39

36 14 0
                                    

Untung saja laki-laki Cina itu bisa mengelak. Pintalan benang berwarna biru di pangkal jarum bisa jelas terlihat diantara latar hijau daun-daun tebu.

Terlintas dalam pikirannya bagaimana cara dia berlari. Aku tidak boleh berlari lurus.

Tuan Win Feng berlari zig-zag.

Dia berlari sekencang yang dibisa. Meskipun kaki-kakinya tidak terlatih untuk berlari, tetapi niat yang kuat bisa menambah tenaga. Aku bukan Jawara di Batavia tapi aku bisa meringkusmu hai gadis nakal!

Mata Tuan Win Feng masih mengarah pada asal dari mana jarum itu. Meskipun dia sulit memastikan bagaimana bisa sebuah jarum melayang di depan wajahnya; laki-laki itu mencoba mengira-ngira di mana orang yang sedang diburunya berada.

Kini, dia berada diantara rumpun tebu yang sedang bergoyang-goyang. Angin kencang berhembus dan menerpa daunnya yang menjulang melebihi tinggi seorang manusia. Sulit untuk memusatkan perhatian pada satu titik. Terlebih, rumpun tebu itu seragam sehingga tidak bisa memastikan jika ada jalan untuk berlari.

Gadis itu berbaju cokelat. Ya, aku harus memusatkan perhatian ke warna cokelat.

Tuan Win Feng berhenti berlari. Matanya memusatkan perhatian pada warna cokelat. Warna yang kontras dengan warna hijau daun tebu serta warna nila batangnya.

Bukan perkara mudah untuk bisa memusatkan perhatian. Laki-laki itu bukan pendekar yang rajin berlatih ilmu kanuragan. Dia benar-benar menggunakan matanya, bukan mata batin sebagaimana para pendekar mengamati musuhnya.

Tangan kanan Tuan Win Feng memegang golok yang terselip di pinggang. Dia bersiap menghadang jika tiba-tiba serangan itu datang.

Hah, warna cokelat! Dia ada di sana!

Tuan Win Feng berlari cepat ke arah benda berwarna cokelat yang dimaksud. Dia berusaha berlari diantara batang-batang tebu yang menghimpit. Dengan cekatan, laki-laki itu mencabut golok dari sarungnya. Sringg!

"Hah, kena kau!"

Tuan Win Feng merasa senang dengan apa yang didapatinya. Seperti seorang pemburu yang memperoleh hewan buruan, dia gembira bukan main. Matanya berbinar. Tangan kiri orang itu hampir saja meraih sosok berwarna cokelat yang dimaksud.

Sayang, dia pergi.

Tuan Win Feng kecewa.

"Bagaimana, Tuan?" ternyata Panca menghampiri.

Panca tidak mendapatkan jawaban. Dia malah mendapati wajah orang di hadapannya penuh dengan amarah.

"Hanya seekor musang," Panca bisa menyimpulkan ketika dia melihat hewan itu berlari belum jauh dari pandangan.

Panca dan Tuan Win Feng jelas merasa kecewa dengan apa yang tengah terjadi. Mereka sulit menerima kenyataan jika Asih tidak juga tertangkap. Gadis itu licin.

Untuk kesekian kalinya, mereka gagal menangkap Asih. Gadis itu bisa mengelabui begitu banyak orang. Dia cerdas. Begitulah kesimpulan yang terpikir oleh Tuan Win Feng dan Panca. Asih bukan lagi gadis lemah yang suka berdiam di rumah. Dia sudah mengubah dirinya menjadi gadis lincah dan penuh perhitungan.

"Tuan, kau sadar jika dia mengelabui kita."

"Maksudmu?"

Pandangan Panca dan Tuan Win Feng kini terhalang oleh rapatnya batang tebu. Kini, mereka seperti seekor tikus yang masuk kandang perangkap. Sial, gadis itu mengajak ke tempat sempit.

Panca segera menyadari situasi yang tidak menguntungkan berpihak padanya. Dia segera mengajak Tuan Win Feng untuk segera pergi.

"Ayo kita pergi dari sini!"

Tebu-tebu di sekeliling mereka seakan tertawa. Angin membantu tumbuhan bahan gula itu untuk saling beradu. Desiran angin membuat pucuk-pucuk tebu bergoyang kemudian beradu seperti orang yang sedang tepuk tangan. Lebih tepatnya, mereka bersorak atas kegagalan 2 manusia yang sedang berlari terbirit-birit.

Setelah tiba di jalanan tanah, Panca dan Tuan Win Feng mendapati pedati tadi sudah berjalan menjauh dari tempatnya berhenti semula. Meskipun lambat, si kerbau sanggup membawa menarik muatan untuk segera menjauh dari 2 manusia yang sedang dirundung masalah.

"Kita gagal lagi, Tuan."

"Belum, gadis itu hanya ... sedikit lebih cerdik."

"Sudah saya duga, untuk kabur pun dia sudah menyusun rencana."

"Rencana?"

"Anda tidak memperhatikan, dia sudah mempersiapkan kuda tunggangan agar bisa kabur kapan saja."

"Ya, dia sudah merencanakan ini. Bahkan, dia menjadikan kebun tebu ini sebagai tempat untuk mengelabui kita."

Panca dan Tuan Win Feng hanya berdiri. Mereka menatap lurus ke depan. Menatap ke arah pedati yang masih berjalan pelan. Nun jauh, nampak titik hitam yang terus bergerak menjauh.

"Gadis itu sudah pergi jauh, kita sulit untuk mengejarnya ...."

Panca dan Prahara Rumah JagalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang