jika bisnis yang mereka jalankan adalah perdagangan lintas negara. Dimana zona waktu yang berbeda mengharuskan siapa pun yang terlibat untuk siap sepanjang waktu.
"Kau mendapatkan kabar ini darimana?" Tuan Anthony penasaran.
"Pengawas di Rumah Jagal datang langsung ke sini. Dia mengatakan jika sapi yang dimaksud telah dicuri."
"Pencuri itu pasti orang yang tahu akan ada pengiriman malam tadi."
Mereka berdua menghirup udara pagi. Terasa sesak meskipun di lingkungan itu tidak berdiri pabrik dengan cerobong asap. Ketika pohon-pohon mengeluarkan banyak oksigen tetapi bagi Tuan Anthony dan ajudannya, itu tidak terlalu berguna. Udara sejuk seakan sesak dengan masalah yang datang bertubi-tubi tanpa diundang.
Ajudan Tuan Anthony masih berdiri di sebelah kursi tanpa berkata yang tidak diperlukan. Dia memberi kesempatan pada majikannya untuk berpikir. Dengan pakaian yang sudah rapi dan dengan rambut yang klimis tersisir, dia hanya memandang ke depan. Melihat segerombolan burung gereja yang beterbangan berebut makanan berupa biji rerumputan yang telah jatuh ke tanah.
"Apa jadwalku hari ini?"
"Bertemu investor ...."
"Batalkan!"
"Tapi, Tuan. Dia datang jauh dari Eropa ...."
"Beri alasan, misalnya ada orang yang meninggal."
"Baik, Tuan. Akan saya urus."
Dengan langkah tegap, ajudan itu berjalan meninggalkan Tuan Anthony yang masih berjalan mondar-mandir. Laki-laki Eropa itu merasakan kekecewaan yang besar sekaligus ingin berpikir keras bagaimana caranya menyelesaikan masalah. Permasalahan yang hampir sama dengan kejadian tempo hari di mana usaha untuk menyelundupkan barang ilegal kembali gagal.
Komplotan itu, pasti mereka yang mengacaukan semuanya.
Tuan Anthony berjalan dengan langkah penuh kekesalan. Rokok yang sedang dipegang, diremas kemudian dilemparkannya ke sembarang arah. Seorang bujang yang hendak menyuguhinya secangkir kopi, melongo tanpa tahu alasan kenapa majikannya marah.
Tuan Anthony masuk ke kamarnya kemudian berteriak, "sediakan air hangat untukku!"
"Baik, Tuan."
***
Hanya dengan air hangat dia bisa menenangkan diri. Membasuh tubuh dengan air setidaknya bisa membuat kepalanya dingin. Dengan begitu, dia tahu harus melakukan apa.
Laki-laki itu menatap langit-langit rumahnya. Dengan tubuh yang masih basah, dia duduk di ranjang. Melihat sesuatu di dalam imajinasi, bagaimana bisnisnya berjalan. Sebuah bisnis yang memerlukan pemikiran jernih bukan pekerjaan yang serba terburu-buru.
Seorang pemimpin sebuah perusahaan terpandang enggan untuk mengotori tangannya untuk melakukan hal yang remeh-temeh. Tapi, menyuruh anak buahnya yang sudah dikenal oleh warga seantero Batavia juga bisa mengundang perhatian.
Aku harus menyelesaikan pekerjaan ini sendirian. Sudah terlalu banyak mata yang tertuju padaku. Mereka pasti menyalahkanku atas semua kekacauan yang telah terjadi.
Tuan Anthony membuka handuknya, kemudian memakai baju rapi. Tapi, bukan baju jas hitam selayaknya seorang pimpinan perusahaan. Dia tidak berbaju formal sebagaimana orang itu akan menemui tamu penting.
Laki-laki Eropa itu memakai sepatu but warna cokelat, dengan celana panjang warna hijau lumut. Berbaju kemeja putih serta memakai topi laken kulit lembu. Tidak lupa sebilah pedang panjang di pinggang, serta pistol lengkap dengan cadangan pelurunya.
Tuan Anthony keluar dari kamarnya dengan langkah tegap. Dia memandangi si bujang dengan tatapan meyakinkan.
"Tuan, sarapan untuk anda sudah siap," bujang itu membungkukan badan kemudian berlalu.
"Baiklah, aku menyusul."
Si bujang menatap tuannya dengan tatapan penuh keheranan. Dia menyaksikan tuannya duduk di belakang meja makan dengan perlengkapan bertempur. Laki-laki itu menyantap setumpuk roti dengan tangan kirinya. Sedangkan tangan kanannya memegang sepucuk senapan sambil memastikan benda itu berfungsi.
Sungguh sarapan yang terburu-buru. Ditutup dengan meminum segelas susu, Tuan Anthony beranjak kemudian berjalan cepat ke arah pintu utama.
"Siapkan kuda untukku!"
"Baik, Tuan."
Tuan Anthony tidak membutuhkan waktu lama untuk menunggu seekor kuda berdiri di hadapannya. Lengkap dengan pelana dan sadel berwarna gelap senada dengan warna kulit si kuda.
"Tuan, maaf, hendak ke mana Tuan pergi?" Si Ajudan bertanya dari arah belakang.
Tuan Anthony tidak langsung menjawab.
"Saya hanya memastikan jadwal Tuan. Siapa tahu ada seseorang yang membutuhkan Tuan."
"Aku ingin menemui pejabat di Kantor Pos dan Telegraf."
"Tuan hanya berangkat sendiri?"
"Ya, seperti yang kau katakan tadi, jika aku membawa pengawal maka akan mengundang perhatian."
Si Ajudan menganggukan kepala, tanda mengerti.
"Aku hanya ingin menyingkirkan orang itu dengan tanganku sendiri," Tuan Anthony berkata sambil berlalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Prahara Rumah Jagal
AksiSleeerrrr .... Darah mengalir dari tenggorokan. Tidak, bukan hanya mengalir. Darah itu muncrat ke berbagai arah. Membasahi orang di depannya, membasahi lantai bahkan melumuri golok di tangannya yang besar. Orang itu tidak pernah tega dengan korbann...